Peradaban Hellenistik belum hilang. Sebaliknya, dia masih megah terdengar di sela-sela benturan peradaban dunia. Seakan peninggalannya pun tak ikut hanyut bersama puing-puing sejarah. Pada umurnya yang dini beberapa cendekia hebat terlahir dari rahim Yunani, sebagai tuhan keilmuan, segerumulan perdebatan yang sama sekali tak jauh dari pusaran metafisika. Seandainya tak lahir seorang Aristo, Plato ataupun Socrates, Yunani pasti akan mati.
Memang, Tuhan sangat adil. Dunia Timur tidak diperintahkan hanya untuk diam, menunggu dan berdecak kagum terhadap keagungan Barat yang semakin menggejolak. Kemudian Tuhan-pun menciptakan Persia dan Sasania sebagai simbol kejayaan Timur. Katakanlah sebagai negara tandingan. Sedikit bergeser ke selatan, muncul budaya India yang turut membesarkan nama Asia Tengah. Ada alur apalagi yang tercatat dalam skenario Tuhan kali itu?
Mekah, 612 M. Sebuah titik tolak peradaban raksasa akan segera menyeruak ke dalam pentas dunia. Selama kurang lebih sembilan abad, peradaban yang biasa disebut dengan “mohammedian” (pengikut Muhammad), unggul. Serta merta ia dapat menguasai sebagian besar peta dunia. Ekspansi mulai digalakkan. Tak ayal, akulturasi tak dapat ditepiskan. Yang Barat menjadi ketimur-timuran, dan yang Timur pun ikut menjadi kebarat-baratan. Hal yang lumrah dalam ekosistem peradaban.
Masa itu lalu datang, Sang khalifah menggalakkan penerjemahan skala besar melalui jalur transformasi budaya Haran dan Antokia pada awal abad 10 M. Entahlah, beberapa cendekia mungkin lupa menyebutkan dua area transformer tersebut. Mereka sekedar menyerukan bahwa kegemilangan budaya dan keilmuan Bagdad diadopsi begitu saja dari Alexandria. Joep Hameer, dalam artikelnya yang berjudul “ From Alexandria to Bagdad…”(Leiden Press) hendak mengemukakan kepada jamak sebuah penawaran menarik mengenai motivasi dibalik keterpilihan Haran dan Antokia sebagai penyambung budaya ilmiah tersebut.
Akhirnya skenario Tuhan berbicara, tiga peradaban besar itu lambat laun saling bergesekan. Keterpengaruhan diantara mereka tak dapat dihentikan, layaknya air ia pun terus mengalir tanpa bisa dikungkung dengan apapun. Keterpengaruhan budaya, tradisi bahkan agama mendadak ramai. Terlebih dalam diskursus keilmuan, yang niscaya mendapatkan suntikan dari negri lain. Termasuk Islam. Pertanyaan frontal mulai datang bertubi-tubi baik dari kalangan orientalis dan yang lainnya. Mereka menilai sebagian disiplin ilmu Islam hanyalah plagiasi semata. Tudingan yang sangat menohok.
Baiklah, mari kita lupakan sejenak menyoal plagiasi. Toh, dalam dunia intelektual al-Ta’tsir wa al-Ta’atsur dinilai wajar, asal masih dalam batas norma keilmiahan. Dalam hal ini, sejatinya penulis pun mengakui fenomena tersebut, karena bagaimanapun ia termasuk dalam lika-liku proses. Ironis, saat sebagian kepala manusia hanya dapat memahaminya sebagai sebuah intimidasi.
Persematan plagiasi terngiang jelas dalam diskursus filsafat. Filsafat Islam tidak orisinil…! Kira-kira statement itulah yang keluar dari Cara Devo, orientalis asal Prancis. Ternyata ia lupa akan kolaborasi indah antara filsafat dan syari’ah yang dicetuskan Averous ketika di Andalus dahulu, bahkan sampai mengantarkan Barat kesebuah pencerahan zaman. Bukankah karya itu berasal dari sarjana Muslim yang telah berhasil mewarnai filsafat klasik dengan aroma Islam sehingga nampak lain?? Maka sepenuhnya bisa dikatakan bahwa Islam punyai identitas.
Ternyata tidak cukup itu, hujatan lain pelan-pelan masuk ke ranah Ilmu Kalam. Sebagian orientalis mengungkapkan bahwa mayoritas teori-teori ulama Islam (Baca; Ghazali dan al-Baaqilani) terpengaruh banyak oleh teori ketuhanan Nasrani. Entahlah, lagi-lagi para pengkaji itu lupa jika Islam mempunyai Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang sangat jelas berbeda dengan alur pemikiran Kristen.
Selebihnya, hampir semua diskursus Islam dihujat orisinilitas-nya, baik Akhlak, Tasawuf, Qur’anic Studies dan yang lain. Hingga akhirnya, dialektika mulai menampakkan wujud. Para cendekia muslim kembali mencari bukti, atas tudingan dan klaim plagiasi yang entahlah mungkin saja benar atau malah sebaliknya. Penghakiman kembali menyeruak.
Patut disimak, ketika ilmu Islam mengalami kematangan mulai abad 8 M sampai akhir abad 11 M. Adalah capaian hebat yang pernah dimiliki peradaban Islam hingga saat ini. Lembaran sejarah itu turut bertutur, meskipun pada awalnya sarjana Islam Bagdad banyak memilih keilmuan Yunani sebagai inspirasi, namun proses setelahnya-lah yang kemudian banyak merubah disiplin ilmu Islam sehingga mempunyai ciri khas tersendiri. Kematangan ilmu saat itu yang tidak patut dilupakan. Kritik, pembaharuan, dan rekonstruksi telah nyata terwujud. Membuka relung ke-independensi-an. Tetapkah dikatakan sebagai plagiasi utuh serta minim inovasi?? Apologi kian membahana. Penelitian bertambah semarak. Perebutan indentitas bahkan semakin terelakan.
Waktunya untuk memutarbalikkan nasib. Abad pertengahan menjadi saksi kerelaan ilmu Timur untuk dibawa ke Barat. Fenomena yang indah. Pertautan kembali terjadi, mengulang tragedi beberapa abad silam. Beberapa ilmu matang berbondong-bondong diarahkan ke belahan bumi bagian Barat. Jalur Andalus menjadi pilihan. Astrologi, kedokteran, filsafat, telah berpindah dengan mudah. Selanjutnya, budaya saling simak, saling kutip dan saling mengadopsi menjadi wajar adanya.
Memang, Tuhan sangat adil. Dunia Timur tidak diperintahkan hanya untuk diam, menunggu dan berdecak kagum terhadap keagungan Barat yang semakin menggejolak. Kemudian Tuhan-pun menciptakan Persia dan Sasania sebagai simbol kejayaan Timur. Katakanlah sebagai negara tandingan. Sedikit bergeser ke selatan, muncul budaya India yang turut membesarkan nama Asia Tengah. Ada alur apalagi yang tercatat dalam skenario Tuhan kali itu?
Mekah, 612 M. Sebuah titik tolak peradaban raksasa akan segera menyeruak ke dalam pentas dunia. Selama kurang lebih sembilan abad, peradaban yang biasa disebut dengan “mohammedian” (pengikut Muhammad), unggul. Serta merta ia dapat menguasai sebagian besar peta dunia. Ekspansi mulai digalakkan. Tak ayal, akulturasi tak dapat ditepiskan. Yang Barat menjadi ketimur-timuran, dan yang Timur pun ikut menjadi kebarat-baratan. Hal yang lumrah dalam ekosistem peradaban.
Masa itu lalu datang, Sang khalifah menggalakkan penerjemahan skala besar melalui jalur transformasi budaya Haran dan Antokia pada awal abad 10 M. Entahlah, beberapa cendekia mungkin lupa menyebutkan dua area transformer tersebut. Mereka sekedar menyerukan bahwa kegemilangan budaya dan keilmuan Bagdad diadopsi begitu saja dari Alexandria. Joep Hameer, dalam artikelnya yang berjudul “ From Alexandria to Bagdad…”(Leiden Press) hendak mengemukakan kepada jamak sebuah penawaran menarik mengenai motivasi dibalik keterpilihan Haran dan Antokia sebagai penyambung budaya ilmiah tersebut.
Akhirnya skenario Tuhan berbicara, tiga peradaban besar itu lambat laun saling bergesekan. Keterpengaruhan diantara mereka tak dapat dihentikan, layaknya air ia pun terus mengalir tanpa bisa dikungkung dengan apapun. Keterpengaruhan budaya, tradisi bahkan agama mendadak ramai. Terlebih dalam diskursus keilmuan, yang niscaya mendapatkan suntikan dari negri lain. Termasuk Islam. Pertanyaan frontal mulai datang bertubi-tubi baik dari kalangan orientalis dan yang lainnya. Mereka menilai sebagian disiplin ilmu Islam hanyalah plagiasi semata. Tudingan yang sangat menohok.
Baiklah, mari kita lupakan sejenak menyoal plagiasi. Toh, dalam dunia intelektual al-Ta’tsir wa al-Ta’atsur dinilai wajar, asal masih dalam batas norma keilmiahan. Dalam hal ini, sejatinya penulis pun mengakui fenomena tersebut, karena bagaimanapun ia termasuk dalam lika-liku proses. Ironis, saat sebagian kepala manusia hanya dapat memahaminya sebagai sebuah intimidasi.
Persematan plagiasi terngiang jelas dalam diskursus filsafat. Filsafat Islam tidak orisinil…! Kira-kira statement itulah yang keluar dari Cara Devo, orientalis asal Prancis. Ternyata ia lupa akan kolaborasi indah antara filsafat dan syari’ah yang dicetuskan Averous ketika di Andalus dahulu, bahkan sampai mengantarkan Barat kesebuah pencerahan zaman. Bukankah karya itu berasal dari sarjana Muslim yang telah berhasil mewarnai filsafat klasik dengan aroma Islam sehingga nampak lain?? Maka sepenuhnya bisa dikatakan bahwa Islam punyai identitas.
Ternyata tidak cukup itu, hujatan lain pelan-pelan masuk ke ranah Ilmu Kalam. Sebagian orientalis mengungkapkan bahwa mayoritas teori-teori ulama Islam (Baca; Ghazali dan al-Baaqilani) terpengaruh banyak oleh teori ketuhanan Nasrani. Entahlah, lagi-lagi para pengkaji itu lupa jika Islam mempunyai Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yang sangat jelas berbeda dengan alur pemikiran Kristen.
Selebihnya, hampir semua diskursus Islam dihujat orisinilitas-nya, baik Akhlak, Tasawuf, Qur’anic Studies dan yang lain. Hingga akhirnya, dialektika mulai menampakkan wujud. Para cendekia muslim kembali mencari bukti, atas tudingan dan klaim plagiasi yang entahlah mungkin saja benar atau malah sebaliknya. Penghakiman kembali menyeruak.
Patut disimak, ketika ilmu Islam mengalami kematangan mulai abad 8 M sampai akhir abad 11 M. Adalah capaian hebat yang pernah dimiliki peradaban Islam hingga saat ini. Lembaran sejarah itu turut bertutur, meskipun pada awalnya sarjana Islam Bagdad banyak memilih keilmuan Yunani sebagai inspirasi, namun proses setelahnya-lah yang kemudian banyak merubah disiplin ilmu Islam sehingga mempunyai ciri khas tersendiri. Kematangan ilmu saat itu yang tidak patut dilupakan. Kritik, pembaharuan, dan rekonstruksi telah nyata terwujud. Membuka relung ke-independensi-an. Tetapkah dikatakan sebagai plagiasi utuh serta minim inovasi?? Apologi kian membahana. Penelitian bertambah semarak. Perebutan indentitas bahkan semakin terelakan.
Waktunya untuk memutarbalikkan nasib. Abad pertengahan menjadi saksi kerelaan ilmu Timur untuk dibawa ke Barat. Fenomena yang indah. Pertautan kembali terjadi, mengulang tragedi beberapa abad silam. Beberapa ilmu matang berbondong-bondong diarahkan ke belahan bumi bagian Barat. Jalur Andalus menjadi pilihan. Astrologi, kedokteran, filsafat, telah berpindah dengan mudah. Selanjutnya, budaya saling simak, saling kutip dan saling mengadopsi menjadi wajar adanya.
Comments