Skip to main content

Portraits of the Untold (1) : Beda Bangsa Beda Nasib



Seorang wanita tengah baya tiba-tiba menghampiri saya dengan membawa secarik tulisan yang dibungkus dengan sebuah map. Kertasnya nampak lusuh. Warnanya putih berpadu dengan coklat muda, atau bahasa Jawa-nya mangkak. Berbagai model tanda tangan terlampir di kolom-kolom yang sudah disiapkan. Saya dibuat bingung, masa iya ada yang minta bantuan untuk membangun masjid atau menyantuni anak yatim seperti yang biasa saya temukan di kampung halaman (?)

Wanita itu terus menyodorkan kertas tersebut. Semakin lama semakin mendesak. Tanpa banyak bicara, dia hanya menunjuk-nunjuk sembari memberi contoh bagaimana mengeluarkan uang dari dompet.

Wah, kalau itu seh saya juga bisa.

Namun, saya masih terpaku. Diam. Baru beberapa saat kemudian, wanita tersebut mulai bersuara.

“Do you speak English?” tanyanya. Saya menjawab, “Iya”.

Dengan sangat sigap, wanita itu kemudian bersuara.

“Money, money! Do you have some money? I need food”, terangnya. Dan entah kenapa, seketika itu juga saya langsung pergi. Pura-pura tak menghiraukan.

Itulah kali pertama saya melihat sesosok wanita paruh baya, memakai penutup kepala seadanya berkeliling sambil menenteng map atau amplop. Bukan hanya satu, tapi puluhan. Ada juga yang masih umur belia. Dengan rambut hitam panjang yang hanya diikat sederhana mereka berkeliling di pusat-pusat wisata di Berlin sembari menghampiri beberapa turis. Tentu, untuk mengharapkan beberapa koin euro untuk makan esok hari.

Setelah beberapa kali saya perhatikan, kebanyakan pengemis yang rata-rata keturunan Gipsy itu adalah wanita. Tak satupun saya menjumpai seorang pria Gipsy membawa map sambil berkeliling selayaknya menarik iuran anggota koperasi.

Sekali lagi, itu bukan atas nama emansipasi. Melainkan sebuah keterpaksaan.

Di negara se-kaya Jerman, kemiskinan memang tidak terlalu mencolok. Orang kaya, sederhana atau miskin menggunakan fasilitas publik yang sama. Tidak ada disparitas yang membatasi. Saya tidak bisa membedakan mana orang kaya, sederhana atau berkecukupan di ruang publik.

Stereotyping terhadap komunitas Gipsy di Jerman nampaknya masih berlanjut. Beberapa media ternama seperti Deutsche Well atau Berliner Morgenpost sering menyajikan berita seputar kehidupan imigran Gipsy. Macam-macam. Ada yang mengulas tentang kehidupan mereka yang suka  berkelompok atau anak-anak yang berpendidikan rendah. Namun yang paling sering disorot adalah tentang kemiskinan.

Awalnya saya berpikir mereka adalah orang-orang dari Eropa Timur semacam Bosnia atau Serbia. Dan, saya juga mengira mereka adalah muslim karena memakai penutup kepala. Telisik punya telisik, mereka berasal dari Rumania, keturunan Gipsy yang dahulunya juga merupakan korban dari kekejaman Nazi.

**
Saya baru saja sampai di sebuah bangunan memorial di pusat kota Berlin. Tertulis di depan gerbang besar tersebut “Memorial to The Sinti and Roma of Europe Murdered Under National Socialism”. Walaupun sudah beberapa kali saya mengunjungi lokasi di sekitar area ini, tetapi baru kali ini saya melangkahkan kaki masuk, mengeja kisah demi kisah yang berjejer urut di sebuah tembok besar.

Selain keturunan Yahudi, target pembersihan etnis yang dilakukan oleh Hitler adalah orang-orang Gipsy. Abad pertengahan menjadi saksi atas berbondong-bondongnya kelompok Gipsy ke dataran Eropa yang kemudian menyebar dan meninggalkan beberapa keturunan.

Nasib betul, ternyata mereka harus menelan kisah tragis di bawah kekuasaan Sosialis Nazi. Kira-kira 500,000 keturunan Gipsy dibunuh di gudang-gudang konsentrasi Nazi. Sejenak, mereka harus merelakan mimpi-mimpi untuk hidup di dataran Eropa.

Mau tidak mau, sepertinya saya harus turut mengakui bahwa Jerman merupakan negara yang gentleman, berani mengungkap aib negerinya sendiri. Saya rasa tidak semua negara punya keberanian seperti itu. Dan atas nama solidaritas inilah, pemerintah Berlin kemudian membangun sebuah memorial untuk mengenang korban Holocaust.

Sedang asik mengeja nama-nama korban Holocaust yang diukir di atas bebatuan, dari luar terdengar alunan musik sendu yang tak kunjung selesai. Alamak, suasana benar-benar kian dramatis. Mendung, dan sepi pengunjung. Lengkap sudah. Hanya terlihat beberapa orang saja yang masuk ke memorial ini.      

Udara dingin, salju menumpuk dimana-mana, nampaknya tidak mengurungkan niat wanita tua yang juga berwajah Gipsy untuk terus menerus memainkan accordion di depan bangunan baru itu. Sambil sesekali melempar senyum ke beberapa turis, wanita itu terus menerus bermain musik. Tentu, dan lagi-lagi, mengharapkan pecahan Euro singgah di sebuah kaleng besi tepat dihadapannya.

Seringkali ketika saya melihat kawanan imigran dari Roma, atau biasa disebut sebagai orang-orang Gipsy di Berlin memang sedikit menyayat hati. Rata-rata miskin. Tak jarang mereka kerap diperlakukan tidak adil dan rasis. Pemerintah Jerman juga nampaknya kewalahan dengan banyaknya imigran gelap dari berbagai negara Uni Eropa, termasuk Gipsy. Bahkan kabarnya, pemerintah Prancis, yang juga menjadi tujuan beberapa imigran Roma, telah menyediakan dana ratusan Euro untuk memulangkan mereka ke negara asal.

Beda bangsa beda nasib. Sama-sama tercatat sebagai korban Holocaust, namun nampaknya warga Yahudi di Jerman sekarang lebih bisa diterima. Atau, bisalah disebut sebagai ‘tamu istimewa’. Jarang sekali saya membaca berita nasional yang mengangkat isu berbau sentimentil terhadap orang-orang Yahudi. Tentu, selain skill yang mereka punya, pemerintah Jerman juga ingin ‘mengobati’ sejarah kelam peristiwa Holocaust.

Beda bangsa beda nasib. Kata ini saya pilih untuk menggambarkan potret kehidupan imigran Sinti di Berlin. Pantas saja, beberapa waktu lalu, selang sekian hari setelah memorial ini diresmikan, sebuah media nasional mengangkat berita berjudul “Can a Memorial End Discrimination?”(?)




  

           
              
           


Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517