Skip to main content

Ngaji Sambil Nglawak? Rahasia Beragama Dengan Santun




Dimuat di situs Qureta, 
30 November 2017


Obrolan singkat saya bersama Pak Man, sebut saja begitu. Beliau adalah juru parkir sekolah anak saya, yang kebetulan rumahnya tidak jauh juga dari rumah kami.

“Bu, besok ada Kyai ‘Qulhu wae Lek’, ngaji lagi di masjid dekat sini loh”,

Dengan hanya menyebut Kyai ‘Qulhu wae Lek’, semua seakan paham siapa yang dimaksud. Iya, itu kyai yang lucunya bisa bikin ngakak habis. Gokil !

“Loh, bukane udah beberapa waktu lalu Pak. Halah, perasaan belum ada setengah tahun sepertinya ya. Udah diundang lagi?”. Jawab saya

“La iya Bu, beliau ini laku keras. Jadwal ngajinya padat.. Soale lucu!”

Soale lucu. Itu kunci. Rata-rata, memang masyarakat perkampungan seperti di tempat kami ini lebih suka model pendakwah yang gemar melawak, lucu, dan tidak galak. Ngaji, tapi juga melucu. Bisa mencairkan suasana pengajian dengan gayanya masing-masing.

Ga usah dibayangkan pengajian ini seperti Majelis-majelis Ta’lim para kelas menengah perkotaan yang biasanya diadakan di masjid-masjid besar, hotel, ruang pertemuan, rumah pribadi yang eksklusif, atau di jalan-jalan besar. Konsumsinya pun berkelas, endorse-an dari cake-cake artis yang lagi booming ituu. Jama’ahnya juga bukan para hijabers dan mamah mamah muda yang pakai dresscode khusus  semacam gamis, hijab, dengan kosmetik kumplit yang semua berlabel syar’i plus halal. Eeeeh..

Pengajian ini cuma modal tikar, sama es teh plastik plus gorengan. Bisa dimakan dan dikenyot kapan saja, ga nunggu sampe Kyai nya selesai ngaji. Bebas. Syukur-syukur kalau panitia juga membagikan konsumsi krupuk dan teh rasa gula. Ga percaya? Ha mbok sini. Lihat sendiri.

Parkiran mobil paling diisi oleh rombongan Pak Kyai, dan tamu-tamu undangan. Selebihnya, hanya puluhan motor, sepeda, odong-odong, colt-colt lawas pengangkut jama’ah, bahkan tak jarang juga pake truck. Biar bisa memuat orang sak RT. Efisien, simpel, ramah lingkungan karena ga keluar energi banyak. Lak ya gitu to?

Jama’ahnya, juga lebih beragam. Dari bakul lombok, bakul tampah, sampe juragan bangunan. Dari mbah-mbah sepuh, pemuda desa, sampe anak-anak. Lintas generasi dan kelas. Semuanya tumpek blek, ngaji campur kemekelen. Ini baru dinamakan ngaji. Begitu kira-kira kata Pak Man sambil terkekeh.

“La dari pagi sampe siang macul, pengen ngaji malah disuguhi sing galak-galak. Dikit-dikit haram. Dikit-dikit menista agama. Membela umat. La yang menista ini siapa sebenernya? Lak ya gitu to bu?”.

Ngunu yo ngunu, ning ojo ngunu”. Tambah nya lagi.

Senyum-senyum sendiri saya dengar penjelasan panjang lebar Pak Man. La memang betul to, meskipun semangat ngaji nya masyarakat di kampung juga membara, mereka ne ga norak gitu loh. Ga kagetan. Jangan dikira mereka tak paham agama, justru mereka ini yang nyatanya mampu beragama dengan santun. Soale apa? Ya itu tadi, ngaji sambil nglawak. Bhaaaaaa…   

Coba saja kalau ga percaya. Ikuti salah satu ngajinya Kyai kampung yang lucu. Pasti meluber jama’ahnya. Tenang aja, biasanya beliau-beliau ini ga pakai teriak-teriak takbeeerr macam mau perang. Kyai-kyai ini umumnya sudah nglothok ilmu agama nya, hafal Al-Qur’an dan Hadist ga cuma segelintir.

Balik lagi tentang Kyai ‘Qulhu ae Lik’. Bagi penduduk Pantura pasti ga asing lagi sama nama Kyai kharismatik satu ini. Video-nya yang diupload di Youtube hampir mau nyaingin Justine Bieber. Buanyak. Jadwalnya padat. Gaya bahasa dan dakwahnya dirasa pas dengan masyarakat non-urban, alias penduduk kampung. Macam obat saja ya cocok-cocokan.

Eh Sebentar, tapi ada benarnya loh itu. Runtutannya kira-kira begini. Bagi masyarakat urban yang haus akan ‘meanings’ dibalik hiruk pikuknya modernitas, gaya hidup juga materi, mereka akan berbondong-bondong mencari ‘pelarian’ khususnya perihal spiritualitas, relijiusitas dalam agama.

Peningkatan ekspresi relijiusitas yang menggebu-gebu kek mo nikah muda ituuu, uuups, lambat laun merambah ke ranah publik. Masuklah ekspresi-ekspresi ini ke ranah politik, budaya, sosial, ekonomi dan pendidikan. Maka tak heran, soal remeh temeh macam apakah panci dan wajan yang dijual di toko-toko pake label halal-haram MUI apa ga? Sampe ulekan di warung harus pake stempel MUI biar memuaskan para pencari hidup syar’i yang kaafah itu. Terlalu !

Nah cerdasnya, yang begini-begini ini langsung disamber sama para kapitalis. Langsung lah, makwush kayak bensin dilempar rokok. Membara. Kaget. Bingung, mumet, di depan mata banyak sajian penjual segala hal yang berbau ‘syar’I’. Dari juru dakwah, sampe label cobek.

Perasaan kaget yang datang sekonyong-konyongnya tersebut, boleh jadi, imbas dari kegemaran atas sesuatu yang serba cepat. Di kota besar, kalau hidup tidak cepat, matilah. Pokoknya harus cepat mendapat jawaban atas fenomena sosial politik dan keagamaan yang terjadi di dunia modern. Tak peduli seberapa rumit masalahnya, jawabannya harus satu. Harus itu.  

Maka, gaya pengajian yang cepat landas model halal haram, alias hukum Fiqh, laris manis. Seakan agama Islam itu isinya hanya halal-haram. Ini namanya mereduksi keagungan dan kekayaan khazanah keilmuan Islam yang dibangun sejak berabad-abad lampau. Apa mau dikata, justru yang begini ini yang laris dan dibutuhkan masyarakat perkotaan untuk keluar dari problem yang mereka anggap cukup mbulet. Kalau sudah tau mana halal dan haram, dirasa pemahaman agama sudah selesai. Sudah patut dipanggil ustadzah dan ustadz.

Sementara di kampung, hidup bisa sangat santai dan bersahaja. Tengoklah bagaimana mereka bisa menikmati ritme keseharian, dan menerapkan filsuf Jawa tentang hakekat kehidupan. Karena hidup adalah bagaimana kita merasakan sesuatu. Persis seperti kutipan dari Kuntowijoyo, “untuk apa kita bekerja, kalau kebijaksanaan yang sederhana saja kita tidak tau.  

Mereka ini hidupnya ga pernah brisik. Adem ayem, karena sudah terbiasa ngaji sambil cangkrukan, ngopi, ngrokok, dan tak lupa sambil guyonan. Ini, sekali lagi adalah Koentji ! Hasilnya, ga da itu yang anti-anti an. Prinsipnya, yang penting bisa ngaji sambil ngenthuti es teh plastik dan gorengan. Udah !

Saran penulis, biar kalian-kalian ini ga kagetan dan bisa hidup slow, ngajilah sama Kyai-kyai kampung sambil nglawak. Dijamin sehat lahir batin. Serius..


***

https://www.qureta.com/post/ngaji-sambil-nglawak-rahasia-beragama-dengan-santun

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517