Skip to main content

Catatan Dari Jerman (2): Pasar Turki




Miniatur Istanbul. Itulah julukan yang biasa disematkan untuk kawasan ini. Nuansa Jerman memang agak sedikit blur ketika saya berkunjung di suatu sore yang hangat. Bukan karena ketidak-jelasan identitas sebagai sebuah bangsa ber-ras Arya, namun karena banyaknya wajah-wajah orient yang berlalu-lalang di jalan. Namanya Kreuzberg.

Dahulunya, kawasan ini merupakan tempat pemukiman penduduk miskin, kira-kira tahun 70-an. Hingga saat ini, Kreuzberg masih dikategorikan sebagai kawasan dengan angka pengangguran tertinggi di Berlin. Tercatat dari 31,6% penduduknya bukan merupakan warga negara Jerman. Imigran keturunan Turki merupakan pemukim terbesar di daerah ini, selain dari Arab, dan keturunan Afrika Amerika (African American).

Keluar dari subway Schönleinstr, gerai-gerai bertuliskan bahasa Turki dan Arab menyapa saya. Dari penjaja kebutuhan rumah tangga lengkap, sampai penjual jasa baik dokter maupun tiket pesawat. Tertulis di depan gerai tersebut minimal tiga, atau dua bahasa. Yang satu bahasa Jerman, dan bahasa lokal (Arab atau Turki). Gadis-gadis berjilbab sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Saya merasa menemukan teman seperjuangan. Maklum, di tempat saya tinggal saya hanya menemukan beberapa gelintir saja wanita yang berjilbab.



Kebetulan juga sore itu ramai sekali. Ternyata pusat keramaian terdapat beberapa meter saja dari subway tersebut. Yaitu Pasar Turki. Nampak beberapa orang berlalu-lalang sambil membawa tas-tas besar berisi sayur mayur dan buah-buahan segar. Tak ketinggalan, saya pun langsung terbirit-birit memasuki pasar dan mulai membidik beberapa sayuran berharga miring.

Pasar ini penuh dengan berbagai macam manusia. Dari yang anak-anak, remaja, kakek dan nenek tua sampai bayi. Tidak hanya penduduk Jerman dan Turki, saya juga mendapati beberapa turis asing, entah dari mana karena saya tidak mengenal bahasa mereka, juga ikut menikmati suasana pasar yang hingar-bingar layaknya sebuah diskotik.
“Drei kilo Eine Euro, Drei kilo Eine Euro”.

Bapak-bapak berparas Turki saling berlomba-lomba paduan suara untuk menarik pembeli. Berteriak hebat seolah-olah para pembeli berada di seberang jalan. Padahal hanya berjarak satu bahkan dua langkah kaki saja. Buah jeruk segar hanya dipatok harga satu euro untuk tiga kilo. Murah banget !

Biasanya kami menyebut pasar ini dengan pasar Turki. Karena mayoritas penjualnya orang Turki, juga barang dagangannya diimpor dari Turki. Pasar Turki dikenal dengan harganya yang miring. Jauh berbeda jika kita belanja ke pasar-pasar traditional milik orang Jerman. Di Berlin, terdapat dua pasar Turki. Yang satu di daerah Leopolplatz, yang yang satu lagi di daerah ini, Kreuzberg. Dua kawasan itu merupakan pusatnya komunitas Turki di Berlin.

Apa yang tidak ada di pasar ini. Semuanya komplit. Dari sayur, buah, ikan segar, kain, baju sampai pernak-pernik rumah tangga lainnya. Mau makanan yang belum jadi sampai yang sudah jadi, semuanya ada. Dari Doner Kebab, Crepes, Falafil khas Arab sampai Currywurst khas Jerman. Di pasar inilah multikulturalisme benar-benar ada. Tidak ada perdebatan agama, atau ras. Yang ada hanya perdebatan harga tomat atau cabai.

Harga yang lumayan miring, dibanding jika beli di supermarket Jerman membuat pasar ini semakin dikenal masyarakat. Saya mulai menyusuri kios-kios yang berjejer panjang sampai ujung gang. Setelah beberapa kali mampir ke kios buah, mata saya tertuju kepada toko kecil penjaja jilbab Turki. Toko itu diberi nama Istanbul Boutique. Ah, kebetulan saya lagi mengidamkan jilbab Turki. Modelnya elegan. Saya pun langsung bergegas masuk dan berbelanja. Cewek banget deh.



***
Jerman merupakan negara dengan komunitas Turki terbesar diluar negara asalnya. Usut-punya usut, hubungan antara Turki dan Jerman tercatat sejak ratusan tahun lalu, ketika kekuasaan Otoman mulai ekspansi ke kawasan Eropa. Gelombang imigrasi besar-besaran terjadi paska PD II, ketika Jerman melakukan pembangunan skala masif dan membutuhkan ribuan pekerja. Saat itulah, pemerintah Turki dan Jerman sepakat untuk mengirimkan beberapa pekerja yang biasa disebut sebagai ‘guest worker’.

Pada tahun 1961, jumlah ‘guest worker’ dari Turki maupun negara Arab lainnya semakin tak terbendung. Mereka mengikutsertakan keluarga dan anak-anak yang setiap tahunnya berkembang dan terus menerus menambah keturunan. Dibawah pemerintahan kanselir Helmut Schmidt tepatnya tahun 1965, dikeluarkan undang-undang “foreigner law” atas status mereka.  Perekrutan pekerja dari Turki seketika diberhentikan, dan pemerintah akan memberikan suntikan dana bagi mereka yang ingin kembali pulang ke negara asalnya.

Selain itu, pemerintah Jerman juga memberikan kuota bagi mereka yang ingin berpindah kewarganegaraan. Setiap tahun-nya, terdapat ratusan ribu pekerja Turki yang mendaftar untuk menjadi warga Jerman. Maka tak heran, jika saat ini banyak sekali keturunan Turki yang berwarganegara Jerman. Rata-rata mereka merupakan generasi ke tiga dari ‘guest worker’ ini.

***
Perkenalan warga Jerman dengan imigran Turki yang mayoritas Muslim kian tak berbatas. Paling tidak saya melihat ratusan restauran dengan label halal berceceran di pinggir jalan. Masjid juga semakin merajalela seiring dengan permintaan komunitas muslim sebagai wadah mereka untuk beribadah. Rata-rata masjid di Jerman masih berupa gedung-gedung minimalis. Biasanya terletak di lantai bawah sebuah apartemen. Di Berlin sendiri terdapat empat masjid dengan ukuran besar, salah satunya adalah Şehitlik Mosque yang beberapa waktu lalu saya sempat berkunjung kesana. Bangunannya mirip seperti Blue Mosque yang ada di Istanbul. Cantik.


Persinggungan saya dengan berbagai muslim yang mempunyai latar belakang berbeda tentu menumbuhkan kesan tersendiri. Seperti ketika beberapa tahun lalu saya mulai memahami kultur Muslim di Mesir. Nah, Muslim Jerman mempunyai karakter khas Turki. Festival dan acara keagamaan kental dengan nuansa Turki. Bahkan bahasa Turki menjadi bahasa kedua di Jerman. Paling tidak, saya melihatnya dari iklan-iklan yang tersebar di sudut-sudut jalan dan beberapa acara di televisi.

Di daerah Kreuzberg ini, saya benar-benar seperti berada di Istanbul. Meskipun hanya miniaturnya.

  

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat...

Ngaji Sambil Nglawak? Rahasia Beragama Dengan Santun

Dimuat di situs Qureta,  30 November 2017 Obrolan singkat saya bersama Pak Man, sebut saja begitu. Beliau adalah juru parkir sekolah anak saya, yang kebetulan rumahnya tidak jauh juga dari rumah kami. “Bu, besok ada Kyai ‘Qulhu wae Lek’, ngaji lagi di masjid dekat sini loh”, Dengan hanya menyebut Kyai ‘Qulhu wae Lek’, semua seakan paham siapa yang dimaksud. Iya, itu kyai yang lucunya bisa bikin ngakak habis. Gokil ! “Loh, bukane udah beberapa waktu lalu Pak. Halah , perasaan belum ada setengah tahun sepertinya ya. Udah diundang lagi?”. Jawab saya “La iya Bu, beliau ini laku keras. Jadwal ngajinya padat.. Soale lucu!” Soale lucu. Itu kunci. Rata-rata, memang masyarakat perkampungan seperti di tempat kami ini lebih suka model pendakwah yang gemar melawak, lucu, dan tidak galak. Ngaji, tapi juga melucu. Bisa mencairkan suasana pengajian dengan gayanya masing-masing. Ga usah dibayangkan pengajian ini seperti Majelis-majelis Ta’lim para ke...

Anak Anak Dijejali Buku Harga Jutaan, Si Mamah Referensinya Cuma Felix Shiauw

*** Dimuat di situs Mojok  25 September 2017 Courtesy Mojok --> Keinginan para Mahmud untuk menumbuhkan minat baca anak patut diacungi jempol. Buku dengan harga jutaan sekonyong-konyongnya bisa dihadirkan demi si buah hati. Tentu saja, salah satu tujuan dan jargon produsennya adalah agar kelak si anak menjadi pribadi yang rajin membaca. Sebagai bekal pengetahuan di masa depan, dan bla bla bla !. Dari pada dibelikan mainan yang ga mengedukasi kan? Begitu kira-kira dalihnya. Ga cukup disitu juga seh, si Mahmud terkadang harus rela antri menggunakan cara arisan. Mengatur sedemikian rupa pemasukan bulanan, dan menyisihkan beberapanya untuk buku-buku ini. Menjadi sebuah kebanggaan jika uang arisan sudah mencukupi dan akhirnya bisa mendapatkan sepaket buku dengan boneka lucu yang bisa mengaji dan bercerita. Lumayan, anak bisa sejenak bermain sendiri dengan buku dan boneka-boneka itu. Dan, si Mamah asik bercengkerama di sosial media, dan ...