Skip to main content

Catatan Dari Kairo: Pelayat Bayaran



Cairo, 2009

Saya tak menyangka sore itu akan melihat aksi ibu-ibu Mesir layaknya pemain sinetron. Mengkisahkan sebuah alur cerita yang dipenuhi dengan adegan sedih kemudian  menangis. Tentunya dengan airmata bercucuran, dan meninggalkan bekas hitam legam akibat maskara yang luntur.

Siapa juga yang menyangka ibu-ibu tersebut berperan sebagai sosok antagonis. Setelah berteriak-teriak, menangis meraung-raung, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Berceloteh penuh kegembiraan dengan teman-temannya. Sinetron banget bukan?

Ceritanya begini. Ketika itu, saya bersama beberapa kawan hendak menuju ke sebuah situs sejarah yang berupa gate atau Bab (gerbang). Namanya Bab al-Futuh dan Bab al-Nasr. Biasa juga disebut dengan gerbang kembar, meskipun tak ada kemiripan sama sekali antara keduanya. Yang satu bulat pipih bergaya Romawi dan yang satu agak kotak serupa benteng.

Matahari begitu terik. Kami mencari kedamaian di bawah bangunan gerbang yang menjulang tinggi sehingga menutupi pancaran radiasi yang hendak menusuk kerongkongan. Bunyi nyanyian khas Mesir begitu membahana. Ramainya seperti musik dangdut, bahkan lebih dahsyat, menggelegar ke segala penjuru. Padahal hanya bersumber dari satu buah tape recorder yang  terpasang di sebuah tramco*.

Mafesh haga tegi keda
Ehda habebi keda
Wa argaa zay zman
Ya ebni esmaani hatdlaani
Takhod eani kman

Sebuah lirik yang dibawakan artis keturunan Libanon-Mesir, NancyAgram, terdengar beberapa kilometer dari posisi tramco. Bukan main kerasnya.

Penduduk negeri ini sepertinya gemar sekali membunyikan musik dengan suara yang melebihi klakson kontainer. Brisik. Sampai-sampai saya dibuat goyang, padahal sungguh saya tidak bergoyang sama sekali. Mungkin efek dari dentuman gendang dari sound system tramco.   

Belum lagi kalau ada salah satu penumpang yang baru saja turun. Si kernek tramco, entah sengaja atau tidak, gemar sekali menutup pintu seakan-akan tenaganya seperti mau merobohkan tembok Berlin. Bunyinya, Brroookk ! Tak jarang saya harus terbangun ketika rasa kantuk mulai bermain-main merayu mata saya untuk terlelap.

**
Selang sekian detik, konsentrasi saya dibuat semakin tercerai berai. Dentuman musik balady, atau biasa disebut sebagai musik lokalnya penduduk Mesir, yang semakin menjauh tergantikan oleh hiruk-pikuk beberapa kawanan abla-abla yang semakin mendekat ke arah kami.   

Dari arah Bab el Shereya, Ibu-ibu Mesir khas dengan abaya hitam yang menjuntai dari leher sampai pergelangan kaki, bergerombol dan menambah suasana kawasan padat penduduk ini semakin hiruk-pikuk. Seperti kawanan semut yang tiba-tiba keluar dari sarang ketika musim panas. Kemudian, mereka duduk persis di samping saya. Saling bercerita, bersenda gurau dan sesekali bercanda dengan orang-orang yang melewati jalan di bawah gerbang. Kini, depan gerbang tersebut penuh dengan ibu-ibu. Seperti mau arisan.

Tidak lama, dari arah yang sama datang sebuah kawanan yang lain. Kali ini bukan rombongan ibu-ibu. Melainkan bapak-bapak, beserta para pemuda Mesir. Nampak  sebuah peti kayu berwarna coklat di bopong para pemuda. Ternyata ada yang meninggal dan akan di sholatkan di masjid Al-Hakim bi Amrillah. Masjid peninggalan Dinasti Fatimiyah, yang terletak persis di belakang Bab al-Futuh.

Jalannya cepat sekali. Seolah-olah seperti dikejar malaikat. Tanpa ada komando, tiba-tiba, ibu-ibu Mesir tersebut meraung-raung. Menangis sejadi-jadinya. Sesekali sembari menengadahkan tangan ke atas.Alamaaak, saya semakin bingung !

Persis ketika rombongan pembawa peti jenazah melewati gerbang, ibu-ibu tersebut masih terus bersedu-sedan. Justru semakin keras. Seolah-olah, yang meninggal adalah salah satu keluarganya. Mereka, dengan sesekali mengusap cucuran air mata, juga  mengikuti rombongan ke masjid Al-Hakim, sampai setelah jenazah disholatkan.

Saya tertegun sejenak ketika melihat rombongan pengangkut jenazah tadi mulai berhamburan keluar masjid dan berjalan kembali dengan rute yang sama. Terlihat rombongan paling belakang masih menyisakan isak tangis yang lirih tapi dalam. Saya turut berduka.

Dan, kawanan ibu-ibu tadi menyusul di bagian paling belakang. Bedanya mereka tidak melanjutkan perjalanan seperti yang lain. Mereka kembali duduk, dan kembali bercengkerama seperti akan membuat arisan jilid dua.

Sepertinya ada yang aneh. Saya membatin. Hanya membatin.

Sebentar saja saya tinggal membatin, seorang lelaki, menghampiri kawanan ibu-ibu tadi. Sembari mengeluarkan recehan, entah berapa nominalnya, dan dibagi-bagi ke semua anggota arisan. Tanpa ada satu-pun yang terlewati. Terlihat sangat riang. Dan sesekali terdengar ungkapan terima kasih kepada lelaki berpostur jangkung itu. Mungkin bagi segerombolan ibu-ibu tadi, kematian seseorang merupakan pintu rezeki. Bisa jadi untuk makan anak-anak-nya esok hari.

Mereka akhirnya pulang, menaiki sebuah mobil pick-up yang ternyata milik lelaki tersebut. Mungkin ada tawaran lain yang membutuhkan jasa tangisan dan sedu-sedan mereka.

Saya kembali membatin. Yang kali ini disertai imajinasi,seolah-olah saya hidup di zaman Arab jahili. Siapa sangka, tradisi itu masih kuat di Mesir. Di bumi para nabi.

Tramco           : Angkot
Abla-abla        : Panggilan untuk ibu-ibu di Mesir    
  

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat...

Ngaji Sambil Nglawak? Rahasia Beragama Dengan Santun

Dimuat di situs Qureta,  30 November 2017 Obrolan singkat saya bersama Pak Man, sebut saja begitu. Beliau adalah juru parkir sekolah anak saya, yang kebetulan rumahnya tidak jauh juga dari rumah kami. “Bu, besok ada Kyai ‘Qulhu wae Lek’, ngaji lagi di masjid dekat sini loh”, Dengan hanya menyebut Kyai ‘Qulhu wae Lek’, semua seakan paham siapa yang dimaksud. Iya, itu kyai yang lucunya bisa bikin ngakak habis. Gokil ! “Loh, bukane udah beberapa waktu lalu Pak. Halah , perasaan belum ada setengah tahun sepertinya ya. Udah diundang lagi?”. Jawab saya “La iya Bu, beliau ini laku keras. Jadwal ngajinya padat.. Soale lucu!” Soale lucu. Itu kunci. Rata-rata, memang masyarakat perkampungan seperti di tempat kami ini lebih suka model pendakwah yang gemar melawak, lucu, dan tidak galak. Ngaji, tapi juga melucu. Bisa mencairkan suasana pengajian dengan gayanya masing-masing. Ga usah dibayangkan pengajian ini seperti Majelis-majelis Ta’lim para ke...

Anak Anak Dijejali Buku Harga Jutaan, Si Mamah Referensinya Cuma Felix Shiauw

*** Dimuat di situs Mojok  25 September 2017 Courtesy Mojok --> Keinginan para Mahmud untuk menumbuhkan minat baca anak patut diacungi jempol. Buku dengan harga jutaan sekonyong-konyongnya bisa dihadirkan demi si buah hati. Tentu saja, salah satu tujuan dan jargon produsennya adalah agar kelak si anak menjadi pribadi yang rajin membaca. Sebagai bekal pengetahuan di masa depan, dan bla bla bla !. Dari pada dibelikan mainan yang ga mengedukasi kan? Begitu kira-kira dalihnya. Ga cukup disitu juga seh, si Mahmud terkadang harus rela antri menggunakan cara arisan. Mengatur sedemikian rupa pemasukan bulanan, dan menyisihkan beberapanya untuk buku-buku ini. Menjadi sebuah kebanggaan jika uang arisan sudah mencukupi dan akhirnya bisa mendapatkan sepaket buku dengan boneka lucu yang bisa mengaji dan bercerita. Lumayan, anak bisa sejenak bermain sendiri dengan buku dan boneka-boneka itu. Dan, si Mamah asik bercengkerama di sosial media, dan ...