Skip to main content

Catatan dari Kairo: Menjadi Indonesia


Cairo, 2009

Syahdan, jalan ini merupakan saksi sejarah. Saya terhanyut oleh pancaran berjuta kisah yang seolah-olah diceritakan dengan apik oleh jalan ini. Syari’ Mu’izLidinillahSyari’ adalah bahasa Arab yang berarti jalan, sedangkan Mu’izLidinillah merupakan nama seorang panglima besar Dinasti Fatimiyyah yang pernah berjaya di Kairo pada abad 8-9 Masehi. Sebelum bernama Kairo, kota ini disebut dengan al-Fusthat. Oleh dinasti inilah kota al-Fusthat diganti dengan Kairo atau Qahirah yang berarti kemenangan.

Terlihat sungguh apik. Jalan ini mempunyai lebar tak lebih dari empat meter. Arsitektur serta ornamen klasik menghiasi hampir disetiap sudut jalan. Saya sendiri merasa seolah-olah berada di Eropa. Para sejarawan menyatakan bahwa tiga sampai empat abad paska runtuhnya dinasti Fatimiyah arsitektur Muslim telah mencapai puncak ekspresi dengan ciri khasnya yang kaya ornament.

Batu-batu beragam sengaja didatangkan langsung dari Romawi dan Byzantium. Awalnya, ciri khas yang mendominasi adalah model arsitektur periode dinasti Nurriyah dan Ayyubiyah. Kemudian mendapat pengaruh baru dari gaya arsitektur Suriah-Mesopotamia pada abad 13 M, tepatnya ketika Mesir menjadi tempat berlindung bagi pengrajin dan ahli seni dari Mosul, Bagdad dan Damaskus paska invasi Mongol. Meskipun telah mengalami berbagai renovasi, namun keaslian bangunan ini masih sangat kental. 
          
Eh da ya ‘amm, keda bass khomsah wa talatiin geneh?”.“Apa-apaan ini, cuma kaos kayak gini aja tiga puluh lima pound?”. Saya berceloteh. Rupanya ketrampilan tawar-menawar saya mulai kambuh di pasar ini. Pasar yang terletak di ujung jalan. Namanya Khan Khalili, pasar traditional yang menjual berbagai macam pernak-pernik khas Mesir.

Konon, pasar ini berumur lebih dari delapan abad. Terletak di seberang masjid Al-Azhar, dan masjid Al-Husein cucu nabi Muhammad. Lokasi ini memang penting, dan dijaga ketat (meskipun juga kadang-kadang saja) oleh polisi Mesir. Beberapa kali pasar ini menjadi sasaran bom teroris, maklum saja hampir semua turis asing yang berkunjung ke Mesir akan mampir ke pasar bersejarah ini.

“Hanya perempuan yang kurang normal yang tidak suka menawar barang”, gumam saya. Bahkan mereka pun rela mati digantung jika menemukan harga yang jauh lebih murah dari harga yang mereka tawar sebelumnya. Puluhan bahkan ratusan kata-kata mulai beradu antara saya dan si pedagang. Keringat bercucuran. Tak ada tawa, juga senyum. Semua mendadak seperti adegan film action. Mata saya mulai tajam setajam silet, mulut saya berbusa-busa, tenggorokan saya pun mulai kering.

Harga kaos imut bergambar unta Arab dipatok dengan harga 35 Le, atau setara dengan tujuh puluh lima ribu rupiah. Padahal kainnya tipis. Mana ada yang rela dengan harga kaos tersebut, bahkan turis bule pun mungkin akan merasa dibodohi dengan harga yang tidak masuk akal ini.

Tiba-tiba berceletuklah ia. Si pedagang itu. 

“Enti min Andunisi, shoh? Malaysi musyta’mal keda”. “Kamu dari Indonesia kan? Orang Malaysia tidak begini”. 

Hek, saya pun terpana. Bagaimana pedagang ini tau kalo saya dari Indonesia, padahal wajah saya bisa lah jika dimiripkan dengan wajah bule asing dari Amerika Latin atau Korea (?). Hidung saya dibuat kembang kempis. Wajah saya seketika bercahaya. Bangga. Bagaimana dia tau, kalo saya dari Indonesia, yang sebagian orang Mesir pun kadang tidak tau apakah memang benar ada negara yang bernama Indonesia?. Mereka lebih familiar dengan negara tetangga dari pada Indonesia. Mengenaskan.

Hanya berselang sekian detik, saya kembali merasa diinjak-injak. Dengan santainya si pedagang ini bilang, “Yah, begitulah kebanyakan perilaku turis atau pelajar Indonesia. Mereka suka menawar barang hingga babak-belur. Tidak seperti pelajar Malaysia”. 

Tak cukup sampai disitu, dia kembali bertanya “Oia, katanya wanita Indonesia murah-murah ya? Tidak perlu memikirkan mahar yang tinggi untuk meminang perempuan Indonesia? Maukah kamu mengenalkan teman wanitamu kepada saya?”. Polos dan inocent. Bagai disambar petir di siang hari. Diam. Saya membisu, kemudian berpaling dan pergi. Tanpa meninggalkan sepenggal kata. Kalau toh saya berdebat, buat apa? Mungkin memang pengalaman mereka bercerita tentang kenyataan itu. 

Pelajar Malaysia di Kairo cukup banyak, bersaing dengan jumlah pelajar Indonesia. Bedanya, secara finansial mereka sepenuhnya di sokong oleh negara. Mereka memiliki asrama mahasiswa besar, mewah dan megah. Jelas, mereka sudah tidak berpikir lagi tentang bagaimana hidup di negeri Pyramida ini dengan beasiswa hanya sekitar seratus delapan puluh ribu rupiah per bulan bagi yang tinggal di asrama Al-Azhar, atau sekitar empat ratus ribu rupiah bagi yang tinggal di luar asrama. Aih, betapa mengerikan wajah perempuan Indonesia di mata orang Mesir. Lucu sekaligus geram. Dua rasa yang saling beradu jadi satu, seperti es buah, campur-campur, tapi pedas (?)

Memang, terdapat tradisi yang kuat dalam masyarakat Mesir. Seorang pemuda yang ingin menikah harus terlebih dahulu menyiapkan modal yang tidak sedikit, tak pandang bulu apakah calon mempelai wanita dari keluarga kaya atau tidak. Ada nilai sosial yang telah mengakar bahwa pria yang ingin melamar harus terlebih dahulu menyiapkan rumah layak huni dan membayar mahar yang cukup tinggi. Sedangkan struktur sosial dan ekonomi Mesir belum dapat dikatakan stabil.

Terlebih budaya korupsi, peledakan jumlah penduduk dan pengangguran melonjak tajam di Kairo, sebagai kota terpadat di Mesir. Wal hasil, banyak terjadi pelecehan seksual dimana-mana. Dan, nampaknya wanita Indonesia dianggap ‘murah’ dan ‘gampang’ untuk dijadikan istri. Entah bagaimana bisa mereka berasumsi buruk terhadap perempuan Indonesia. Bagaimana kabar itu bisa sampai ke negri ini? Saya pun kembali geram.

Setiap kali bertemu dengan orang Mesir, mereka selalu menyangka bahwa kami dari Malaysia atau Cina. Menjadi seorang Indonesia memang terkadang harus menelan pengalaman pahit. Entah, apakah kami dianggap negara rendah oleh mereka, atau mungkin hanya karena kurs rupiah yang lebih kecil dari pound Mesir.

Bahkan, dikantor imigrasi kami harus berjuang melawan passport berwarna merah dari negeri tetangga. Padahal, harus antre berjam-jam untuk berurusan dengan administrasi Mesir yang tak kalah ruwetnya dengan Indonesia. Malah lebih rumit, dan menyebalkan. Baru bekerja setengah jam, sang pegawai sudah harus menikmati sarapan dan nge-say (tradisi minum teh) selama satu jam bahkan lebih.Tidak produktif. Pegawainya saja sudah tua-tua, kalo lelah mereka akan ngomel panjang dan tidak mau bekerja.

Kebiasaan yang paling sering dilakukan dan berdampak hebat terhadap emosi saya adalah, ketika di bukroh-in. Sebuah istilah yang cukup familiar dan dapat membuat orang seketika lemas lunglai. Dengan tanpa alasan, sang pegawai akan dengan mudah mengatakan “besok saja”, padahal jelas-jelas mereka bisa bekerja pada waktu itu. Belum lagi antrian yang harus diperjuangkan dari jam 5 pagi, sampai jam 11 siang. Betapa waktu sangat tidak berharga di sana. Atau, gara-gara saya orang Indonesia? Yang tidak bisa ‘menyogok’ dengan lembaran pound Mesir? Tidak adil. Dimana-mana uang yang menjadi standar perlakuan baik. Saya pun bisa menebak, jika saja waktu itu ada bule yang sama-sama mengurus visa, pasti passpor saya akan di taruh di tumpukan paling bawah.
           
Saya belum mengenal Mesir. Warga Mesir pun mungkin juga merasa asing dengan nama Indonesia. Tentu, saya tidak bisa memaksa mereka untuk mengenali budaya, agama, wanita dan kultur Indonesia. Mereka pun juga tidak bisa memaksa saya untuk dapat memahami struktur sosial dan budaya mereka. Perkenalan kami hanya sebatas permukaan. Mendengar, melihat, mengamati dari ‘luar’.

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517