Skip to main content

Naik Bis Aneh

Berlin, 10 April 2013



Saya tiba-tiba teringat hobi saya beberapa tahun lalu. Yaitu, dengan sengaja menaiki bis dengan tujuan yang saya tidak tau dan tidak mau tau. Aneh kan? Saya juga heran. Dan itu saya lakukan beberapa kali ketika saya merasa suntuk dan ingin menikmati suasana Kairo sendirian. Persis kayak anak ilang (embeeer) *

Ceritanya begini. Tepat di belakang asrama saya dulu, yaitu “Madinatul Bu’uts Al- Islamiyah” punya-nya kampus Al-Azhar, terdapat satu halte bis. Biasanya buat tempat nongkrong anak-anak muda Mesir yang lagi fall in love (yaela cinta aja pake jatuh-jatuh segala) hehe. Biasanya hanya ada beberapa bis yang nge-time dengan tujuan yang lumayan jauh meskipun masih dalam kota.

Sore itu, ketika senja tak kunjung tenggelam (lah, emang masih siang gimana mo tenggelam non...:D) Saya berniat untuk berpetualang lagi, untuk kesekian kalinya. Saya iseng naik bis 250. Jurusan-nya, saya ga tau.
Karena saya naik di mahattoh (halte) pertama, tentu saja bis-nya kosong. Saya satu-satunya penumpang yang naik dari halte tersebut. Sempet agak was-was juga seh, takut kalo dibawa lari atau gimana (hehehhe...pede banget yaks, sapa juga yang doyan ama saya) :D

Tiba-tiba suasana berbalik 360 derajat. Yang mulanya sepi dan tenang, tiba-tiba bis penuh dengan penumpang. Entah dari halte mana mereka naik. Saking asiknya menikmati perjalanan, melewati rute-rute padat dan berdebu, saya sampai tak menghiraukan lagi berapa ratus penumpang dalam bis ini.

Saking penuhnya, saya hampir tidak bisa bernafas. Campur-campur baunya, ada terasi, udang, cuka, sampai kambing hahahha. Jika sudah begini, mau tidak mau, saya harus mengeluarkan sedikit kepala ke luar jendela. Yah, nongol-nongol dikit ga pa2 dari pada jadi korban pengasaman :D

Rata-rata bis di Kairo memang parah. Mesinnya berisik, juga penumpang yang jumlahnya melebihi penduduk kampung. Ampun deh. Belum lagi, laki-laki Mesir yang noraknya minta ampun. Senggol sana-sini. Pernah suatu kali saya harus mengeluarkan jurus ‘coblos dom’ alias dengan sengaja menusuk dengan peniti yang ada di jilbab. Lagian, kurang ajar betul tu cowok. M ana gaya-nya, pura-pura ga tau dan dengan santai bilang “Fi Eh, fi eeeh” (Ada apa, ada apa?). Batin saya, belum pernah makan sop sandal jepit kali yah tu orang !! Grrrrgrr...

Selang sekian menit, kira-kira 30 menit dari waktu pemberangkatan (duile kayak pesawat aja) saya sampai di daerah yang ramainya minta ampun. Namanya Attabah. Sebuah pasar yang menjual semua barang yang ada di dunia, dan hampir semuanya Made in China hehehe. Ada kasur, kertas, kursi, panci, sepatu, sampai sayur-mayur dan daging. Mau sepatu murahan sampai yang agak mahalan dikit juga ada. Maklum, ini pasar rakyat, kalo jualan sepatu merk Ecco siapa yang mau beli? Hehe

Setelah keringat bercucuran, menahan sesak nafas karena kepenuhan penumpang, saya harus lagi-lagi mengalah dengan entah mbak-mbak atau ibu-ibu yang mendempet-dempet sambil memasang wajah melas. Dari pada terus-terusan di dempet, terpaksa saya harus mengalah untuk berdiri. Nyebelin seh kadang-kadang :D

Saya sering sekali mendapati perempuan yang sebenarnya masih bugar, bahkan sangat bugar, berusaha cari perhatian supaya kursinya diberikan kepadanya. Kalau sudah ibu-ibu seh saya wajar, dan saya-pun tidak keberatan untuk menawarkan tempat duduk. Tapi, si mbak-mbak-nya itu masih seger...(duile, masih aja di bahas saking dongkolnya) hiihhihiih

Oke lah kita lupakan si mbak-mbak tadi hehe. Jadilah saya berdiri, berhimpitan dengan orang Mesir yang gede-nya kadang-kadang ngalahin tiang listrik. Guede. Tidak kehabisan akal, saya akhirnya menerobos jalan tengah, agar dapat berdiri tepat disamping supir. Lebih aman dan jelas melihat pemandangan luar. Eh, si sopir malah nawarin tempat duduk kecil, bukan kursi seh tapi ember agak besar, dan disuruh duduk di sampingnya. Aduhaaaaaaaii, seperti minum air es di padang pasir. Legaaa...

Sopirnya baik. Raut wajahnya adem dan sabar. Baru kali itu saya naik bis, tanpa menyerobot sana-sini. Rupanya si bapak itu tau kalo saya terhimpit, dan sepertinya kasihan juga melihat postur saya yang kecil mungil kayak upil (loh?) yang hampir jadi ikan asin di tengah-tengah ikan paus (emangnya di laut yaks) :D

Si sopir tanya, “Saya melihat mu dari tadi, semenjak bis ini nge-time di halte pertama. Memang kamu mau kemana?”.

Saya jawab, “Saya mau ke mahattoh akhir (halte terakhir), dan balik ke lagi ke halte pertama tadi”.

Si sopir, “Apa? Kamu cuma mau ke halte terakhir? Rute ini jauh.”

Bla..bla..bla...

Saya dan pak sopir ngobrol panjang, sana sini. Tentang saya asli mana, studi apa di Mesir, bahkan sampai tanya makanan favorit saya di Mesir hehe. Baik banget deh.

Akhirnya, setelah saya melewati padatnya rute yang ditempuh, termasuk pasar, perumahan penduduk, padang pasir, lapangan sepak bola yang kering kerontang, keledai dimana-mana sambil memikul bermacam-macam buah, sungai Nil (duh panjang amat) hehhe...saya sampai di tempat yang bukan menjadi tujuan saya. Karena tujuan saya memang bolak-balik naik bis hehehe.

Waktu sampai di halte terakhir, ternyata sudah sore. Sekitar pukul 4. Padahal saya berangkat pukul 1. Tiga jam perjalanan, hanya dalam kota. Mau tau kenapa lama? Karena macet boooo’...ampun-ampunan deh :D

Pak sopir menyuruh saya menunggu di sebuah warung, biasa disebut dengan ba’alah. Saya duduk-duduk, sambil menikmati Mirinda, minuman bersoda yang rasanya mirip Fanta, sambil ngemil jajanan snack. Juga, sambil melihat sekeliling, bagaimana hiruk-pikuknya Mesir. Orang teriak dimana-mana, bising, dan tak lupa debu. Tapi nyatanya, meskipun carut marut, Mesir tetap eksotis di mata saya.

Satu jam kemudian, saya kembali lagi dengan bis yang sama. Sopir yang sama. Dan harga tiket bis yang sama. Yang berbeda hanyalah apa yang ada di benak saya. Menikmati hiruk-pikuk keramaian Kairo dengan hati yang sangat damai. Menikmati senja lewat jendela bis, sembari menghirup udara yang kian segar. Ah, Kairo...

Empat tahun kemudian

Entah ada angin apa saya sampai di Ibu kota Jerman, Berlin. Yah namanya bakat terpendam, gimana-mana, masih aja tuh suka pengen naik bis aneh alias tanpa tujuan. Awal-awal di Berlin, saya masih asing dan belum berani. Entahlah, tiba-tiba saya jadi agak manja, dikit-dikit maunya ditemenin suami. Yaelaaa...alesan :D

Sampai akhirnya saya bener-bener ingin berpetualang lagi. Kok ya pas ketika saya hamil umur 8 bulan hehehe. Nekad betul. Tapi beda, kali ini, lagi-lagi, saya ditemani suami. Takut brojol di bis hehehe...Yaelaaa alesan lagi :D

Waktu itu kami di daerah Steglitz. Kami sedang asik di halte menunggu bis dengan tujuan seperti biasanya. Namun yang muncul malah bis dengan rute yang lain. Seketika saya ingin naik. Suami bingung. Maklum suami saya tipe orang yang ‘terukur’, alias semua harus pake ukuran (penggaris kalleee). Padahal seh aslinya dah mulai kelihatan, mulai beringas pengen berkelana hhihiihiih.

Jadilah kami naik bis dengan nomor 148. Sekali lagi, saya ga tau tujuan dan rutenya kemana saja. Asal naik. Nyasar urusan belakang. Kami naik di tingkat atas, karena kebetulan bis-nya bertingkat. Awalnya ada beberapa penumpang. Namun selang kira-kira 20 menit, di atas mulai kosong. Saya pun cuek, wong memang halte terakhirnya masih jauh.

Beberapa menit awal perjalanan masih baik-baik saja. Jalanan tampak wajar. Begitu agak jauh, jalan mulai sepi. Seperti melewati desa-desa yang jarang penduduk. Meski ruas jalan bagus, namun saya tidak melihat toko-toko besar atau pusat perbelanjaan. Entahlah apa nama daerahnya, saya juga lupa. Saya hanya ingin menikmati perjalanan, ingin melihat jalan-jalan di Berlin, terlebih desa-desanya (sok kotaaa :D)

Tiba-tiba, saya merasa harus turun ke bawah melihat masih adakah penumpang lain. Penasaran, jangan-jangan cuma kami berdua yang naik bis ini, kan gimana gitu..hehe. Eh, ternyata ada dua penumpang lain, yaitu mbak-mbak, yang asik bercerita sampai-sampai ga tau kalau bis-nya sudah berhenti. Saya juga heran, padahal belum halte terakhir. Saya kira hanya berhenti sebentar, ternyata sang sopir sudah memperingatkan di sebuah papan elektronik yang bertuliskan “Bus endet hier”.

Masih asik ngobrol, saya dan suami, juga kedua penumpang tersebut, tiba-tiba Pak sopir menghampiri kami dan disuruh turun. Baru kali ini saya diusir hehe. Ya sudahlah, perjalanan nyasar harus berakhir sampai disini. Di sebuah daerah pinggiran, yang nampak sepi, dan entah saya juga ga tau nama daerahnya apa. Namanya juga menyasarkan diri.

Sekian,
(Bersambung)

  





  

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula