Cairo, Summer
Matahari
musim panas serasa menampar kulit. Siang itu suhu udara berkisar mencapai
hingga 45 derajat celcius. Bukan main panasnya. Tenggorokan terasa sangat
kering. Saya pun hampir tidak sadar ternyata masih ada sebongkah daging yang
melindungi kerongkongan dari sengatan matahari. Bulan Agustus di Kairo adalah
puncak musim panas. Jam tangan menunjukkan pukul 7 malam, namun senja di langit
kota ini sepertinya masih enggan untuk menunjukkan eksistensinya untuk
menyambut malam. Suasana masih seperti jam tiga sore waktu Indonesia. Dan saya
bersyukur. Jika saja waktu itu sudah gelap, pasti saya akan kehilangan momen
terindah untuk dapat menyaksikan kemegahan Pyramid dari jendela pesawat.
Sungguh, saya terpesona. Melihat rumah-rumah di Kairo seperti halnya kubus-kubus
yang tertata apik dipadu dengan warna coklat. Sesekali, mata saya tertuju pada
luasnya padang pasir yang seolah-olah menjadi tembok abadi pelindung kota ini.
Kumuh.
Beberapa kayu nampak berserakan. Turun dari pesawat kami harus melewati setapak
jalan mirip gudang. Yah, namanya juga gudang, bisa dibayangkan betapa
mengerikannya kondisi bandara international ini. Kontras. Hal itulah yang
terbesit di hati saya ketika membandingkan dengan bandara Abu Dhabi. Ternyata,
bandara ini sedang dalam renovasi. Setelah mendapatkan koper masing-masing,
kami dikawal seorang senior yang bertugas untuk menjemput para pelajar baru.
Saya mulai menikmati perjalanan. Bis kami melaju dengan pelan, sepertinya
memang sengaja agar kami bisa menikmati kota ini. Sementara, para senior mulai
menjelaskan selayang pandang tentang Kairo dengan segala pernak-perniknya.
“Jangan
salah, lalu lintas disini jauh lebih parah jika dibandingkan dengan Indonesia”,
begitulah kira-kira sepenggal penjelasan dari senior. Tidak ada trafic light
yang berfungsi secara baik di Kairo, paling hanya beberapa, khususnya yang ada
di pusat kota”. Kecelakaan, saling sundul-menyundul mobil adalah hal biasa di
sini. Tidak ada satu mobil-pun yang mulus. Bahkan sekelas BMW atau Mercedes
Benz pasti ada goresan, bahkan tak jarang juga ada yang peok. Lucunya,
dengan transportasi yang carut marut seperti ini kok malah ada Anggota
DPR Indonesia yang berkunjung ke Kairo, studi banding tentang sistem
transportasi di kota seribu menara ini. Apa mereka benar-benar sudah kehilangan
kesadaran? Apa yang akan mereka pelajari dari transportasi kota ini?
Ajaib.
Belum
sampai 15 menit, ada pemandangan aneh yang membuat saya bengong,
sebengong-bengongnya. Nampak dengan jelas adegan tampar-tamparan, saling adu
jotos, jambak-jambakan, ditambah lagi dengan adu mulut dengan suara melengking
seperti klakson truk tronton. Yang bikin saya semakin melongo, tak ada satupun
manusia yang mencoba untuk melerai kedua orang ini. Rupanya terjadi kecelakaan
antara sebuah mobil sedan dan tramco (angkot). Saya terus-terusan
menengok ke belakang dari balik jendela bis, padahal jaraknya sudah jauh, amat
jauh.
Orang Mesir
memang punya tradisi caci maki di atas rata-rata. Jika marah mereka bisa
mengeluarkan makian sepanjang rel kereta api. Menggebu-gebu dan penuh emosi.
Mereka bisa tahan adu mulut selama setengah jam lebih. Semua nama binatang
serta-merta keluar dalam satu waktu. Ajaibnya, hanya ada satu kata yang bisa
melerai adu mulut ini. Shollu ‘ala al-Nabi. Yah, kalimat yang berarti
“bersholawatlah kepada Nabi Muhammad” ini cukup efektif. Begitu terdengar
kalimat shollu ‘ala al-nabi yang entah keluar dari mulut siapa, mereka
akan berhenti. Meredamkan kembali emosi yang telah membuncah. Hampir tiap hari
saya menyaksikan adegan ini. Orang Mesir mudah sekali marah, entah di bis,
pasar, halte, tramco, kampus, sepertinya semua layak untuk menjadi
tempat beradu mulut dan adu jotos.
Selama di
perjalanan, saya juga melihat begitu banyak laki-laki yang, ah apakah
mereka sadar atau tidak, apakah mereka berpendidikan atau tidak, beragama atau
tidak, -maaf- buang air kecil sembarangan. Tidak hanya satu, mungkin sudah
belasan mata saya menjadi saksi hidup adegan menantang (?) ini. Mereka dengan
santai, bebas, cuek, dan tanpa dosa berjalan kemudian dengan seketika berhenti,
memutarkan badan ke arah tembok di pinggir jalan besar, dan buang air. Bahkan
saya pun menyaksikan bagaimana air kencing itu kemudian mulai mengalir,
membelah trotoar, meresap dan menguap oleh panasnya sinar matahari. Yang
tertinggal hanyalah bau pesing yang cukup menyengat hidung, bahkan sampai
menyiksa tenggorokan.
Aneh.
Bukankan ini negara Arab, mayoritas muslim, negara dimana nabi-nabi Tuhan
banyak melakukan perjumpaan dan perjalanan di sini. Bukankah mereka
semua mengerti pesan al-Qur’an, bukankah pusat agama Islam ada di sini. Lagi
lagi, saya didera pertanyaan yang normatif namun cukup masuk akal. Sesekali
saya melihat bahwa agama tidak ada hubungannya dengan budaya, namun di sisi
lain saya melihat bahwa agama punya peran yang sangat signifikan dalam
pembentukan sebuah budaya.
Di titik
inilah saya dipaksa untuk mengerti ‘yang lain’, bukan Indonesia, Jawa, atau
Islam yang telah lama menjadi bagian dari identitas pribadi saya. Dan disinilah
saya berani untuk membuat garis batas, antara saya dan orang Mesir. Antara
agama dan budaya. Mulai membanding-bandingkan, dan menelaah. Tak jarang saya
harus berdecak kaget, merasa paling benar ketika melihat warga Mesir melakukan
sholat atau wudlu yang sekiranya asing dilakukan di Indonesia. Seakan saya
menutup semua perbedaan. Bahkan dengan sesama muslim saya harus menaruh
‘kecurigaan’, ‘ketidakabsahan’ atas keberimanan mereka.
Bayangan tentang Kairo ternyata tidak sesuai
dengan kenyataan. Selama ini saya hanya membayangkan, tanpa sekalipun mengintip
negara ini melalui internet. Maklum, internet masih langka dan cukup mahal ketika
itu. Atau, memang saya yang kampungan tidak tau bagaimana menggunakan jaringan
internet?. Sekilas, Kairo memang tampak megah dan ‘religious’. Ia
dijuluki sebagai ‘Ummu al-Dunya, Ibu dari semua peradaban dunia. Ia juga
disematkan sebagai kota dengan seribu menara, pusat keilmuan Islam yang
terpancar dari kampus Al-Azhar, kampus tertua di dunia. Kairo punya sejarah
panjang, dan menakjubkan. Namun, Kairo yang saya lihat sekarang tak seindah
yang saya bayangkan sebelumnya. Ah, mungkin saya memang belum mengenal Kairo.
*****
Syahdan,
jalan ini merupakan saksi sejarah. Saya terhanyut oleh pancaran berjuta kisah
yang seolah-olah diceritakan dengan apik oleh jalan ini. Syari’ Mu’iz
Lidinillah. Syari’ dalam bahasa Arab berarti jalan, sedangkan Mu’iz
Lidinillah merupakan nama seorang panglima besar Dinasti Fatimiyyah yang
pernah berjaya di Kairo pada abad 8-9 Masehi. Sebelum bernama Kairo, kota ini
disebut dengan al-Fusthat. Oleh dinasti inilah kota al-Fusthat
diganti dengan Kairo atau Qahirah yang berarti kemenangan.
Terlihat sungguh apik. Jalan ini mempunyai lebar tak
lebih dari empat meter. Arsitektur serta ornamen klasik menghiasi hampir di
setiap sudut jalan. Saya sendiri merasa seolah-olah berada di Eropa. Para
sejarawan menyatakan bahwa tiga sampai empat abad paska runtuhnya dinasti
Fatimiyah arsitektur Muslim telah mencapai puncak ekspresi dengan ciri khasnya
yang kaya ornament. Batu-batu beragam sengaja didatangkan langsung dari Romawi
dan Byzantium. Awalnya, ciri khas yang mendominasi adalah model arsitektur
periode dinasti Nurriyah dan Ayyubiyah. Kemudian mendapat pengaruh baru dari
gaya arsitektur Suriah-Mesopotamia pada abad 13 M, tepatnya ketika Mesir
menjadi tempat berlindung bagi pengrajin dan ahli seni dari Mosul, Bagdad dan
Damaskus paska invasi Mongol. Meskipun telah mengalami berbagai renovasi, namun
keaslian bangunan ini masih sangat kental.
“Eh da ya ‘amm, keda bass khomsah wa talatiin geneh?”.
“Apa-apaan ini, cuma kaos kayak gini aja tiga puluh lima pound?”. Saya
berceloteh. Rupanya ketrampilan tawar-menawar saya mulai kambuh di pasar ini.
Pasar yang terletak di ujung jalan. Namanya Khan Khalili, pasar
traditional yang menjual berbagai macam pernak-pernik khas Mesir. Konon, pasar
ini berumur lebih dari delapan abad. Terletak di seberang masjid Al-Azhar, dan
masjid Al-Husein cucu nabi Muhammad. Lokasi ini memang penting, dan dijaga
ketat (meskipun juga kadang-kadang saja) oleh polisi Mesir. Beberapa kali pasar
ini menjadi sasaran bom teroris, maklum saja hampir semua turis asing yang
berkunjung ke Mesir akan mampir ke pasar bersejarah ini.
“Hanya
perempuan yang kurang normal yang tidak suka menawar barang”, gumamku. Bahkan
mereka pun rela mati digantung jika menemukan harga yang jauh lebih murah dari
harga yang mereka tawar sebelumnya. Puluhan bahkan ratusan kata-kata mulai
beradu antara saya dan si pedagang. Keringat bercucuran. Tak ada tawa, juga
senyum. Semua mendadak seperti adegan film action. Mata saya mulai tajam
setajam silet, mulut saya berbusa-busa, tenggorokan saya pun mulai kering.
Harga kaos imut bergambar unta Arab dipatok dengan harga 35 Le, atau setara
dengan tujuh puluh lima ribu rupiah. Padahal kainnya tipis. Mana ada yang rela
dengan harga kaos tersebut, bahkan turis bule pun mungkin akan merasa
dibodohi dengan harga yang tidak masuk akal ini.
Tiba-tiba
berceletuklah ia. Si pedagang itu. “Enti min Andunisi, shoh? Malaysi musy
ta’mal keda”. “Kamu dari Indonesia kan? Orang Malaysia tidak begini”. Hek,
saya pun terpana. Bagaimana pedagang ini tau kalo saya dari Indonesia, padahal
wajah saya bisa lah jika dimiripkan dengan wajah bule asing dari Amerika
Latin atau Korea (?). Hidung saya dibuat kembang kempis. Wajah saya seketika
bercahaya. Bangga. Bagaimana dia tau, kalo saya dari Indonesia, yang sebagian
orang Mesir pun kadang tidak tau apakah memang benar ada negara yang bernama
Indonesia?. Mereka lebih familiar dengan negara tetangga dari pada Indonesia.
Mengenaskan.
Hanya
berselang sekian detik, saya kembali merasa diinjak-injak. Dengan santainya si
pedagang ini bilang, “Yah, begitulah kebanyakan perilaku turis atau pelajar
Indonesia. Mereka suka menawar barang hingga babak-belur. Tidak seperti pelajar
Malaysia”. Tak cukup sampai disitu, dia kembali bertanya “Oia, katanya wanita
Indonesia murah-murah ya? Tidak perlu memikirkan mahar yang tinggi untuk
meminang perempuan Indonesia? Maukah kamu mengenalkan teman wanitamu kepada
saya?”. Polos dan inocent. Bagai disambar petir di siang hari. Diam. Saya
membisu, kemudian berpaling dan pergi. Tanpa meninggalkan sepenggal kata. Kalau
toh saya berdebat, buat apa? Mungkin memang pengalaman mereka bercerita tentang
kenyataan itu.
Pelajar
Malaysia di Kairo cukup banyak, bersaing dengan jumlah pelajar Indonesia.
Bedanya, secara finansial mereka sepenuhnya di sokong oleh negara. Mereka
memiliki asrama mahasiswa besar, mewah dan megah. Jelas, mereka sudah tidak
berpikir lagi tentang bagaimana hidup di negeri Pyramida ini dengan beasiswa
hanya sekitar seratus delapan puluh ribu rupiah per bulan bagi yang tinggal di
asrama Al-Azhar, atau sekitar empat ratus ribu rupiah bagi yang tinggal di luar
asrama. Aih, betapa mengerikan wajah perempuan Indonesia di mata orang
Mesir. Lucu sekaligus geram. Dua rasa yang saling beradu jadi satu, seperti es
buah, campur-campur, tapi pedas (?)
Memang,
terdapat tradisi yang kuat dalam masyarakat Mesir. Seorang pemuda yang ingin
menikah harus terlebih dahulu menyiapkan modal yang tidak sedikit, tak pandang
bulu apakah calon mempelai wanita dari keluarga kaya atau tidak. Ada nilai
sosial yang telah mengakar bahwa pria yang ingin melamar harus terlebih dahulu
menyiapkan rumah layak huni dan membayar mahar yang cukup tinggi. Sedangkan
struktur sosial dan ekonomi Mesir belum dapat dikatakan stabil. Terlebih budaya
korupsi, peledakan jumlah penduduk dan pengangguran melonjak tajam di Kairo,
sebagai kota terpadat di Mesir. Walhasil, banyak terjadi pelecehan
seksual dimana-mana. Dan, nampaknya wanita Indonesia dianggap ‘murah’ dan
‘gampang’ untuk dijadikan istri. Entah bagaimana bisa mereka berasumsi buruk
terhadap perempuan Indonesia. Bagaimana kabar itu bisa sampai ke negri ini?
Saya pun kembali geram.
Setiap kali
bertemu dengan orang Mesir, mereka selalu menyangka bahwa kami dari Malaysia atau
Cina. Menjadi seorang Indonesia memang terkadang harus menelan pengalaman
pahit. Entah, apakah kami dianggap negara rendah oleh mereka, atau mungkin
hanya karena kurs rupiah yang lebih kecil dari pound Mesir. Bahkan, di kantor
imigrasi kami harus berjuang melawan passport berwarna merah dari negeri
tetangga. Padahal, harus antre berjam-jam untuk berurusan dengan administrasi
Mesir yang tak kalah ruwetnya dengan Indonesia. Malah lebih rumit, dan
menyebalkan. Baru bekerja setengah jam, sang pegawai sudah harus menikmati
sarapan dan nge-say (tradisi minum teh) selama satu jam bahkan lebih.
Tidak produktif. Pegawainya saja sudah tua-tua, kalo lelah mereka akan ngomel
panjang dan tidak mau bekerja.
Kebiasaan
yang paling sering dilakukan dan berdampak hebat terhadap emosi saya adalah,
ketika di bukroh-in. Sebuah istilah yang cukup familiar dan dapat
membuat orang seketika lemas lunglai. Dengan tanpa alasan, sang pegawai akan
dengan mudah mengatakan “besok saja”, padahal jelas-jelas mereka bisa
bekerja pada waktu itu. Belum lagi antrian yang harus diperjuangkan dari jam 5
pagi, sampai jam 11 siang. Betapa waktu sangat tidak berharga di sana. Atau,
gara-gara saya orang Indonesia? Yang tidak bisa ‘menyogok’ dengan lembaran
pound Mesir? Tidak adil. Dimana-mana uang yang menjadi standar perlakuan baik.
Saya pun bisa menebak, jika saja waktu itu ada bule yang sama-sama
mengurus visa, pasti passpor saya akan di taruh di tumpukan paling bawah.
Saya belum mengenal Mesir. Warga Mesir pun mungkin juga
merasa asing dengan nama Indonesia. Tentu, saya tidak bisa memaksa mereka untuk
mengenali budaya, agama, wanita dan kultur Indonesia. Mereka pun juga tidak
bisa memaksa saya untuk dapat memahami struktur sosial dan budaya mereka.
Perkenalan kami hanya sebatas permukaan. Mendengar, melihat, mengamati dari
‘luar’.
*****
Comments