Skip to main content

Wartawan “Gila”, Yunus dan Farid




Judul                   : Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara
Penulis                 : Ahmad Yunus
Penyunting         : Muhammad Husnil
Fotografer          : Farid Gaban dan Ahmad Yunus
Pewajah Isi         : Siti Qomariyah
Penerbit              : PT. Serambi Ilmu Semesta, Juli 2011
Tebal                   : 370 hlm
ISBN                    : 9789790242852

It is not about how fast you ride, but how far and enjoy the journeys

Sungguh, ketika membaca beberapa halaman terdepan dari buku ini saya tak henti-hentinya ingin segera melumat habis semua pengalaman ekspedisi sang wartawan Ahmad Yunus dan sang fotografer Farid Gaban dalam perjalanannya mengelilingi Indonesia. Perjalanan ini mereka sebut dengan “Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa”. Dengan menggunakan sepeda motor Honda Win yang sudah dimodifikasi, Yunus dan Farid mencoba menilik Indonesia dari sisi yang lain. Dua kata yang nampaknya patut untuk menyimpulkan potret kekinian nusantara kita, yaitu indah, juga ironis.

Sebelum membaca buku ini, saya hanya mampu meraba nusantara kita melalui rekaman memori ketika di bangku Sekolah Dasar, tentunya dalam pelajaran Geografi. Indonesia, salah satu negara kepulauan terbesar, tercatat memiliki 17.504 pulau. Bukankah itu angka yang sangat fantastis? Namun seberapa jauh kita mengenal pulau-pulau itu? Seberapa jauh kita mengenal daerah perbatasan? Dan seberapa jauh kita mengenal realita masyarakat sana? Terutama, seberapa jauh kita mengenal Indonesia?

Dengan membaca kisah petualangan kedua wartawan ini, saya benar-benar merasa turut mengabadikan keelokan sekaligus kepiluan yang terjadi di ujung sana, di daerah-daerah yang ‘dipaksa’ untuk terus menggemborkan jiwa nasionalisme dalam bingkai NKRI, namun tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera dan layak. Yunus, dengan apik menampilkan ulasan politik antara pemerintah pusat dengan daerah-daerah pinggiran, serta membuka tabir rekaman sejarah Indonesia masa lalu, termasuk tentang peristiwa tragis orde baru  yang telah membantai 800-2000 orang pada tahun 1965-1966 di Flores. 

Dalam tulisan ini, saya hanya akan berbagi sedikit potret beberapa kawasan yang, menurut saya, secara gamblang dapat menggambarkan sebuah wajah ketidakadilan pemerintah. Ekspedisi ini meliputi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua, Nusa Tenggara, Bali dan Jawa. Dan hasilnya, mereka telah berhasil merekam setidaknya 80 pulau dalam kurun waktu satu tahun dengan bukti beratus-ratus foto dan berjam-jam durasi video.

“Titik Hitam di Natuna”. Kata itulah yang dipilih Yunus untuk menggambarkan keadaan pulau Natuna. Pulau ini terletak di bagian utara kepulauan Riau, sangat eksotik. Ini adalah pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia bagian Barat dan Timur. Pemerintah Indonesia membangun angkatan udara dan laut di Ranai, jantung kota pulau ini. Maka tak heran jika personel militer sangat banyak dibanding warganya. Pulau ini kaya, termasuk salah satu penghasil gas terbesar di dunia dengan penghasilan 1,7 triliun. Namun, warganya tetap saja miskin. Kesulitan air bersih merupakan fenomena nyata, padahal mata air di gunung masih berlimpah. Dan pemerintah tidak juga membangun saluran pipa air.

Yang membuat saya lebih miris adalah ketika Yunus menyinggung tentang adanya masjid mewah yang berdiri tegak, menjulangkan menaranya dengan arsitektur bergaya melayu dan berornamen Arab. Konon, bangunan ini menelan biaya 800 miliar dan kontraktornya berasal dari Jakarta. Sangat kontras. Yah, saya menilai hal ini dengan sesuatu yang tidak adil dan ganjil. Masjid yang berdiri mewah, kekayaan alam yang melimpah, seakan memberi tanda bahwa keelokan ini belum menjadi berkah untuk warga Natuna.

Keprihatinan lain adalah, kondisi transportasi laut Indonesia yang bisa dibilang tragis. Terlebih ketika mengetahui bahwa para pembajak laut yang selama ini mondar-mandir di selat Malaka sejatinya adalah polisi laut. Pengalaman Yunus dan Farid menyeberangi selat Malaka adalah bukti dimana para punggawa rakyat itu tak lebihnya seorang preman dengan berseragamkan polisi. “Sungguh, kejadian yang kami lihat selama perjalanan ini begitu menyakitkan”, kata Yunus. Hal ini terjadi setidaknya empat kali, biasanya seorang awak kapal harus membereskan dengan sogokan uang 200 ribu sebelum mereka benar-benar babak belur disiksa para aparat itu. Padahal kapal-kapal itu adalah kapal sayur, yang bisa sangat dipastikan, mereka adalah warga kecil. Dengan begini, siapakah yang sebenarnya diuntungkan dan dirugikan dalam wajah Indonesia di perbatasan? Belum lagi realita penyelundupan, minimnya infrastruktur militer, dan keamanan. Kenyataannya, sejak masa kolonial sampai sekarang, Indonesia belum mampu untuk menjaga dan mengelola dengan baik Selat Malaka, selat terpenting dalam transportasi ekonomi dunia.

Lain Natuna, lain Miangas. Sebuah pulau yang berbatasan dengan Filiphina. Keindahan alam lautnya tidak bisa disangkal. Warna air lautnya biru toska, warna yang sangat indah bukan? Yah, pulau Miangas merupakan ‘tugu selamat datang’ dari Samudra Pasifik. Warga pulau ini biasanya berdagang ke Mindanao, Filiphina, karena jaraknya yang dekat. Dalam janji-janji pemilunya, SBY pernah sesekali menyebutkan pulau ini. Dan memang benar, keberadaan puskesmas, gedung logistik Bulog dan bandara pun nyata, terbangun di Miangas. Namun, pembangunan ini hanyalah berakhir sebagai bangunan yang tak bernyawa. Pemerintah tidak sekalipun ingin merawatnya kembali. Akhirnya, bangunan ini tidak ada artinya bagi warga Miangas.

“Miangas ini dilupakan. Kalau tidak diperhatikan bisa ke Filiphina. NKRI hanya janji-janji saja. Bicara dengan presiden tidak ada realisasinya”, itulah ungkapan dari Rebustianus Papea, warga Miangas. Keadaan di Miangas pun semakin sulit ketika isu terorisme menguak, pulau ini dan Talaud dianggap jalur masuknya teroris dari Filiphina. Isu ini justru mematikan roda perekonomian warga Miangas, karena mereka biasanya menjual dagangannya ke Filiphina. Ironisnya, aparat justru tidak tepat dalam menangani masalah ini, justru membuat warga Miangai semakin mlarat.

Matinya perekonomian warga juga terjadi di Pulau Midai, Kepulauan Riau. Era 50-an, Soekarno telah menggemborkan slogan “Ganyang Malaysia”, yang justru membuat perekonomian warga mati. Pulau ini penghasil kopra, perdagangan dengan Malaysia dan Singapura semakin perkembang pada abad ke-18, dan ironisnya, justru berakhir ketika pemerintah pusat gigih dalam menjaga kedaulatan NKRI sebagai bukti dari nasionalisme Indonesia. Sungguh, nasionalisme yang semakin samar adanya. Pertanyaan pun akan berujung kepada hakekat nasionalisme macam apakah yang diinginkan pemerintah di wilayah-wilayah perbatasan, jika pemerintah mengharapkan warga perbatasan untuk mencintai Indonesia tapi tak pernah memberikan keberpihakan kepada mereka. Pada akhirnya, hanya potret kemiskinan lah yang terjadi di Miangai tanpa ada upaya perbaikan daerah oleh para petinggi.

Kisah Yunus pun semakin berlari kencang menyusuri kawasan Timur Indonesia yang membuatku tidak ingin sedikitpun berpaling sehingga akan tertinggal satu kata dari cerita perjalanan mereka. Raja Ampat, Papua. Siapa yang belum pernah mendengar kecantikan kekayaan laut ini. Banyak peneliti luar negri yang turut mengabadikan keindahannya, dan kemudian mencatatnya dalam sebuah penelitian. Dari hasil penelitian ada sekitar 1.320 spesies ikan terumbu karang yang tersimpan dalam laut Raja Ampat. 70 persen jenis kerang keras dunia ada di kepulauan ini. Satu-satunya ancaman bagi kelestarian alam laut ini berasal dari kapal asing yang terus menerus mengeksploitasi alam laut dan bom laut, selain dari pada praktek korupsi yang terjadi hebat di negeri ini.

Dari Papua kemudian perjalanan berlanjut ke Timika. Banyak perusahaan asing yang hampir menguasai perekonomian daerah ini, sebut saja Freeport McMoran Copper & Gold. Inc. Perusahaan pertambangan Amerika yang berpusat di New Orleans, Amerika. Freeport pernah disebutkan sebagai perusahaan tambang terbesar di Amerika, meskipun tidak sebanding dengan kemakmuran warga Indonesia yang hidup di sekitarnya. Bahkan mayoritas warga Timika hidup di bawah kelayakan, dengan bertempat tinggal di gubuk-gubuk sekitar dermaga Timika.

Bagaimanapun, kita tidak akan lupa sejarah politik antara Papua dan Kedaulatan Indonesia. Dan, Yunus dalam tulisannya pun tah segan-segan membidik dengan sangat apik hubungan itu lewat fenomena musik Indonesia era 70-an hingga 80-an yang dibawakan oleh group musik Black Brothers, asal Papua. Lagu-lagu mereka banyak menyinggung tentang kebangkitan nasionalisme Papua, yang meskipun pada akhirnya band ini terusir dari negeri sendiri, dari tanah mereka dilahirkan. Pemerintah orde baru merasa risih dengan ‘nyanyian’ mereka, dengan alasan guna mengurangi kerumunan massa yang tidak tertib dan brutal. Itulah yang selalu digunakan dalam antitesis politik era orde baru. Sehingga di tahun 90-an, para musisinya dikejar karena mereka aktif dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka banyak berhijrah ke Belanda dan Australia. Genre musik seperti inipun akhirnya diteruskan oleh Iwan Fals lewat “Bento” dan “Wakil Rakyat”. Menariknya, adalah kemunculan kembali lagu Sajojo sebagai salah satu ikon lagu nasional dari Papua. Padahal, lagu itu adalah sumbangsih dari Black Brothers, band asal Papua, yang sekali lagi, terusir dari tanah kelahirannya, Papua. Dan, merekam perjuangan warga Papua yang berdarah-darah.    

Kediktatatoran era Orde Baru terekam apik oleh Yunus di tanah Flores. Banyak kepahitan-kepahitan yang dirasakan warga jika harus mengenang pembantaian massal sekitar tahun 1965-66 yang dilakukan oleh aparat dibawah pemerintahan Soeharto. Peristiwa itu setidaknya telah merenggut nyawa 800-2000 orang. Kematian yang meninggalkan banyak pertanyaan, alasan apa sesungguhnya yang dipakai oleh badan yang disebut sebagai KOMOP, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban untuk membunuh warga Flores ketika itu? Kecurigaan aparat akan berkembangnya PKI di Flores tidak dapat dibuktikan, bahkan sampai sekarang. Lalu, sesungguhnya kemerdekaan itu milik siapa?

Catatan singkat ini paling tidak dapat menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa, melalui perjalanan hebat Yunus dan Farid. Tulisan Yunus sangatlah menggoda. Dengan menggunakan bahasa-bahasa konyol, santai dan padat telah mampu menghipnotis saya untuk terus membaca dan berimajinasi ikut dalam perjalanan tersebut. Tulisan ini juga sarat akan kritikan pedas terhadap pemerintah yang diharapkan dapat menyuarakan ‘suara’ sumbang warga diperbatasan sana, yang jauh dari keadilan, kesejahteraan dan kemerdekaan sejati sebagai bagian dari NKRI. Saya-pun seketika tergugah untuk terus mencintai tanah air Indonesia, dengan menjelajahi serta memahami aneka potensi dan masalahnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517