Saya
tiba-tiba teringat hobi saya beberapa tahun lalu. Yaitu, dengan sengaja menaiki
bis dengan tujuan yang saya tidak tau dan tidak mau tau. Aneh kan? Saya juga
heran. Dan itu saya lakukan beberapa kali ketika saya merasa suntuk dan ingin menikmati
suasana Kairo sendirian. Persis kayak anak ilang (embeeer) *
Ceritanya
begini. Tepat di belakang asrama saya dulu, yaitu “Madinatul Bu’uts Al- Islamiyah”
punya-nya kampus Al-Azhar, terdapat satu halte bis. Biasanya buat tempat
nongkrong anak-anak muda Mesir yang lagi fall in love (yaela cinta aja
pake jatuh-jatuh segala) hehe. Biasanya hanya ada beberapa bis yang nge-time
dengan tujuan yang lumayan jauh meskipun masih dalam kota.
Sore
itu, ketika senja tak kunjung tenggelam (lah, emang masih siang gimana mo
tenggelam non...:D) Saya berniat untuk berpetualang lagi, untuk kesekian
kalinya. Saya iseng naik bis 250. Jurusan-nya, saya ga tau.
Karena
saya naik di mahattoh (halte) pertama, tentu saja bis-nya kosong. Saya
satu-satunya penumpang yang naik dari halte tersebut. Sempet agak was-was juga
seh, takut kalo dibawa lari atau gimana (hehehhe...pede banget yaks, sapa juga
yang doyan ama saya) :D
Tiba-tiba
suasana berbalik 360 derajat. Yang mulanya sepi dan tenang, tiba-tiba bis penuh
dengan penumpang. Entah dari halte mana mereka naik. Saking asiknya menikmati
perjalanan, melewati rute-rute padat dan berdebu, saya sampai tak menghiraukan
lagi berapa ratus penumpang dalam bis ini.
Saking
penuhnya, saya hampir tidak bisa bernafas. Campur-campur baunya, ada terasi,
udang, cuka, sampai kambing hahahha. Jika sudah begini, mau tidak mau, saya
harus mengeluarkan sedikit kepala ke luar jendela. Yah, nongol-nongol dikit ga
pa2 dari pada jadi korban pengasaman :D
Rata-rata
bis di Kairo memang parah. Mesinnya berisik, juga penumpang yang jumlahnya
melebihi penduduk kampung. Ampun deh. Belum lagi, laki-laki Mesir yang noraknya
minta ampun. Senggol sana-sini. Pernah suatu kali saya harus mengeluarkan jurus
‘coblos dom’ alias dengan sengaja menusuk dengan peniti yang ada di jilbab. Lagian,
kurang ajar betul tu cowok. M ana gaya-nya, pura-pura ga tau dan dengan santai
bilang “Fi Eh, fi eeeh” (Ada apa, ada apa?). Batin saya, belum pernah makan sop
sandal jepit kali yah tu orang !! Grrrrgrr...
Selang
sekian menit, kira-kira 30 menit dari waktu pemberangkatan (duile kayak pesawat
aja) saya sampai di daerah yang ramainya minta ampun. Namanya Attabah. Sebuah
pasar yang menjual semua barang yang ada di dunia, dan hampir semuanya Made in
China hehehe. Ada kasur, kertas, kursi, panci, sepatu, sampai sayur-mayur dan
daging. Mau sepatu murahan sampai yang agak mahalan dikit juga ada. Maklum, ini
pasar rakyat, kalo jualan sepatu merk Ecco siapa yang mau beli? Hehe
Setelah
keringat bercucuran, menahan sesak nafas karena kepenuhan penumpang, saya harus
lagi-lagi mengalah dengan entah mbak-mbak atau ibu-ibu yang mendempet-dempet
sambil memasang wajah melas. Dari pada terus-terusan di dempet, terpaksa saya
harus mengalah untuk berdiri. Nyebelin seh kadang-kadang :D
Saya
sering sekali mendapati perempuan yang sebenarnya masih bugar, bahkan sangat
bugar, berusaha cari perhatian supaya kursinya diberikan kepadanya. Kalau sudah
ibu-ibu seh saya wajar, dan saya-pun tidak keberatan untuk menawarkan tempat
duduk. Tapi, si mbak-mbak-nya itu masih seger...(duile, masih aja di bahas
saking dongkolnya) hiihhihiih
Oke
lah kita lupakan si mbak-mbak tadi hehe. Jadilah saya berdiri, berhimpitan
dengan orang Mesir yang gede-nya kadang-kadang ngalahin tiang listrik. Guede. Tidak
kehabisan akal, saya akhirnya menerobos jalan tengah, agar dapat berdiri tepat
disamping supir. Lebih aman dan jelas melihat pemandangan luar. Eh, si sopir
malah nawarin tempat duduk kecil, bukan kursi seh tapi ember agak besar, dan disuruh
duduk di sampingnya. Aduhaaaaaaaii, seperti minum air es di padang pasir.
Legaaa...
Sopirnya
baik. Raut wajahnya adem dan sabar. Baru kali itu saya naik bis, tanpa menyerobot
sana-sini. Rupanya si bapak itu tau kalo saya terhimpit, dan sepertinya kasihan
juga melihat postur saya yang kecil mungil kayak upil (loh?) yang hampir jadi
ikan asin di tengah-tengah ikan paus (emangnya di laut yaks) :D
Si
sopir tanya, “Saya melihat mu dari tadi, semenjak bis ini nge-time di halte
pertama. Memang kamu mau kemana?”.
Saya
jawab, “Saya mau ke mahattoh akhir (halte terakhir), dan balik ke lagi
ke halte pertama tadi”.
Si
sopir, “Apa? Kamu cuma mau ke halte terakhir? Rute ini jauh.”
Bla..bla..bla...
Saya
dan pak sopir ngobrol panjang, sana sini. Tentang saya asli mana, studi apa di
Mesir, bahkan sampai tanya makanan favorit saya di Mesir hehe. Baik banget deh.
Akhirnya,
setelah saya melewati padatnya rute yang ditempuh, termasuk pasar, perumahan
penduduk, padang pasir, lapangan sepak bola yang kering kerontang, keledai
dimana-mana sambil memikul bermacam-macam buah, sungai Nil (duh panjang amat)
hehhe...saya sampai di tempat yang bukan menjadi tujuan saya. Karena tujuan
saya memang bolak-balik naik bis hehehe.
Waktu
sampai di halte terakhir, ternyata sudah sore. Sekitar pukul 4. Padahal saya
berangkat pukul 1. Tiga jam perjalanan, hanya dalam kota. Mau tau kenapa lama? Karena
macet boooo’...ampun-ampunan deh :D
Pak
sopir menyuruh saya menunggu di sebuah warung, biasa disebut dengan ba’alah.
Saya duduk-duduk, sambil menikmati Mirinda, minuman bersoda yang rasanya mirip
Fanta, sambil ngemil jajanan snack. Juga, sambil melihat sekeliling, bagaimana
hiruk-pikuknya Mesir. Orang teriak dimana-mana, bising, dan tak lupa debu. Tapi
nyatanya, meskipun carut marut, Mesir tetap eksotis di mata saya.
Satu
jam kemudian, saya kembali lagi dengan bis yang sama. Sopir yang sama. Dan harga
tiket bis yang sama. Yang berbeda hanyalah apa yang ada di benak saya. Menikmati
hiruk-pikuk keramaian Kairo dengan hati yang sangat damai. Menikmati senja
lewat jendela bis, sembari menghirup udara yang kian segar. Ah, Kairo...
Empat
tahun kemudian
Entah
ada angin apa saya sampai di Ibu kota Jerman, Berlin. Yah namanya bakat
terpendam, gimana-mana, masih aja tuh suka pengen naik bis aneh alias tanpa
tujuan. Awal-awal di Berlin, saya masih asing dan belum berani. Entahlah,
tiba-tiba saya jadi agak manja, dikit-dikit maunya ditemenin suami. Yaelaaa...alesan
:D
Sampai
akhirnya saya bener-bener ingin berpetualang lagi. Kok ya pas ketika saya hamil
umur 8 bulan hehehe. Nekad betul. Tapi beda, kali ini, lagi-lagi, saya ditemani
suami. Takut brojol di bis hehehe...Yaelaaa alesan lagi :D
Waktu
itu kami di daerah Steglitz. Kami sedang asik di halte menunggu bis dengan
tujuan seperti biasanya. Namun yang muncul malah bis dengan rute yang lain. Seketika
saya ingin naik. Suami bingung. Maklum suami saya tipe orang yang ‘terukur’,
alias semua harus pake ukuran (penggaris kalleee). Padahal seh aslinya dah
mulai kelihatan, mulai beringas pengen berkelana hhihiihiih.
Jadilah
kami naik bis dengan nomor 148. Sekali lagi, saya ga tau tujuan dan rutenya
kemana saja. Asal naik. Nyasar urusan belakang. Kami naik di tingkat atas,
karena kebetulan bis-nya bertingkat. Awalnya ada beberapa penumpang. Namun
selang kira-kira 20 menit, di atas mulai kosong. Saya pun cuek, wong memang
halte terakhirnya masih jauh.
Beberapa
menit awal perjalanan masih baik-baik saja. Jalanan tampak wajar. Begitu agak
jauh, jalan mulai sepi. Seperti melewati desa-desa yang jarang penduduk. Meski
ruas jalan bagus, namun saya tidak melihat toko-toko besar atau pusat
perbelanjaan. Entahlah apa nama daerahnya, saya juga lupa. Saya hanya ingin
menikmati perjalanan, ingin melihat jalan-jalan di Berlin, terlebih
desa-desanya (sok kotaaa :D)
Tiba-tiba,
saya merasa harus turun ke bawah melihat masih adakah penumpang lain. Penasaran,
jangan-jangan cuma kami berdua yang naik bis ini, kan gimana gitu..hehe. Eh,
ternyata ada dua penumpang lain, yaitu mbak-mbak, yang asik bercerita sampai-sampai
ga tau kalau bis-nya sudah berhenti. Saya juga heran, padahal belum halte
terakhir. Saya kira hanya berhenti sebentar, ternyata sang sopir sudah
memperingatkan di sebuah papan elektronik yang bertuliskan “Bus endet hier”.
Masih
asik ngobrol, saya dan suami, juga kedua penumpang tersebut, tiba-tiba Pak
sopir menghampiri kami dan disuruh turun. Baru kali ini saya diusir hehe. Ya sudahlah,
perjalanan nyasar harus berakhir sampai disini. Di sebuah daerah pinggiran,
yang nampak sepi, dan entah saya juga ga tau nama daerahnya apa. Namanya juga
menyasarkan diri.
Sekian,
(Bersambung)
Comments