Skip to main content

Anak Anak Dijejali Buku Harga Jutaan, Si Mamah Referensinya Cuma Felix Shiauw



***

Dimuat di situs Mojok 
25 September 2017



Courtesy Mojok


-->
Keinginan para Mahmud untuk menumbuhkan minat baca anak patut diacungi jempol. Buku dengan harga jutaan sekonyong-konyongnya bisa dihadirkan demi si buah hati. Tentu saja, salah satu tujuan dan jargon produsennya adalah agar kelak si anak menjadi pribadi yang rajin membaca. Sebagai bekal pengetahuan di masa depan, dan bla bla bla !. Dari pada dibelikan mainan yang ga mengedukasi kan? Begitu kira-kira dalihnya.

Ga cukup disitu juga seh, si Mahmud terkadang harus rela antri menggunakan cara arisan. Mengatur sedemikian rupa pemasukan bulanan, dan menyisihkan beberapanya untuk buku-buku ini. Menjadi sebuah kebanggaan jika uang arisan sudah mencukupi dan akhirnya bisa mendapatkan sepaket buku dengan boneka lucu yang bisa mengaji dan bercerita. Lumayan, anak bisa sejenak bermain sendiri dengan buku dan boneka-boneka itu. Dan, si Mamah asik bercengkerama di sosial media, dan tak lupa memposting situs Hoax. Eeeeh… !  

Sering apa sering melihat fenomena begini? Uuuuch, saya seh sering. Membaca laman, cerita-cerita si Mahmud yang mengikuti arisan buku dan nampaknya sudah tidak sabar untuk menunggu ketukan pintu rumah dari Pak Kurir yang membawa sekardus paketan buku idaman anak masa kini. Dengan hashtag macem-macem, anak sholeh baca buku. Anak soleh pinter, generasi anak soleh peduli literasi dan sebagainya.

Namun, di sisi lain, malahan, laman facebook si Mamah berisi berbagai makian, situs-situs ga jelas. Segudang informasi tumpek blek di laman Facebook, tanpa sedikitpun memakai referensi buku. Semuanya bersumber dari puluhan status, puluhan kepala, dan hanya berupa cuitan di laman social media.

Termasuk, ilusi-ilusi tentang kebangkitan hantu-hantu komunis. La dalah ! Eh, ada lagi deng, yaitu tentang kekhawatiran akut akan runtuhnya dan merosotnya aqidah umat Muslim hanya karena tidak bergabung dengan aksi 212. Uuuuchh…

Yang paling fresh, ya isu PKI ini. Yang sebelumnya juga sudah ribut kayak pasar di pagi hari, posting informasi terindikasi HOAX tentang saudara Muslim di Rohingya, tentunya tanpa mengurangi rasa solidaritas kemanusiaan saya pribadi atas kejadian ini. Tapi eh tapi, ah sudahlah…  

Membela mati-matian Muslim Rohingya tapi acuh terhadap minoritas di negri sendiri yang mendapat perlakuan tidak adil. Baik dari komunitas Syiah yang diusir dari kampungnya sendiri? Ahmadiyah? Sunda Wiwitan? Sampe ke hal remeh-temeh macam memasang dalil-dalil perihal pengharaman memanggil Umi dan Abi untuk Ibu Bapak. Sampai ke pengharaman memakai cempol untuk perempuan berjilbab yang katanya menyerupai punuk unta berikut dalil-dalil yang entah apakah Hadist nya Sohih atau hanya di anggap Sohih. Dikit-dikit kok halal haram.

Nah, uniknya, segala macam polemik itu, dan yang sangat tidak simple itu, referensinya cuma satu, cuitannya Felix Siauw! Luar biasa ! Tidak ada satu pun, buku referensi primer maupun sekunder yang digunakan untuk membaca berbagai fenomena diatas. Apa kek, misal kalau isu PKI, sodorin lah itu bukunya Pak Ben “Kudeta 1 Oktober 1965; Sebuah Analisis Awal”. Atau, punya Sukarno, misal, “Di Bawah Bendera Revolusi”. Atau, “Suara di Balik Prahara; Berbagi Narasi Tentang Tragedi 65” oleh sejarawan Baskara. T. Wardaya. Atau, buku-buku pembanding lain. Dengan narasi yang berbeda.

Buku, dilawan buku. Itu idealnya. Bukan buku dilawan cuitan di Facebook. Atau, mending tidak ikut larut dalam polemik jika yang dibagikan ga jelas. Ingat, seorang Mamah harus selalu membawa kedamaian dimanapun mamah berada. Betul?

Bukan, bukan. Bukannya saya mau meremehkan kaum mamah. Juga bukan mau merendahkan, atau menganggap macam-macam, hanya saja, realitanya, kebanyakan, kaum mamah ini sudah overload pekerjaan-nya di rumah. Belum lagi kalau tetiba ada semacam ‘gangguan’ dari anak-anak, pun Bapaknya. Minta inilah, itulah. Jadi bisa dipahami. Kalaupun ingin ikut bersua atas fenomena sosial, sejarah, politik dan keagamaan yang lebih ndakik lagi, dibutuhkan bacaan yang ndakik juga. Bukan cuma status-status yang berseliweran dengan jutaan like dan komen. Saran saya seh, mending tahan posting deh, dari pada kelihatan ga baca.   

Saya juga bukan hendak mencari pembenaran sejarah, yang faktanya hingga saat ini, semuanya masih dalam rangka menggali dan meneliti kembali berdasarkan kerangka ilmu pengetahuan. Tapi mbokyao, menghargai para sejarawan kompeten yang sudah bertahun-tahun menggeluti dan melakukan penelitian tentang itu. Tidak semudah mengetik di laman Facebook loh. La wong, dikit-dikit referensinya kalau ga Tere Liye ya Felix Siauw. Gimana bisa memahami sejarah dengan runtut.

La trus, ngapain gitu beliin buku anak sampai bejibun kalau orang tua nya sendiri sama sekali tidak menghargai buku. Abai akan bacaan bermutu. Tidak mengerti kapan seharusnya mengkonsumsi buku berkualitas untuk memahami hal-hal yang terjadi di masyarakat. Ya memang seh, kita semua tidak akan bisa menjadi ahli di segala bidang, tapi mbok yao, ah sudahlah.

Mendingan, kita balikin lagi niat awal kita membelikan buku anak-anak untuk apa? Kalau hanya mengikuti tren anak sholeh baca buku? Lupakan saja. Mending beli buku yang murah meriah itu, di pinggir jalan itu, tapi orang tua paham esensi buku. Atau, biar kekinian? Lupakan saja ! Dunia kita sedang melaju pesat, anak-anak kita butuh role model yang sesungguhnya guna menghadapi tantangan global pun spiritual. Kalau hanya biar kekinian saja, mending sekalian kasihkan Drakor.

Menumbuhkan minat baca dan literasi tidak semudah membelikan berbagai macam buku, dengan harga jutaan sekalipun. Bagaimana mau mengedukasi anak jika yang dewasa saja main asal pilih informasi, tanpa sumber yang jelas. Bagaimana anak akan memahami pentingnya pengetahuan, jika yang dewasa tidak menghargai proses keilmuan untuk menghasilkan sebuah buku yang berkualitas, sesuai subjek masing-masing. Temanya sejarah, rujukannya cuitan facebook. Temanya sejarah, rujukannya da’i. La kepiye toh iki?   

Orang tua, mau mamah atau papah muda kekinian, dimanapun anda berada, diyakini mampu meningkatkan budaya literasi keluarga dengan catatan sang ortu juga melek literasi. Jangan harap muluk-muluk bahwa anak kita kelak akan menjadi orang yang berpengetahuan dan berwawasan, berbudi pekerti, jika orang tua nya saja masa bodoh tentang hal-hal essensial tersebut, dan sukanya hanya mengandalkan perasaan, juga ilusi semata saja. Uuuucch…



Jabar erat,

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.