Entah berapa lama lagi Madinah sebagai sample Negara Ideal akan terus didengungkan. Kurang lebih 14 abad, dia selalu menduduki tingkat teratas, yang, bisa jadi posisi itu tak akan pernah tergantikan. Apakah hanya karena Yatsrib saat itu dipimpin oleh seorang Nabi? Jawabannya, bisa demikian dan bisa tidak. Namun secara aklamasi, kepemimpinan Muhammad saat itu terlihat mempesona, dengan menghadirkan seluruh komponen masyarakat Yatsrib secara individual guna mencapai cita universal.
Beranjak ke Spanyol, sebuah daratan eksotik yang banyak menyimpan kekayaan agung dalam catatan sejarah Islam. Bumi ini ternyata juga sempat menduduki urutan kedua dari contoh Negara Ideal, tepatnya di Kordova selama periode Umayyah 929 M. Persematan tersebut tentu beralasan. Abdurrahman al-Dakhil mengawalinya dengan penjagaan ketat akan konstalasi politik luar dan dalam negri, serta menyamarkan berbagai kecemburuan sosial yang sangat pelik antara dua elemen masyarakat Kristen dan Islam. Sehingga pada tataran selanjutnya, penaklukan Islam atas Spanyol ini telah berhasil menghancurkan hegemoni kelas atas yang memiliki hak-hak istimewa, memperbaiki kondisi kelas bawah, dan mengembalikan hak property tuan tanah Kristen yang sebelumnya tidak diakui ketika bangsa Gotik Barat berkuasa.
Selanjutnya, apakah cukup dengan persyaratan tersebut sehingga dapat diposisikan sebagai Negara Ideal? Survey membuktikan, tidak. Ada hal lain yang oleh para pakar dijadikan sebagai objek lirikan mereka. Yaitu ilmu pengetahuan. Bahkan ia (baca; keilmuan) mampu mengangkat semua elemen kemasyarakatan kesebuah negara yang berperadaban dan dicita-citakan.
Layaknya Bagdad, Kordova mampu menumbuhkan kembali intelektualitas masyarakatnya. Sumbangan keilmuan Kordova dapat dikatakan setara dengan Bagdad. Pun, upaya pencapaian dan penghargaan yang diberikan seluruh komponen pemerintahan terhadap proses keilmuan. Sebagai perantara dengan beberapa penambahan dan transmisi khazanah Yunani klasik, bahkan ia mampu menjadi motivator utama lahirnya pencerahan di Eropa Barat.
Glorifikasi masa lalu terkadang juga perlu diangkat kembali. Baik itu Madinah, Kordova atau, bahkan Malaysia, yang saat ini paling getol dan dinyatakan berhasil dalam mengusung konsep Civil Society ala Badawi. Civil society sebagai sebuah terma baru, memang cukup menyedot banyak perhatian. Anak didik demokrasi ini lahir dan diciptakan tidak hanya untuk Madinah, Kordova, Eropa atau negri entah berantah yang makmur dan luhur. Namun ia dihadirkan untuk semua nafas manusia yang rindu akan kedamaian, kejujuran, keadilan dan kebahagiaan.
Kedengaran melankolis memang, tetapi jiwa manusia tidak begitu saja dapat terlepas dari segala tetek bengek yang ada dalam nalurinya. Selayaknya Ibnu Khaldun. Darah Spanyol yang mengalir dalam dirinya, serta berbagai factor yang melatar belakanginya, turut andil dalam menelorkan semacam teori-teori rumit yang bakal banyak dilirik oleh sarjana Barat diera selanjutnya. Maka, hubungan manusia dengan manusia akhirnya juga mendapat perhatian layak oleh mereka yang menganggap kedamaian manusia tidak hanya sebagai mimpi utopis.
Bisa jadi al-Farabi sebagai penggagas Madinah Fadlilah hanya bisa tertawa lepas disaat konsep usangnya dahulu mulai banyak disentuh, bahkan diporakporandakan oleh mereka para pemerhati manusia. Tuhanpun mungkin juga tersenyum melihat hambanya mulai mandiri, mengutak-atik segala teknisi kehidupannya. Dengan catatan, tidak lupa sedikitpun akan perhatian Tuhan yang telah apik disampaikan oleh mendiang kanjeng Nabi Muhammad.
Harmonisasi kesehatan akal dan agama selalu saja lari kian kemari, tarik sana sini, tanpa adanya konklusi kemufakatan yang dan akan terjadi. Dinamika social kemudian menjadi layaknya logika aristoteles. Dengan bagaimanapun ia akan tetap bertahan untuk menjadi tajuk utama dalam berdialog. Tiga komponen inilah, (agama, akal dan realita) yang akan terus berjalan, menempuh jarak berjuta-juta mil untuk sekedar sampai kesebuah area kebahagiaan Tuhan dan manusia yang bercita.
Kini, American Declaration of Independence mulai ramai dipropagandakan. Atas nama hak asasi dan keadilan manusia ia diposisikan sebagai pembela manusia sejati. Entahlah, mungkin mereka lupa dengan Khutbah al-Wada' Nabi, yang sejak saat itulah pertama kali konsep hak-hak asasi dikenalkan. Nilai dan ruh Islam ini yang turut mendasari pola tatanan serta system kenegaraan. Berawal dari titik tolak kesucian life, property, and dignity, manusia akan selalu merasa dimanusiakan, tanpa perbedaan geneologis, ras dan agama tentunya.
Demokrasi, civil society serta masyarakat madani seakan menjadi juru kunci kebahagiaan. Mereka sangat yakin, dengan system ini tatanan social masyarakat akan lebih baik. Apalagi jika disokong oleh etika umat yang bersahabat. Disinilah sebenarnya peran agama sebagai pengendali realita global yang semakin menyeruak. Dan pada titik selanjutnya, masyarakat harus siap dengan entitas luar tanpa harus jaga jarak, antipati dan seakan tak bisa bergabung dengan keberagaman.
Dan, cita-cita adiluhung itu akankah tercapai? Tergantung prediksi, kalau Tuhan nyata-nyata berkehendak, ya akan terjadi. Namun, prediksi manusia tak segampang itu. Artinya, tidak berarti proses tersebut akan berlangsung kilat. Waktu juga perlu untuk diajak kompromi. Serta konsep-konsep rumit para sosiolog harus terus berasimilasi dengan realita kini. Bukankah Islam tidak ingin tetap berada dalam keterpurukannya? Untuk itulah dibutuhkan juga kesiapan masyarakat Islam untuk membuka mata, melihat apa yang sekarang terjadi di Barat.
Kisah klasik tak perlu lagi diusik. Tak ada satupun makhluk Tuhan yang ingin hidup dalam ketidakadilan. Manifestasi dari sifat adil Tuhan inilah yang harus diisukan kembali, diangkat serta diwacanakan. Pola apapun itu, asal ruh murni manusia dapat dipertanggung jawabkan, sudah cukup untuk menyandang gelar 'sah' dalam sebuah ketetapan. Ataukah masih tetap bersikukuh dengan mempertahankan ideology dan idealisme masing-masing?.
Beranjak ke Spanyol, sebuah daratan eksotik yang banyak menyimpan kekayaan agung dalam catatan sejarah Islam. Bumi ini ternyata juga sempat menduduki urutan kedua dari contoh Negara Ideal, tepatnya di Kordova selama periode Umayyah 929 M. Persematan tersebut tentu beralasan. Abdurrahman al-Dakhil mengawalinya dengan penjagaan ketat akan konstalasi politik luar dan dalam negri, serta menyamarkan berbagai kecemburuan sosial yang sangat pelik antara dua elemen masyarakat Kristen dan Islam. Sehingga pada tataran selanjutnya, penaklukan Islam atas Spanyol ini telah berhasil menghancurkan hegemoni kelas atas yang memiliki hak-hak istimewa, memperbaiki kondisi kelas bawah, dan mengembalikan hak property tuan tanah Kristen yang sebelumnya tidak diakui ketika bangsa Gotik Barat berkuasa.
Selanjutnya, apakah cukup dengan persyaratan tersebut sehingga dapat diposisikan sebagai Negara Ideal? Survey membuktikan, tidak. Ada hal lain yang oleh para pakar dijadikan sebagai objek lirikan mereka. Yaitu ilmu pengetahuan. Bahkan ia (baca; keilmuan) mampu mengangkat semua elemen kemasyarakatan kesebuah negara yang berperadaban dan dicita-citakan.
Layaknya Bagdad, Kordova mampu menumbuhkan kembali intelektualitas masyarakatnya. Sumbangan keilmuan Kordova dapat dikatakan setara dengan Bagdad. Pun, upaya pencapaian dan penghargaan yang diberikan seluruh komponen pemerintahan terhadap proses keilmuan. Sebagai perantara dengan beberapa penambahan dan transmisi khazanah Yunani klasik, bahkan ia mampu menjadi motivator utama lahirnya pencerahan di Eropa Barat.
Glorifikasi masa lalu terkadang juga perlu diangkat kembali. Baik itu Madinah, Kordova atau, bahkan Malaysia, yang saat ini paling getol dan dinyatakan berhasil dalam mengusung konsep Civil Society ala Badawi. Civil society sebagai sebuah terma baru, memang cukup menyedot banyak perhatian. Anak didik demokrasi ini lahir dan diciptakan tidak hanya untuk Madinah, Kordova, Eropa atau negri entah berantah yang makmur dan luhur. Namun ia dihadirkan untuk semua nafas manusia yang rindu akan kedamaian, kejujuran, keadilan dan kebahagiaan.
Kedengaran melankolis memang, tetapi jiwa manusia tidak begitu saja dapat terlepas dari segala tetek bengek yang ada dalam nalurinya. Selayaknya Ibnu Khaldun. Darah Spanyol yang mengalir dalam dirinya, serta berbagai factor yang melatar belakanginya, turut andil dalam menelorkan semacam teori-teori rumit yang bakal banyak dilirik oleh sarjana Barat diera selanjutnya. Maka, hubungan manusia dengan manusia akhirnya juga mendapat perhatian layak oleh mereka yang menganggap kedamaian manusia tidak hanya sebagai mimpi utopis.
Bisa jadi al-Farabi sebagai penggagas Madinah Fadlilah hanya bisa tertawa lepas disaat konsep usangnya dahulu mulai banyak disentuh, bahkan diporakporandakan oleh mereka para pemerhati manusia. Tuhanpun mungkin juga tersenyum melihat hambanya mulai mandiri, mengutak-atik segala teknisi kehidupannya. Dengan catatan, tidak lupa sedikitpun akan perhatian Tuhan yang telah apik disampaikan oleh mendiang kanjeng Nabi Muhammad.
Harmonisasi kesehatan akal dan agama selalu saja lari kian kemari, tarik sana sini, tanpa adanya konklusi kemufakatan yang dan akan terjadi. Dinamika social kemudian menjadi layaknya logika aristoteles. Dengan bagaimanapun ia akan tetap bertahan untuk menjadi tajuk utama dalam berdialog. Tiga komponen inilah, (agama, akal dan realita) yang akan terus berjalan, menempuh jarak berjuta-juta mil untuk sekedar sampai kesebuah area kebahagiaan Tuhan dan manusia yang bercita.
Kini, American Declaration of Independence mulai ramai dipropagandakan. Atas nama hak asasi dan keadilan manusia ia diposisikan sebagai pembela manusia sejati. Entahlah, mungkin mereka lupa dengan Khutbah al-Wada' Nabi, yang sejak saat itulah pertama kali konsep hak-hak asasi dikenalkan. Nilai dan ruh Islam ini yang turut mendasari pola tatanan serta system kenegaraan. Berawal dari titik tolak kesucian life, property, and dignity, manusia akan selalu merasa dimanusiakan, tanpa perbedaan geneologis, ras dan agama tentunya.
Demokrasi, civil society serta masyarakat madani seakan menjadi juru kunci kebahagiaan. Mereka sangat yakin, dengan system ini tatanan social masyarakat akan lebih baik. Apalagi jika disokong oleh etika umat yang bersahabat. Disinilah sebenarnya peran agama sebagai pengendali realita global yang semakin menyeruak. Dan pada titik selanjutnya, masyarakat harus siap dengan entitas luar tanpa harus jaga jarak, antipati dan seakan tak bisa bergabung dengan keberagaman.
Dan, cita-cita adiluhung itu akankah tercapai? Tergantung prediksi, kalau Tuhan nyata-nyata berkehendak, ya akan terjadi. Namun, prediksi manusia tak segampang itu. Artinya, tidak berarti proses tersebut akan berlangsung kilat. Waktu juga perlu untuk diajak kompromi. Serta konsep-konsep rumit para sosiolog harus terus berasimilasi dengan realita kini. Bukankah Islam tidak ingin tetap berada dalam keterpurukannya? Untuk itulah dibutuhkan juga kesiapan masyarakat Islam untuk membuka mata, melihat apa yang sekarang terjadi di Barat.
Kisah klasik tak perlu lagi diusik. Tak ada satupun makhluk Tuhan yang ingin hidup dalam ketidakadilan. Manifestasi dari sifat adil Tuhan inilah yang harus diisukan kembali, diangkat serta diwacanakan. Pola apapun itu, asal ruh murni manusia dapat dipertanggung jawabkan, sudah cukup untuk menyandang gelar 'sah' dalam sebuah ketetapan. Ataukah masih tetap bersikukuh dengan mempertahankan ideology dan idealisme masing-masing?.
Comments