Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Bayang-bayang Ibnu Rushd di Vatican

Ibnu Rushd dan Vatican. Dua nama yang sekilas nampak kontras namun justru keduanya bisa saling bersinergi. Averroes atau yang biasa dikenal sebagai Ibnu Rushd merupakan the man of our times. Bukan hanya filsafat, dia juga dikenal sebagai seorang master dalam bidang kedokteran, fiqh dan ilmu Kalam. Pengaruh pemikirannya terhadap kejayaan Eropa abad pertengahan juga tidak dapat disangkal lagi. Komentatornya atas filsafat Aristoteles mengemuka di Eropa. Tak ayal, bukan hanya seorang pemikir, namun Ibn Rushd bagi beberapa kalangan dianggap sebagai simbol kebangkitan intelektual baik di kalangan Muslim dan Eropa beberapa abad silam. Sedangkan Vatican, adalah simbol bagi gereja Katolik sedunia. Berabad-abad kota ini menjadi pusat kekuasaan Katolik dibawah kepemimpinan seorang Paus. Memasuki era Renaissance, Italia dan tak terkecuali Vatican, menjadi tempat persinggahan karya seni Eropa yang diawali oleh Botticelli, Holbein, Leonardo, Michaelangelo, Bramante dan Raphael. B

Be My Favorite Fall

Autumn is by far my favorite seasons !   Musim gugur bagi saya adalah musim yang paling cantik. Warna kuning, orange, merah dan keemasan menghiasi hampir di setiap sudut-sudut jalan. Daun-daun yang berguguran layaknya bunga yang bermekaran di musim semi. Bahkan lebih indah. Udara sejuk sesekali berhembus sepanjang hari. Rintikan air hujan juga turut menyapa kami di penghujung bulan Oktober. Tak henti-hentinya saya mengabadikan keindahan musim gugur. Sebuah masa transisi dari musim panas ke musim dingin. Di Jerman musim ini disebut dengan herbst . Berbagai perayaan diadakan pada musim ini. Oktober fest adalah salah satunya. Hampir di seluruh negara bagian Jerman pesta rakyat ini disambut dengan gegap gempita. Pasar-pasar rakyat, dengan berbagai jenis bis ternama disajikan dengan gelas berukuran besar. Masyarakat Jerman gemar sekali minum bir. Tak heran, Jerman merupakan negara kedua sebagai produsen bir terbesar di dunia. Musim gugur atau autumn ber

Islamophobia dan Gaya Hidup

Sebuah sketsa lukisan akhir abad 18 seakan menjadi saksi awal sejarah hubungan diplomasi antara kerajaan Ottoman yang bermarkas di Istanbul  dan Prusia, yang bermarkas di Berlin dibawah Frederick III. Kala itu, dinasti terakhir Islam ini merupakan partner penting kerajaan Prusia melawan Austria dan Rusia untuk menguasai Eropa. Tak heran, beberapa utusan diplomat Ottoman disambut dengan kemeriahan oleh Frederick III ketika sampai di Berlin, tepatnya pada tanggal 9 November 1763. Rombongan berkuda, yang dinaiki oleh beberapa lelaki khas dengan turban dan pakaian bergaya Ottoman nampak dari guratan-guratan pada lukisan karya pelukis Jerman Daniel Chodowiecki 3 Mei 1765. Utusan diplomat Ottoman inilah, yang konon, merupakan titik awal persinggungan jejak umat Muslim di Jerman sekitar dua ratus tahun yang lalu.    Namanya Ali Aziz Efendi. Salah satu dari rombongan yang ditunjuk sebagai diplomat Ottoman dibawah Sultan Salim III untuk Prusia. Dia merupakan seorang sufi, dan pen

Pesona Masjid Şehitlik

Dimuat di Leisure Harian Republika, 18 Juni 2013 Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah muslim di Jerman semakin berkembang meskipun tercatat sebagai kaum minoritas. Tak hanya Turki, warga muslim keturunan Arab dan Asia juga turut meramaikan keberagaman corak Islam di Jerman. Tentu saja, hal ini beriringan dengan semakin banyaknya jumlah masjid sebagai pusat ibadah. Kebetulan saya sedang tinggal di ibu kota Jerman, Berlin, yang konon mempunyai penduduk muslim sekitar 200,000 mencakup penduduk lokal dan asing. Saya berangan-angan untuk bisa berkunjung ke setiap masjid yang memiliki corak berbeda-beda. Salah satunya adalah Şehitlik, sebuah masjid Turki terbesar di Berlin. Beruntung, beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk singgah dan menikmati kemegahan masjid yang bernuansa biru abu-abu tersebut. Blue Mosque-nya Berlin Suatu hari, ditemani suhu Berlin yang lumayan hangat, saya beserta seorang kawan berkunjung ke masjid Şehitlik. Lokasinya tak jauh dari bandara

Belajar Dari 'Yang Lain'

Memasuki minggu ketiga kursus bahasa Jerman, saya mulai mengenali beberapa teman sekelas dengan baik. Ketika break kami sempatkan untuk saling bercerita, bercanda sembari menikmati kopi yang kami beli dari coffee machine. Tak jarang juga, kami membawa bekal makanan atau buah sebagai penambah energi di sela-sela jam kursus yang padat. Beberapa waktu lalu saya sering berpindah-pindah tempat duduk. Sengaja seh, biar lebih kenal dengan teman baru yang duduk bersebelahan. Meskipun kami saling kenal nama dan daerah asal, namun belum tentu kami mengetahui tentang aktivitas juga cerita-cerita pengalaman menarik mereka jika tidak menyempatkan diri untuk bertanya. Berhubung saya orangnya talkative dan suka ngobrol, nggak heran deh kalo saya suka bertanya dan memulai percakapan. Nah, kebetulan beberapa hari ini saya duduk bersebelahan dengan teman yang punya keahlian sama dengan saya, alias suka ngobrol. Namanya Moran dari Israel. Satu lagi namanya Mi-Yong dari Korea. Jika break,

Integration Kurs, Sebuah Upaya Untuk Mengurangi Ketegangan Berbau SARA

Minggu ini adalah minggu pertama saya kursus bahasa Jerman, setelah satu tahun tinggal di Berlin. Awalnya seh pengen kursus dari dulu. Berhubungan waktu itu harus menyelesaikan thesis di UGM akhirnya saya pilih untuk konsentrasi ke kuliah. Setelah menyelesaikan thesis, ternyata umur kehamilan saya sudah tujuh bulan yang artinya sebentar lagi akan melahirkan. Setelah melahirkan, so pasti donk bertambah sibuk karena mengurus anak saya yang baru lahir. Baru bulan Mei ini, bertepatan dengan umur anak saya yang menginjak enam bulan, saya berkesempatan untuk belajar bahasa Jerman lagi. Dengan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Dulu, kira-kira empat tahun yang lalu sebenarnya saya sudah pernah kursus bahasa Jerman waktu di Kairo. Meskipun baru sekitar 3 bulan atau sama dengan Level 1. Lumayan lah , sudah tau alphabet, hitung-hitungan dan percakapan pendek. Percakapan yang dipakai di dalam kelas adalah bahasa Arab. Satu kelas hanya diisi sekitar tujuh orang. Kesempatan kur

Catatan Dari Jerman (2): Pasar Turki

Miniatur Istanbul. Itulah julukan yang biasa disematkan untuk kawasan ini. Nuansa Jerman memang agak sedikit blur ketika saya berkunjung di suatu sore yang hangat. Bukan karena ketidak-jelasan identitas sebagai sebuah bangsa ber-ras Arya, namun karena banyaknya wajah-wajah orient yang berlalu-lalang di jalan. Namanya Kreuzberg. Dahulunya, kawasan ini merupakan tempat pemukiman penduduk miskin, kira-kira tahun 70-an. Hingga saat ini, Kreuzberg masih dikategorikan sebagai kawasan dengan angka pengangguran tertinggi di Berlin. Tercatat dari 31,6% penduduknya bukan merupakan warga negara Jerman. Imigran keturunan Turki merupakan pemukim terbesar di daerah ini, selain dari Arab, dan keturunan Afrika Amerika (African American). Keluar dari subway Schönleinstr, gerai-gerai bertuliskan bahasa Turki dan Arab menyapa saya. Dari penjaja kebutuhan rumah tangga lengkap, sampai penjual jasa baik dokter maupun tiket pesawat. Tertulis di depan gerai tersebut minimal tiga, atau dua b