Cairo, 2009
Musim panas merupakan waktu yang tepat untuk melakukan
perjalanan. Tanpa berpikir panjang, saya beserta beberapa kawan akhirnya
memutuskan untuk menikmati masa-masa setelah ujian ke kota Alexandria. Sebuah kota
yang dahulunya menjadi pusat intelektual peradaban Hellenistic dan Romawi Kuno.
Alexandria merupakan kota yang indah, jauh lebih indah dari Kairo. Jika
dibandingkan, Kairo merupakan kota yang eksotik dan Alexandria adalah kota yang
cantik dengan penataan kota yang lebih rapi tentunya. Udara segar yang
menghiasi langit Alexandria menambah daftar panjang kami bahwa kota ini tepat untuk
menjadi tujuan perjalanan bagi para traveler. Warna biru toska laut Mediterania
yang membentang di tepi utara dan cuaca yang sejuk membuat kota ini lebih
terasa seperti nuansa Mediteranian dari pada Timur Tengah. Sungguh indah.
Alexandria, atau dalam bahasa Arab al-Iskandariyah
merupakan kota terpadat kedua di Mesir setelah Kairo, dengan kepadatan sekitar
3.5 juta penduduk. Kota ini ditemukan oleh raja kekaisaran Macedonia, Iskandar Agung
atau Alexander the Great pada tahun 331 SM. Kota inilah yang kemudian menjadi
ibukota dibawah pengaruh kekuasaan Yunani dan Romawi di Mesir hampir selama
seribu tahun sebelum akhirnya Muslim berhasil menduduki Fusthat (Kairo lama) pada
tahun 641 M dan menjadikannya sebagai ibu kota Mesir. Alexandria, dari sejak
berdirinya telah menjadi saksi peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah dunia, termasuk
ketika pembakaran perpustakaan maha besar, Library of Alexandria, oleh Julius
Caesar
Nuansa Eropa nampak begitu kental pada beberapa corak
bangunan di sepanjang bibir pantai, juga di kawasan pusat pemerintahan. Hal ini
tak lepas dari keterpengaruhan Prancis ketika Napoleon Bonaparte melakukan ekpedisinya
ke Mesir dan melakukan pendaratan pertama kali di Alexandria pada tanggal 2
Juni 1798.
Meskipun akhirnya kedaulatan Mesir dapat diraih kembali ke tangan
Turki Usmani pada bulan Oktober 1801 M, namun Perancis banyak melakukan
pembangunan dan kemajuan modern, baik dalam perkembangan arsitektur, mesin
percetakan, sekolah, dan bentuk pemerintahan. Tak ayal, di Mesir bahasa
Perancis merupakan bahasa kedua setelah Arab. Uniknya, Mesir tetaplah Mesir. Meskipun secara geografis
letaknya berdekatan dengan Eropa, namun
kultur dan adat masyarakat setempat masih nampak tertinggal
dari perkembangan budaya Eropa. Selain beberapa faktor lainnya, nampaknya Mesir
enggan kehilangan jati dirinya sebagai pewaris kultur Timur.
Dibutuhkan
waktu sekitar empat jam perjalanan dari kota Kairo untuk
sampai ke kawasan pemukiman di sepanjang bibir pantai yang akan
kami tuju, yaitu Miami. Tepat pukul dua siang
rombongan bus kami
telah sampai di asrama Azhar [Madinet el-Bouts el-Islamiyah] yang telah
disediakan untuk agenda Summer Camp. Suasana asrama Alexandria juga jauh
lebih bersih, rapi dan sejuk dari pada asrama yang kami tempati di Kairo. Penginapan di Alexandria juga mudah untuk didapat,
biasanya teman-teman menyewa satu flat untuk digunakan bersama dengan harga
sekitar 50 Le - 100 Le (75rb-150rb).
Perjalanan
kami mulai pukul sebelas siang keesokan harinya,
kebetulan cuaca hari itu cerah dihiasi awan tebal yang sangat menawan. Maklum,
musim panas jarang sekali ada awan di Kairo, biasanya langit terlihat sederhana
tanpa ada guratan-guratan indah sang awan. Syukurlah siang itu hanya berkisar 25 derajat, apalagi udara sejuk pantai
seakan-akan menemani langkah kami menyusuri kota.
Kami buka kembali map lusuh yang setia menemani perjalanan
kami menyusuri Alexandria. Kami-pun sepakat untuk terlebih dahulu mengunjungi
Pompeys Pillar, sebuah situs peninggalan Romawi yang berbentuk pilar dan
merupakan pilar terbesar di luar kota Roma dan Kostantinopel. Pilar ini terbuat
dari batu monolith putih yang konon juga termasuk dari salah satu peninggalan
batu monolith terbesar di dunia.
Selain sebuah pilar raksasa bergaya Romawi, di
situs ini juga terdapat Serapeum, atau sebuah kuil tempat pemujaan untuk Dewa
Serapis meskipun bentuknya tidak lagi utuh. Kerusakan kuil ini disinyalir terjadi
ketika revolusi penganut Yahudi di Alexandria dibawah kepemimpinan Emperor
Trajan pada tahun 89-118 M. Meskipun telah mengalami renovasi kembali pada masa
pemerintahan Hadrian (117-137 M), namun situs ini kembali mengalami kerusakan
di tangan para pendatang baru kaum Kristen.
Untuk sampai ke Pompeys Pillar, kami terlebih dahulu
harus ke Mansyiyah sekitar 15 menit dari asrama dengan menggunakan tramco atau
angkot, kemudian dilanjutkan dengan naik metro goyang atau tram. Uniknya, tram yang ada di Alexandria
ukurannya lebih pendek dan imut dibandingkan
dengan yang ada di Kairo.
Dalam perjalanan ini kami juga melewati makam tempat
Abu Darda' [Sahabat Nabi]. Kami sempatkan untuk berhenti sejenak melayangkan beberapa doa untuk beliau.
Sekitar 20 menit berada di makam, kami
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, karena menurut penduduk
sekitar situs itu hanya berjarak sekitar 50 meter lagi. Benar juga dari kejauhan
pillar itu sudah nampak menjulang tinggi, putih, menghiasi langit Alex yang
ketika itu biru mempesona. Kami pun bergegas, mempercepat langkah, ingin segera
mengeksplorasi situs bersejarah ini.
Senyuman
beberapa kawan nampak semakin nyata ketika berada tepat di depan pintu masuk,
tanpa berpikir panjang kami segera membeli tiket seharga 15 Le (30 rb). Kamipun menyusuri setiap
sudut situs ini. 'Amoud al-Sawari [The
Site of The Temple of The God Serapis] merupakan kawasan peribadatan Romawi
kuno. Disekitar pillar utama
terdapat juga perpustakaan
yang unik. Tempatnya tepat berada di bawah tanah, dan disinari oleh
lubang-lubang kecil yang sengaja dibuat untuk penerangan. Perpustakaan itu
dirancang dengan suhu udara sedang agar tidak merusak buku.
Konon, perpustakaan yang berada di lorong-lorong tersebut
merupakan perpustakaan terbesar kedua setelah perpustakaan maha besar yang
telah terbakar habis. Menurut catatan sejarah,
setelah berhasil digulingkan oleh Julius Caesar, Pompeys berhasil melarikan
diri dan meninggal di Mesir pada 48 SM. Pillar ini sengaja dibangun sebagai
penghargaan kepada Emperor Diocletain.
Kami juga mendapati beberapa pekerja
yang masih melakukan penggalian untuk menemukan peninggalan
yang lain. Sebagian lorong juga masih terlihat gelap dan disegel pertanda bahwa
kawasan itu masih dalam tahap eksplorasi arkeolog. Keluar dari lorong perpustakaan tersebut, kami disuguhi
dua buah kolam, yang dahulunya digunakan sebagai tempat untuk pensucian diri.
Al-Syathibi
Cemetery
Perjalanan selanjutnya kami putuskan untuk mengunjungi al-Syatibi Cemetery. Kawasan ini berada
tepat dipinggir pantai al-Syatibi, sangat jelas jika dilihat dari ruas jalan
utama dari arah Miami menuju ke arah Perpustakaan Alexandria.
Al-Syatbi ini merupakan kumpulan makam dan peninggalan Romawi yang tercecer di
seluruh kawasan Alexandria. Ada sekitar 5 makam yang terletak di kawasan ini,
dan diletakkan di dalam gua buatan.
Ciri khas peninggalan Romawi terlihat cukup
jelas dalam seni ukir dan warna batunya yang putih. Menurut catatan arkeologi,
bangunan ini merupakan penemuan pada abad 3
SM. Tidak hanya peti, namun disana juga terdapat semacam guci, bath-up
dan pillar-pilar kecil corak khas dari gaya arsitektur Romawi.
Untuk memasuki kawasan ini, para mahasiswa cukup dikenai tiket masuk sebesar 15
Le dan turis asing membayar sekitar 20 Le.
Al-
Anfousi Tombs
Serupa
dengan al-Syatbi, al-Anfousi Tombs ini juga terdiri dari kumpulan bebatuan dan
peninggalan-peninggalan kecil bangsa Romawi. Reruntuhan bangunan bekas Romawi
nampak jelas. Juga terdapat 5 makam yang bagian atas-nya dibangun sebuah rumah
kecil. Ada dua makam yang dianggap paling penting yaitu makam para pembesar
Romawi. Terlihat dari luar bagian dalamnya yang terus menjorok ke bawah
layaknya ruangan bawah tanah. Tertera di tembok bagian depan makam tersebut
sebuah gambar dan tulisan bergaya Mesir Kuno.
Di dalam kawasan ini terdapat
juga beberapa gua yang masih disegel dan nampaknya masih dalam tahap penelitian
atau renovasi.
Bangunan ini merupakan peninggalan abad pertengahan abad 3 sampi 2 SM, tepatnya
akhir masa Ptolemi sampai awal periode Romawi. Situs ini berada di kawasan
Anfousi, berdekatan d engan
Ra's al-Tin sebuah Pusat Militer yang pernah dibangun Raja Fuad dan masih
berfungsi hingga saat ini. Dari arah Miami, kita dapat menggunakan jasa mini
bus atau sebuah bis eksklusif dan tergolong baru dengan
tarif 3 Le. Bis ini dikhususkan untuk para pelancong yang ingin menikmati susana
pantai dengan laju bis yang cukup lamban. Bentuk bis ini mirip dengan bus
pariwisata yang terdiri atas dua lantai ber AC. Ada juga bis yang biasa disebut
dengan Tuf-tuf [Bis tanpa atap] dengan bentuk yang sangat unik mirip
dengan kereta anak-anak di Dufan.
The
Roman Theatre
Ada lagi wisata menarik lainnya yaitu The Roman Theatre [Masrah
Rumany]. Dalam segi arsitektur, bangsa Romawi telah banyak menginspirasi budaya lain, maka tak heran jika kita banyak
menjumpai model arsitektur bergaya Romawi di beberapa negara. Theatre ini dibangun dari bahan yang sama
dengan yang ada di Italia yang biasa disebut Amphitheatres, yaitu dari beton asli Romawi. Bentuknya
mirip seperti Colosseum yang ada di Roma hanya saja lebih kecil. Beberapa
peninggalan yang ada di sekitar-nya juga terlihat setengah hancur, termasuk
beberapa pilar dan patung dewa-dewa bangsa Romawi.
Terdapat tiga struktur bangunan yang terdiri
dari panggung, auditorium dan
vomitoria (pintu masuk dan keluar bagi para penonton) di situs ini. Diatasnya
tidak ada atap hanya menggunakan awnings atau sejenis tenda untuk berlindung
dari hujan atau sengatan matahari. Hal yang paling unik dari bangunan ini adalah
microphone-nya. Jangan dibayangkan seperti sekarang, microphone ini
berupa tempat khusus tepat berada di depan auditorium, berbentuk bundar yang
jika kita berdiri di atasnya dan bersuara maka suara kita akan menggema
sehingga terdengar keras seperti layaknya menggunakan microphone. Kamipun
dibuat penasaran, dan akhirnya mencoba untuk berdiri tepat diatas mirip sebuah
lubang berkaca. Ajaib, suara kami seketika menggema hebat layaknya berteriak
dengan nada kencang. Menakjubkan.
(Bersambung)
Comments