Skip to main content

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy

Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517 M, Turki Usmani 1517-1805 M. Sampai akhirnya Napoleon Bonaparte berhasil menduduki Mesir tahun 1797 yang dikenal dengan ekspedisi Prancis, dan dilanjutkan oleh pemerintahan Muhammad Ali Pasha 1805-1953 M yang akrab disebut sebagai Bapak Mesir modern. Maka dapat dikatakan, bahwa Mesir merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang mampu bertahan dan terhindar dari keterputusan peradaban. Berbeda halnya dengan pusat kota lain, misalnya Bagdad yang pernah hancur ditangan Mongol, dan Andalus hancur ditangan Imperium Barat yang diprakarsai oleh Ratu Issabell dan Raja Ferdinant.

Sebelum jauh menelusuri situs peninggalan dinasti Mamalik, lebih dahulu kita telusuri historitas awal munculnya dinasti ini. Syajar al-Durr, seorang janda al-Shalih (w 1249 M) dari dinasti Ayyubiyah, yang kemudian menyandang gelar sultanah selama hampir delapan puluh hari inilah peletak awal fondasi kekuasaan Mamluk. Ia juga tercatat sebagai satu-satunya penguasa wanita muslim di kawasan Afrika Utara dan Asia Barat, sekaligus diabadikan namanya dalam kepingan mata uang dan pada sholat Jum'at. Ia memutuskan untuk menikah lagi dengan Izzudin Aybak, Sultan Mamluk pertama (1250-1257 M) yang justru terbunuh ditangan sang ratu.

Peta pemerintahan dinasti Mamluk dinyatakan oleh para sejarawan sebagai bentuk penguasaan yang carut marut, karena dinasti ini terbagi menjadi dua kekuasaan besar yaitu Mamluk Bahri dan Mamluk Burj. Mamluk Bahri awalnya adalah pengawal-pengawal yang dibeli oleh khalifah al-Shalih dari dinasti Ayyubiyah, mereka berasal dari Turki dan Mongol. Namun selang beberapa tahun, para pengawal tersebut dengan berbagai macam strategi akhirnya mampu merobohkan kekuasaan Sultan. Mamluk Burj juga terbentuk dari persekongkolan para budak yang diimpor kemudian, dan diprakarsai oleh Qallawun, raja Mamluk Bahri ( 1279-1290 M). Mereka berasal dari Sirkasius, serta ditempatkan di menara-menara benteng. Maka dengan inilah kekuasaan tersebut lebih dikenal dengan sebutan burj.

Penguasa terakhir Dinasti Mamluk Bahri adalah seorang sultan kecil cicit al-Nashir, al-Shalih Hajji ibn Sya'ban (1381-1382 M). Dalam pemerintahannya banyak diselingi oleh sultan-sultan lain, terakhir di pegang oleh Barquq dari Sirkasius. Namun sebelumnya, ada Baybar II (1308-1309 M) yang juga sempat mendapat kedudukan penting ketika rezim al-Nashir, ia juga dikatakan sebagai budak dari Qallawun awalnya. Dari kekuatan inilah, akhirnya Mamluk Burj dapat secara langsung bertengger diatas bangku kekuasaan.

Dalam perjalanan sejarah, dinasti ini mampu melahirkan beberapa sarjana Islam kenamaan. Baik sebagai keturunan asli Mesir atau imigran dari Syria dan daerah lainnya. Karena bagaimanapun pasca runtuhnya Bagdad 1258 M, Hulagu Khan terus melakukan ekspansi ke beberapa kawasan sekitarnya, yang mengharuskan warga setempat melarikan diri untuk mencari perlindungan. Dan dari sebab inilah warga asing banyak yang berbondong-bondong memasuki kawasan Mesir sekitar abad pertengahan. Dari kalangan antropolog misalnya dapat kita temukan Sang Maestro besar Ibnu Khaldun (1406) yang menjabat sebagai hakim tinggi pada masa Sultan Barquq, kemudian al-Maqrizi 1364-1442 sebagai keturunan Baklabak, serta Abu al-Fida, ibn Taghri Birdi dan al-Suyuthi. Dalam bidang teologi dan hadist, terdapat Ibnu Taymiyah, al-Thufi, Izzuddin bin Abdi Salam, Ibnu Hajar al-Asqalani (1372-1449). Dan masih banyak lagi ulama kenamaan lainnya yang terlahir pada era ini.

Sebagaimana terlampir dalam manuskrip kuno tentang kesejarahan Mamluk, bahwa konstalasi konflik dalam negri inilah yang banyak mempengaruhi aroma kemunduran Mamalik, meskipun beberapa faktor eksternal lainnya juga turut mendalangi hal tersebut. Gaya hidup tinggi yang tercermin ketika Sultan al-Nashir berkuasa membuat kondisi negara bertambah ruwet. Puncaknya, wabah "Kematian Hitam" yang semakin menjangkit wilayah Kairo, menjadikan dinasti ini semakin tak kuasa menopang laju kekuasaan asing yang mulai mendepak Mamalik dari kursi kekuasaan Mesir. Dan digantikan oleh kekuatan baru yang berdiri tegak di Bosporus, yaitu Turki Usmani.

Gaya Arsitektur Mamalik

Peninggalan yang paling mengesankan pada periode ini adalah bangunan-bangunan arsitektural dan artistik. Bahkan disematkan oleh para sejarawan, di era ini pulalah arsitektur Muslim mencapai ekspresi yang paling kaya ornament. Terbukti pada sejumlah masjid, madrasah, museum yang didirikan oleh Qollawun, al-Nashir, dan al-Hasan. Awalnya, ciri khas yang mendominasi adalah model-model arsitektur periode Nurriyah dan Ayyubiyah. Kemudian mendapat pengaruh baru dari orang Suriah-Mesopotamia pada abad 13, tepatnya ketika Mesir menjadi tempat berlindung para pengrajin dan ahli seni dari Mosul, Bagdad dan Damaskus pasca invasi Mongol.

Dapat jelas kita saksikan, Masjid al-Hasan (1348-1351 M), yang berada persis dibelakang benteng Sholahuddin dan Masjid Muhammad Ali Pasha, berdiri kokoh di sana. Tepatnya berada dikawasan Sayyidah Aisyah, kemudian sedikit berjalan kearah utara kurang lebih 300 meter. Lokasinya berjejeran dengan Masjid Rifa'i yang dibangun sekitar enam abad kemudian, tepatnya 1869 M. Didalam Masjid Rifa'i terdapat makam Raja Faruq, raja terakhir Mesir yang direvolusi 1952, dan juga makam syah Iran yang digulingkan 1979. Oleh karena memiliki kemegahan yang hampir serupa, masyarakat sering menyebutnya dengan 'Masjid Kembar'. Didalam masjid Sultan Hasan, terdapat empat madrasah yang dahulunya digunakan untuk pengajaran empat madzhab fiqh. Termasuk didalamnya huruf-huruf bergaya Kufi turut mewarnai indahnya dinding-dinding masjid.

Batu-batu beragam yang berasal dari Romawi dan Byzantium juga menjadi ciri istimewa arsitektur periode ini. Hal lain yang mengagumkan adalah pengembangan stalaktif-pendentif (bahasa arab: muqornas) dan rancangan kubah yang mampu menahan cahaya, termasuk juga untuk penerangan, semakin terlihat megah dengan segala dekorasinya. Dan hal tersebut cukup tercermin dari bangunan Masjid Mu'ayyad, yang terletak di jalan Ahmad Mahir berdampingan dengan Bab Zuwayla, dan dikenal dengan Masjid Merah (Red Mosque). Masjid ini dibangun oleh Sultan Muayyad 1415-1420. Pada pintu masuknya terdapat hiasan warna merah ditambah permata, diatasnya terdapat hiasan pahatan dan lengkungan skalaktit. Dan dibagian dalam masjid terdapat makam Sultan Muayyad dan putranya, yang ditutupi batu marmer warna-warni berbentuk pola geometri. Sejatinya, kebiasaan untuk menghubungkan bangunan makam sang pendiri masjid, bermula pada tahun 1085 M oleh Badr al-Jamali. Bangunan makam yang menyatu dengan masjid di bukit Muqattam hasil rancangan Badr itulah yang kemudian menjadi semakin menjamur.

Sedikit berbalik arah menuju jalanan Bab al-Futuh dan Bab Nasr, maka kita akan dapatkan Masjid Barquq sebagai salah satu peninggalan Mamalik. Konon, disinilah dahulunya Ibnu Khaldun melakukan proses belajar mengajar semasa hidupnya di Mesir. Masjid Barquq didirikan 1386 M, sekaligus dengan madrasahnya. Ibnu Khaldun banyak berkisah tentang Qollawun, bahwa dia dianggap sebagai Sultan yang banyak melakukan renovasi dalam skala besar. Ia telah membangun rumah sakit yang tersambung dengan masjid dan sekolah yang terletak dijalanan sempit nan eksotik, tepatnya berdekatan dengan Masjid Barquq. Disitu pulalah Qollawun membangun sebuah komplek kuburan bangsawan yang besar dan indah dengan mozaik dan jejak-jejak arabesque yang cantik. Dan yang paling terkenal dari peninggalannya adalah, rumah sakit muslim pertama yang masih ada hingga saat ini. Ia terinspirasi membangun mustasyfa ini ketika Qollawun berbaring sakit di Rumah Sakit Nuri di Damaskus, sehingga ia bertekad untuk segera membangunnya di Kairo. Dalam catatan Maqrizi, Rumah Sakit ini meliputi beberapa ruang khusus pasien dengan penyakit yang berbeda-beda, misalnya, radang mata, disentri, demam dsb. Dan dilengkapi laboratorium, apotik, kamar operasi, dapur dan ruang penyimpanan. Hampir setiap tahunnya mendapatkan subsidi dari pemerintah sebesar satu juta dirham. Sultan sendiri diyakini memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, sehingga jubahnya yang berada di museum tersebut disentuh dan dipegang-pegang oleh beberapa masyarakat yang meyakini kuasa penyembuhannya.

Beralih pada peninggalan periode Mamluk Burj, seperti misalnya masjid Qayt-bay, Sabil Kutab al-Ghawri dan Masjid Barsbay. Dibawah kekuasaan Mamluk Burj, seni tatah semakin banyak diminati, sebagaimana terlihat jelas pada pintu dan mimbar masjid Qayt-bay. Bahwa kerajinan mosaik serta ukiran gading dan pelapisan gaya koptik yang banyak menghiasi masjid ini sejatinya sudah banyak dikenali sejak masa pra Islam. Masjid Qayt-bay terletak di pedalaman kawasan Duwaiqoh atau biasa disebut dengan kawasan pekuburan Duwea. Lebih dekat ketika kita melakukan perjalanan melewati ruas utama Sholah Salim, tepatnya berada di depan gedung Masyikhah al-Azhar, bilangan Darrasah. Masjid ini dihiasi oleh dua warna yang sesuai merah dan putih, kubahnya juga lain dari pada yang lain berhiaskan motif dedaunan dan bunga. Namun, yang paling terkenal peninggalannya adalah, benteng pertahanan yang didirikan di kawasan Alexandria. Sebelum berdirinya benteng tersebut, telah kokoh berdiri disitu sebuah mercusuar yang termasuk keajaiban dunia, dibangun pada tahun 280 M, dan mengalami kehancuran total ketika gempa dasyat melanda kawasan tersebut.

Masjid Baybars juga terletak dikawasan Duwea. Mungkin banyak yang menganggap bahwa kawasan ini hanya terdiri dari pekuburan masyarakat semata. Namun, jika kita telisik lebih lanjut ternyata banyak peninggalan-peninggalan dinasti terdahulu yang berdiri kokoh disana. Masjid ini nampak lain dari masjid Qayt-bay. Arsitekturnya terpengaruh model-model masjid Ibnu Thulun, Hakim Bi Amrillah dan al-Azhar, yaitu bagian tengah yang dibiarkan langsung menengadah ke awan dan tanpa diberi atap. Khas seperti ini juga tercerminkan dalam bangunan-bangunan masjid di Mekah dan Madinah. Tidak hanya masjid saja, namun Baybars membangun madrasah dan beberapa bagian pemakaman yang bersambungan sekaligus dengan masjid. Warna merah putih juga menjadi ciri khas masjid ini.

Sejatinya, Kairo sungguh menyimpan beragam peninggalan klasik. Sebuah daerah yang justru dekat dengan kita malah banyak terlupakan. Tidak hanya Islam yang sempat meninggalkan sejarahnya, ada di sana bangunan gereja eksotik lainnya peninggalan Kristen Koptik yang terletak di Kairo bagian Barat yaitu Margirgis. Dari varian bangunan inilah kita semakin mengetahui proses akulturasi peradaban yang saling bertautan. Dan kita juga semakin mengetahui bahwa dahulunya, Islam, Romawi, Hellenistic dan Pharaoh pernah mempunyai glorifikasi masa lalu yang tidak sepatutnya kita hilangkan begitu saja.

Comments

Unknown said…
wekekeke...diklik judulnya ga kluar apa2 tuh neng...wakakakaa....benerin dulu sana layoutnya....:P

Popular posts from this blog

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban