Cairo, 2005
Matahari musim panas serasa menampar kulit. Siang itu suhu udara berkisar mencapai hingga 40 derajat celcius. Bukan main panasnya. Tenggorokan terasa kering. Saya pun hampir tidak sadar ternyata masih ada sebongkah daging yang melindungi kerongkongan dari sengatan matahari. Bulan Agustus di Kairo adalah puncak musim panas. Jam tangan menunjukkan pukul 7 malam, namun senja di langit kota ini sepertinya masih enggan untuk menunjukkan eksistensinya untuk menyambut malam.
Suasana masih seperti jam tiga sore waktu Indonesia. Dan saya bersyukur. Jika saja waktu itu sudah gelap, pasti saya akan kehilangan momen terindah untuk dapat menyaksikan kemegahan Pyramid dari jendela pesawat. Sungguh, saya terpesona.Melihat rumah-rumah di Kairo seperti halnya kubus-kubus yang tertata apik dipadu dengan warna coklat. Sesekali, mata saya tertuju pada luasnya padang pasir yang seolah-olah menjadi tembok abadi pelindung kota ini.
Kumuh. Beberapa kayu nampak berserakan. Turun dari pesawat kami harus melewati setapak jalan mirip gudang. Yah, namanya juga gudang, bisa dibayangkan betapa mengerikannya kondisi bandara international ini. Kontras. Hal itulah yang terbesit di hati saya ketika membandingkan dengan bandara Abu Dhabi. Ternyata, bandara ini sedang dalam renovasi.
Setelah mendapatkan koper masing-masing, kami dikawal seorang senior yang bertugas untuk menjemput para pelajar baru. Saya mulai menikmati perjalanan. Bis kami melaju dengan pelan, sepertinya memang sengaja agar kami bisa menikmati kota ini. Sementara, para senior mulai menjelaskan selayang pandang tentang Kairo dengan segala pernak-perniknya.
“Jangan salah, lalu lintas disini jauh lebih parah jika dibandingkan dengan Indonesia”, begitulah kira-kira sepenggal penjelasan dari senior.
Tidak ada trafic light yang berfungsi secara baik di Kairo, paling hanya beberapa, khususnya yang ada di pusat kota”. Kecelakaan, saling sundul-menyundul mobil adalah hal biasa disini. Tidak ada satu mobil-pun yang mulus. Bahkan sekelas BMW atau Mercedes Benz pasti ada goresan, tak jarang juga ada yang peok.
Belum sampai 15 menit, ada pemandangan aneh yang membuat saya bengong, sebengong-bengongnya. Nampak dengan jelas adegan tampar-tamparan, saling adu jotos, jambak-jambakan, ditambah lagi dengan adu mulut dengan suara melengking seperti klakson truk tronton.
Yang bikin saya semakin melongo, tak ada satupun manusia yang mencoba untuk melerai kedua orang ini. Rupanya terjadi kecelakaan antara sebuah mobil sedan dan tramco (angkot). Saya terus-terusan menengok ke belakang dari balik jendela bis, padahal jaraknya sudah jauh, amat jauh.
Orang Mesir memang punya tradisi caci maki di atas rata-rata. Jika marah mereka bisa mengeluarkan makian sepanjang rel kereta api. Menggebu-gebu dan penuh emosi. Mereka bisa tahan adu mulut selama setengah jam lebih. Semua nama binatang serta-merta keluar dalam satu waktu.
Ajaibnya, hanya ada satu kata yang bisa melerai adu mulut ini. Shollu ‘ala al-Nabi. Yah, kalimat yang berarti “bersholawatlah kepada Nabi Muhammad” ini cukup efektif. Begitu terdengar kalimat shollu ‘ala al-nabi yang entah keluar dari mulut siapa, mereka akan berhenti. Meredamkan kembali emosi yang telah membuncah. Hampir tiap hari saya menyaksikan adegan ini. Orang Mesir mudah sekali marah, entah di bis, pasar, halte,tramco, kampus, sepertinya semua layak untuk menjadi tempat beradu mulut dan adu jotos.
Selama diperjalanan, saya juga melihat begitu banyak laki-laki yang, ah apakah mereka sadar atau tidak, apakah mereka berpendidikan atau tidak, beragama atau tidak, -maaf- buang air kecil sembarangan. Tidak hanya satu, mungkin sudah belasan mata saya menjadi saksi hidup adegan menantang (?) ini.
Mereka dengan santai, bebas, cuek, dan tanpa dosa berjalan kemudian dengan seketika berhenti, memutarkan badan ke arah tembok di pinggir jalan besar, dan buang air. Bahkan saya pun menyaksikan bagaimana air kencing itu kemudian mulai mengalir, membelah trotoar, meresap dan menguap oleh panasnya sinar matahari.Yang tertinggal hanyalah bau pesing yang cukup menyengat hidung, bahkan sampai menyiksa tenggorokan.
Aneh. Bukankan ini negara Arab, mayoritas muslim, negara dimana nabi-nabi Tuhan banyak melakukan perjumpaan dan perjalanan di sini. Bukankah mereka semua mengerti pesan al-Qur’an, bukankah pusat agama Islam ada di sini. Lagi lagi, saya didera pertanyaan yang normatif namun cukup masuk akal. Sesekali saya melihat bahwa agama tidak ada hubungannya dengan budaya, namun di sisi lain saya melihat bahwa agama punya peran yang sangat signifikan dalam pembentukan sebuah budaya.
Di titik inilah saya dipaksa untuk mengerti ‘yang lain’, bukan Indonesia, Jawa, atau Islam yang telah lama menjadi bagian dari identitas pribadi saya. Dan disinilah saya berani untuk membuat garis batas, antara saya dan orang Mesir. Antara agama dan budaya. Mulai membanding-bandingkan, dan menelaah.
Tak jarang saya harus berdecak kaget, merasa paling benar ketika melihat warga Mesir melakukan sholat atau wudlu yang sekiranya asing dilakukan di Indonesia. Seakan saya menutup semua perbedaan. Bahkan dengan sesama muslim saya harus menaruh ‘kecurigaan’, ‘ketidakabsahan’ atas keberimanan mereka.
Bayangan tentang Kairo ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Selama ini saya hanya membayangkan, tanpa sekalipun mengintip negara ini melalui internet. Maklum, internet masih langka dan cukup mahal ketika itu. Atau, memang saya yang kampungan tidak tau bagaimana menggunakan jaringan internet?.
Sekilas, Kairo memang tampak megah dan ‘religious’. Ia dijuluki sebagai ‘Ummu al-Dunya, Ibu dari semua peradaban dunia. Ia juga disematkan sebagai kota dengan seribu menara, pusat keilmuan Islam yang terpancar dari kampus Al-Azhar, kampus tertua di dunia. Kairo punya sejarah panjang, dan menakjubkan. Namun, Kairo yang saya lihat sekarang tak seindah yang saya bayangkan sebelumnya. Ah, mungkin saya memang belum mengenal Kairo.
Comments