Skip to main content

Telaah Metodologi Tafsir Pasca Abduh


Oleh : Maria EL Fauzie

Sejak pertengahan abad ke-19 umat Islam menghadapi tantangan hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik dan militer tetapi meluas hingga meliputi bidang sosial budaya. Tantangan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran sebagian besar umat Islam. Mereka melihat kekuatan Barat dan kemajuan ilmu pengetahuannya yang semakin meroket sehingga menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex. Berbagai macam cara dilakukan untuk berusaha mengadakan kompensasi atau melarikan diri, salah satunya adalah mengingat kejayaan dan peninggalan-peninggalan Islam yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan adab al-fikri wa al-tamjid (sastra kebanggaan dan kejayaan). Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran masyarakat Islam sangat besar dalam menafsirkan al-Qur'an. Berbagai corak penafsiran tumbuh subur dengan berbagai latar belakangnya, adalah corak sastra budaya yang timbul akibat banyaknya imigran non Arab yang memeluk agama Islam serta akibat orang Arab sendiri yang masih lemah di bidang sastra. Kemudian corak filsafat dan teologi akibat dari penerjemahan kitab-kitab filsafat dan teologi yang banyak mempengaruhi penafsiran teks al-Qur'an. Corak ilmu pengetahuan juga berkembang bebas akibat kemajuan ilmu-ilmu dan usaha penafsir untuk memahami serta menafsirkan al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu. Adapun corak-corak lain yang meramaikan model penafsiran saat itu seperti fiqh dan tasawuf. Sebetulnya berbagai corak tersebut semakin menambah khazanah tafsir, tapi di balik itu semua tersimpan bahaya laten yakni manipulasi pemaknaan teks. Teks al-Qur'an akan di bawa dan di permainkan sejauh keinginan penafsir. Ini terjadi dalam sejarah Islam terutama konteks konflik antara kaum Mu'tazilah dengan kaum anti Mu'tazilah. Kemudian bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh (1849- 1905) corak- corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak terfokus pada corak sastra budaya kemasyarakatan.

Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya tafsir yang membebaskan. Tidak hanya tafsir yang terkekang dan terdominasi oleh golongan tertentu, tetapi yang menampung aspirasi-aspirasi kelompok lain yang saat ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dengan maraknya kemunculan tafsir yang menggunakan berbagai macam pendekatan-pendekatan baru yang bertujuan menggoyangkan model tafsir konvensional, seperti hermeneutik, pendekatan feminisme, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual atau posmodernis. Karena tafsir konvensional di anggap seringkali mendominasi, hegemonik, anti konteks, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan mencapai pemaknaan tunggal para ulama Islam menuntut model penafsiran yang seragam. Akibatnya tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks sehingga mengabaikan unsur- unsur di luar teks.

Telaah kritis terhadap teks-teks suci adalah problematika umat Islam bukan hanya ulama tafsir dan merupakan problem signifikan yang harus ditemukan solusi konkritnya. Karena al-Qur'an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan berbagai ilmu-ilmu keislaman tapi merupakan inspirator sekaligus pemandu gerakan-gerakan umat Islam selama empat belas abad dalam sejarah umat manusia. Hal ini bisa dilihat dari bermunculnya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Wahabi di Saudi Arabia, Jam'at Islami di Pakistan, NU dan Muhammadiyah ataupun gerakan Islam lainnya di berbagai belahan dunia. Dialektika antara teks al-Qur'an dengan kebudayaan manusia akan selalu berkembang sehingga tidak terjadi stagnansi penafsiran serta tidak akan menjadi teks mati yang tidak berarti apa- apa dalam kancah kehidupan manusia yang pada akhirnya visi transformatifnya akan selalu hidup dan fleksible dengan kondisi umat.

Muhammed Arkoun menegaskan bahwa tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dilakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks suci sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur'an sebagai teks telah banyak melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan bahkan prilaku keagamaan yang tentu saja tidak mudah untuk mengabaikannya. Oleh karena itu banyak metode-metode penafsiran yang di tawarkan dalam upaya yang patut di banggakan sebagai usaha mendinamisasikan al-Qur'an.

Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal Mesir berpendapat bahwa al-Qur'an adalah "produk budaya" artinya teks al-Qur'an terbentuk dalam realitas dan budaya, namun al-Qur'an juga merubah budaya ( muntij li al-tsaqafah). Realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa, oleh sebab itu al-Qur'an juga termasuk teks bahasa. Sehingga dari bahasa al-Qur'an pun juga sebagai teks historis dan manusiawi meskipun pada hakekatnya al-Qur'an adalah kalam Illahi. Semenjak turunnya al-Qur'an kepada Nabi Muhammad, teks illahi sudah berubah menjadi teks manusiawi. Teks bahasa sastra yang di ajukan Nasr dalam metodologinya mengkaji al-Qur'an adalah suatu pendekatan yang patut diaplikasikan menurut Arkoun. Kalam illahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak maka kalam illahi itu tidak akan dimengerti. Salah satu penyebab pemikiran islam mengalami stagnansi adalah penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi illahi. Sekalipun asal muasalnya dari Tuhan, namun Nasr dan Schleiermacher berpendapat study al-Qur'an tidak diperlukan metode khusus, karena hanya sebagian orang saja yang mempunyai kemampuan untuk memahaminya. Bahkan Nasr menyalahkan mayoritas mufassir yang selalu menafsirkan al-Qur'an dengan muatan metafisis Islam.

Sedikit mengadopsi metode pembacaan ulang dan kontemporer terhadap al-Kitab oleh Syahrur, bahwa setiap kata tidak akan bisa menggantikan makna dan fungsi kata lain secara sempurna, karena setiap kata memang secara khusus diciptakan untuk menunjukkan sebuah benda atau sebuah makna, tidak lebih. Ini sesuai dengan pernyataan Tsa'lab: "Apa yang diduga dalam kajian bahasa sebagai sinonim sebenarnya adalah kata yang mempunyai arti yang berbeda", kamus yang dipilihnya pun "Maqayis al-Lughah" karya Ibnu Faris sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya, dan bukan kamus-kamus lain. Teori Abu Ali Farisi mencakup konsep-konsep bahwasanya bahasa adalah sebuah sistem dan fenomena sosial sehingga struktur bahasa saling berkaitan dengan fungsi komunikatif yang diperankannya. Adapun bahasa berkaitan erat dengan pemikiran, sebagaimana kaedah pembahasan di dalam ilmu linguistik adalah bahasa merupakan suara yang menunjukkan makna tertentu sebagai hasil dari pikiran manusia, sekaligus alat yang digunakan bersosialisasi dalam masyarakat. Pemikiran manusia selalu berkembang seiring dengan berkembangnya akal, oleh karena itu tidak ada suatu kata yang mempunyai makna persis tapi memainkan perannya tersendiri sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan Schleiermacher, seorang protestant yang pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin 1815-1816. Menurutnya sebuah teks dapat dipahami dengan melakukan penafsiran bahasa dan psikologi (grammatical and psychological interpretation). Penafsiran kata bahasa berfungsi untuk mengidentifikasikan secara jelas makna istilah bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, sedangkan penafsiran psikologi berfungsi untuk mengidentifikasikan motif pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya ketika menulis teks. Untuk penafsiran tata bahasa, Schleiermacher mengembangkan kaidah- kaidah penafsiran. Dia mengatakan sebuah teks akan ditentukan maknanya jika dikaitkan dengan bahasa yang dikomunikasikan oleh pengarang kepada publik yang orisinal. Selain itu, makna dari setiap kata harus ditentukan dengan konteks keberadaan kata tersebut. Jika Schleiermacher memfokuskan kepada penafsiran sebagai aktifitas para penafsir, yang merupakan persoalan metodologis, maka Gadamer mengabaikan hal tersebut dan menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Gadamer menegaskan pula makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan secara individu. Pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Ada sedikitnya dua metode yang ditegaskan Gadamer, pertama sikap reduktif ketika dengan seenaknya memasukkan konsep kita sendiri dengan berlebihan ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya ; kedua sikap self effacement ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam kaca mata orang lain. Berbagai interpretasi penafsiran setidaknya telah mendominasi kancah intelektual muslim hanya dengan tujuan menyamakan visi dalam memahamkan al-Qur'an sebagai teks suci umat Islam.

Muhammad Abduh pernah berkata, "Seharusnya, telaah terhadap al-Qur'an di posisikan sebagai pemahaman yang kontekstual. al-Qur'an harus dipahami sebagaimana orang- orang pada masa ia diturunkan memahaminya; baik dari segi kata, atau prosa kesusastraan. Ucapan ini sedikit banyak menggugah nurani Khalafullah terhadap kajian sastra al-Qur'an. Disertasi Khalafullah yang berjudul Al-Fann al-Qashashiy fi al-Qur'an al-Karim memicu respon kontroversial dari berbagai kalangan yang dianggap merobohkan bangunan keyakinan umat Islam terhadap kisah-kisah al-Qur'an sebagai kesahihan sejarah. Ketika mayoritas umat Islam meyakini bahwa kisah dalam al-Qur'an adalah sejarah, Khalafullah dengan berani mengatakan sebaliknya. Kisah-kisah tersebut digunakan al-Qur'an untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu, baik nilai sosial, psikologis, agama maupun etika. Jadi saat menyebut kisah-kisah tersebut al-Qur'an tidak sedang menceritakan sejarah masa lalu. Metode yang diterapkan Khalafullah dalam menafsiri kisah al-Qur'an adalah metode sastra yang mempunyai tahapan, yaitu pembahasan kata, pemahaman makna, dan penarikan sebuah hikmah atau pesan yang tersimpan. Para ahli balaghah dan kritikus sastra terdahulu ternyata kurang peduli dengan kisah sebagai salah satu bentuk aliran dalam sastra. Konklusi itulah yang ditemukan Khalafullah dalam penelitiannya terhadap sastra klasik Arab. Para mufassir mendefinisikan kisah sebagai kumpulan kata-kata yang mengandung unsur petunjuk terhadap agama dan mengajak terhadap kebaikan;sebuah definisi yang sangat moralis dan agamis. Kisah dalam al-Qur'an, menurut Khalafullah harus ditempatkan dalam posisi ini. Ia adalah karya sastra yang tentu saja mengikuti alur dan struktur sastra.

Memang dalam mengurai gaya penafsiran intelektual muslim, kita dapat memetik ide-ide segar yang kemudian bisa kita terapkan dalam memahami teks, karena setiap individu berhak melakukan "kencan bebas" dengan teks-teks suci. Klaim kebenaran pemahaman oleh setiap manusia dalam menginterpretasikan teks adalah sekelumit metode yang digunakan Ali Harb dalam penafsiran al-Qur'an. Dia juga berasumsi bahwasanya kebenaran hakiki sebenarnya tidak selalu hadir dalam persepsi manusia karena kebenaran akan selalu berada di tempat di antara dua tempat (manzilah baina manzilatain). Kebenaran pada hakekatnya adalah interpretasi dan reinterpretasi. Setiap individu dan setiap generasi memiliki interpretasinya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, setiap individu, golongan dan setiap generasi memiliki nilai kebenarannya sendiri yang berbeda satu dengan yang lain.

Muhammad Abduh sang pembaharu Islam menawarkan ide-ide brilian progresif untuk melawan konservatisme penafsiran pada saat teks al-Qur'an terkungkung dalam naungan yang mati dan stagnan. Metode-metode penafsirannya pun bergaya dinamis disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang semakin berkembang. Dalam al- Manarnya Abduh lebih mengedepankan penafsiran yang tidak melulu dilihat dari tekstualitas tapi juga harus menilik kepada kontekstualitas turunnya ayat. Gaya tafsirannya Abduh jauh berbeda dengan kebanyakan ulama tafsir pada saat itu yang banyak keluar dari makna teks, bahkan Abduh dengan tegas mengatakan bahwa menafsirkan teks al-Qur'an harusnya dengan al-Qur'an itu sendiri karena unsur kesinambungan dalam teks adalah satu dari sekian hal yang mendapatkan pembenaran dari beberapa ulama tafsir. Dengan mengadopsi teori aksiomanya Decrates, Abduh semakin gencar dalam mensiasati keterangan-keterangan dalam menafsirkan teks. Segala sesuatu yang sifatnya tidak pasti (dzanni) akan segera dihempaskan dari konseptualitas penafsirannya dan lebih memprioritaskan khabar pasti (qath'i). Hal yang paling signifikan dalam tafsirannya Abduh yaitu model pembacaan yang menitikberatkan pada ruh (spirit) teks, karena makna tidak dengan sendirinya tampak dari ungkapan aslinya. Kerancuan dan terselipnya makna dari kedzahirian inilah yang membutuhkan kedetailan dalam mengungkap, menafsirkan, membebaskan bahkan mena'wilkannya. Dengan kata lain teks membutuhkan teks yang menjelaskannya. Yang demikian ini menurut Ali Harb bukan membantu menjabarkan isi teks, tapi justru menutup teks dari muatan isinya "melupakan sesuatu yang telah ada atau menutup sesuatu yang telah terbuka".

Mengangkat interpretasi ulang terhadap teks al-Qur'an lewat pendekatan feminis juga bukan hal yang sulit ditemukan pada era kontemporer. Kuatnya kesan dominasi dan budaya patriarkhi di dalam berbagai khazanah ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, fiqh yang selama ini diyakini telah memberikan porsi besar kepada kaum laki-laki telah menginspirasi beberapa feminis muslim sebut saja Dr. Amina Wadud, Fatimah Mernisi serta Dr. Aisyah Abdurrahman "Binti Syathi'" untuk lebih giat memperjuangkan keberadaan kaum hawa. Fakta membuktikan bahwa kewenangan dalam menafsirkan teks suci pada tataran praktis secara eksklusif dikuasai oleh kaum laki-laki. Kenyataan ini ikut menginfiltrasi sejumlah teks yang sedianya di peruntukkan untuk feminitas wanita dengan susupan-susupan subjektif dari pandangan maskulin si penafsir. Pengalaman laki-laki akhirnya dipaksakan untuk memahami kewanitaan. Celakanya, metode semacam ini sudah terlembagakan selama berabad-abad. Oleh karena itu Amina berpendapat bahwa objektivitas sebuah penafsiran tidak pernah mencapai level yang absolut, dominasi kaum laki-laki akan selalu beriringan di dalam muatan tafsirnya. Sistem inilah yang sering di istilahkan sebagai tafsir maskulin.

Merupakan hal yang sangat kompleks dimana corak penafsiran dengan segala metodologinya semakin menghiasi bahkan mewarnai wacana keintelektualan dunia Islam, analisis kristis yang terus menerus menghujami khazanah penafsiran diharapkan lebih bisa dipertanggung jawabkan. Tidak hanya berputar pada analisa-analisa yang tak berbuntut pada solusi konkrit. Peran yang dimainkan oleh para intelektual Islam dalam pembacaan teks memang sangat vital, yaitu agar teks menjadi produktif dalam menghasilkan makna yang bersepakat. Maka sangat tidak cukup bagi pembaca dalam berinteraksi dengannya hanya sekedar memaknai, menjelaskan maksudnya atau mena'wilkan maknanya, tapi juga harus mempertanyakan aksiomanya, menggali dan mendekonstruksi lapisan-lapisan arkeologisnya, mengungkap mekanismenya serta menelanjangi makna-makna yang tersembunyi.

Urgenitas penafsiran teks al-Qur'an perlu adanya wilayah batasan. Apa yang perlu dan diperbolehkan untuk di tafsirkan dan mana yang tidak perlu. Adalah suatu kebenaran bahwa setiap manusia berhak untuk memahami al-Qur'an untuk dirinya sendiri tapi tidak semua manusia dengan segala kemampuannya dapat menafsirkan hal-hal ghaib yang ada pada al-Qur'an, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan pemaksaan diri dalam memahami konteks al-Qur'an.

Penulis ingin sedikit menjelaskan definisi dari pada tafsir dan ta'wil itu sendiri sebelum terjadi tumpang tindih pemahaman lebih lanjut. Adalah tafsir yang bertujuan menyibak maksud penulis dan makna sebuah wacana. Biasanya tafsir digunakan oleh para penganut salafisme dalam mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran, tidak hanya penganut agama atau madzhab tapi juga penganut ideologi. Tafsir adalah salah satu bentuk strategi penjagaan terhadap eksistensi teks. Celakanya, sebagian perkataan penafsir tidak selalu sama persis dengan teks yang ditafsirkannya, padahal dia mengklaim bahwa yang dilakukannya adalah menjelaskan maksud teks tersebut. Adapun ta'wil adalah memalingkan kata ke salah satu makna yang mungkin, yang sebenarnya bukan makna yang dimaksud. Bisa dikatakan ta'wil adalah bentuk pemaksaan terhadap teks. Berangkat dari pandangan ini setidaknya dapat sedikit membantu kerancuan dalam menafsirkan ataupun mena'wilkan teks suci.

Berbagai corak, metodologi ataupun pendekatan-pendekatan yang telah di usung para mufassir kontemporer saat ini menurut hemat penulis belum menemukan celah perkembangan secara fungsional dalam upayanya merekonstruksi kembali penafsiran dari teks al-Qur'an, karena hanyalah sebagian surat ataupun ayat saja yang mulai ditafsirkan lagi tanpa mengupayakan wujud tafsiran yang sempurna. Para kaum intelektual Islam mencoba mengkaji ulang dalam takaran tertentu sehingga secara keseluruhan memang belum terealisasikan. Yang pada akhirnya saat ini kita belum menemukan tafsiran sempurna dari metode-metode brilian yang dikeluarkan ahli tafsir pada umumnya.

Selama ini ilmu al-Qur'an oleh sebagian umat Islam dianggap sudah kelewat matang, sehingga tidak diperlukan lagi upaya untuk sekedar mengkaji ulang atau menambahkan atas apa yang ditinggalkan oleh ulama terdahulu. Matangnya ilmu-ilmu al-Qur'an tersebut ditandai dengan ditulisnya Al-Itqan oleh Suyuthi (849-911) melengkapi Al-Burhan yang ditulis sebelumnya oleh Zarkasyi (744-794). Dan setelah itu umat Islam tidak menambahkan sesuatu yang baru. Seolah segala sesuatu yang dibahas oleh Al-Burhan dan Al-Itqan telah selesai tanpa harus ada pembahasan lebih lanjut sesudahnya, kecuali hanya sekedar menyederhanakan agar lebih mudah dipahami. Tentunya bukan merupakan sebuah kesalahan untuk merujuk kepada keduanya mengingat referensi yang mereka pakai tidak sampai kepada kita, tapi bahwa apa yang mereka tinggalkan tidak mencukupi kebutuhan kita sekarang. Fenomena yang ada, perkembangan ilmu tafsir belum menemukan titik temunya hanya berkutat pada lontaran-lontaran wacana dan ide saja. Tapi justru dari wacanalah berkembangnya ilmu tafsir akan "melompat lebih tinggi".

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula