Skip to main content

Berdiri di Kota Mati, “The City of The Death”




The City of The Death. Nama inilah yang membuat saya tergoda untuk melirik dan meniliknya. Yah, kawasan ini terletak di Kairo. Tepat di jantung kota Kairo, ibu kota Mesir. Melihat namanya, seolah saya akan melihat sebuah kota yang mati, tidak berpenghuni, karena mungkin tidak difungsikan lagi oleh pemerintah setempat sebagai lokasi pemukiman penduduk.

Ini merupakan perjalanan saya dua tahun yang lalu ke sebuah kawasan bernama Duwaiqoh, atau orang Mesir menyebutnya sebagai Duweah, karena huruf Qhof sering hilang pelahfadzan-nya dalam dialek Arab 'amiyah (bahasa pasaran). Kawasan inilah yang sering dirujuk oleh banyak wisata asing, yang terlena dengan sebutan The City of The Death, atau Cairo Necropolis, atau Qarafa/ el- Arafa.

Cukup mengejutkan, ternyata kawasan ini sebenarnya adalah kawasan pekuburan. Namun, pekuburan yang mempunyai banyak penghuni. Loh kok bisa? Yah, dan penghuninya bukanlah sesosok hantu melainkan warga masyarakat pinggiran Kairo, yang mayoritas hidup dibawah rata-rata. Pertama kali melihatnya pun saya heran. Jika di Indonesia, pekuburan merupakan tempat yang penuh dengan hal-hal yang berbau mistis, mengerikan dan berhantu. Namun, lain halnya dengan Duwea, kawasan ini cukup ramah dengan manusia, ramai, bahkan dijadikan tempat bermukim oleh sebagian warga yang tergusur karena harganya cukup ekononomis.

Beberapa makam yang ada disini bukanlah sembarang makam. Imam Syafi'i, intelektual muslim yang sangat berjasa lewat karyanya 'al- Risalah' dan menjadi founder madzhab Syafi'i, pun juga dimakamkan di kawasan ini. Ada juga, Imam Suyuthi, beliau Mufassir (penafsir al-Qur’an) handal yang lahir di Mesir. Ada lagi, Sayyidah Zaenab, Sayyidah Sukaenah, Zakaria al-Anshari, Atho'illah al-Sakandary, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dan beberapa nama ulama terkemuka lainnya.

Bagi para turis, dan bagi warga asing yang tinggal di Kairo, hal ini merupakan sebuah view yang sangat menarik. Bagaimana tidak menarik, batu nisan yang ada di dalam sebuah makam besar justru digunakan sebagai meja makan, dan sungguh, difungsikan sebagai meja oleh warga Duwea. Bangunan besar, yang biasanya digunakan sebagai makam keluarga, disulap bagaikan sebuah rumah hunian. Rumah, yang melindungi mereka dari panas dan dinginnya udara Kairo.

Besarnya jumlah penduduk di kawasan ini terjadi ketika tekanan urbanisasi yang mulai marak sejak masa Nasser 1950an. Orang pedesaan mulai berbondong-bondong menuju kota Kairo untuk mengadu nasib. Namun sayang, mereka harus dihadapkan dengan kenyataan untuk tinggal di makam. Jauh dari sebuah harapan.

Dalam beberapa catatan, hampir diperkirakan 30.000-100.000 warga pinggiran Kairo yang tinggal di kawasan tersebut. Seketika saya bisa menebak, mungkin karena faktor housing crisis yang terjadi di Kairo beberapa tahun belakangan ini. Yang benar saja, masak ada orang yang nyaman dan sengaja untuk hidup dan tinggal di makam kalau bukan karena terpaksa? Akibatnya adalah, banyak pemuda Mesir yang kesulitan untuk menikah. Karena kuatnya 'nilai sosial' disana yang mengatakan bahwa seorang pemuda tidak diperbolehkan untuk menikah kecuali terlebih dahulu menyiapkan rumah hunian yang layak, juga mampu membayar mahar yang harganya pun tidak murah.

The City of the Death terletak di bawah Bukit Muqattam. Kawasan ini sangat luas, sekitar 6,4 km. Dengan didominasi warna coklat, dan berdekatan dengan kawasan garbage city atau zabaleen, pusat recycling sampah di Kairo, kawasan inipun jauh dari kata bersih. Udaranya pengap dan kotor. Bisa dibayangkan, sampah, bau busuk dan anjing bertebaran dengan sangat leluasa di kawasan ini. Padahal, ini adalah kawasan pemakaman mantan 'orang besar' Kairo.             

Selain makam, daerah ini juga menyimpan beberapa masjid, termasuk masjid-masjid peninggalan Dinasti Islam, dari Ayyubiyah, Mamluk sampe Turki Utsmani, yang masih berdiri megah dan gagah, meski disekelilingi oleh rumah penduduk yang padat dan miskin. Sebut saja, Mansheeyat, Slum, dan Naser (Zabaleen). Hampir di setiap masjid tersebut menyimpan arsitektur indah khas masing-masing dinasti. Salah satunya adalah muqornas, semacam ornamen yang menyerupai stalaktif-pendentif yang bertengger di atas pintu masuk masjid. Sangat cantik.    

Menurut catatan sejarah, kawasan ini bermula ketika Amr Bin Ash (Sahabat Nabi) mulai menguasai Fusthat (nama lama dari kota Kairo). Mereka kemudian membangun sebuah kawasan makam yang sengaja diperuntukkan bagi jasad para kerabat dan keluarga. Ketika Dinasti Fathimiyah mulai berkuasa di Kairo, kondisi inipun berubah. Kultur Syi'ah yang kental pada dinasti ini telah merubah fungsi makam menjadi sebuah kawasan untuk ritual haji. Ritual yang dikhususkan untuk para Ahli al-Bayt. Jadilah makam ini sebagai sebuah kawasan yang ramai, sakral, dan pastinya membutuhkan perlebaran kawasan.

Dinasti selanjutnya, yang dipimpin oleh Shalah al-Din al- Ayyubi, yaitu Dinasti Ayyubiyah melanjutkan perluasan ini dengan membangun kawasan berpenghuni yang unik di sekitar pemakaman dengan dibatasi tembok-tembok. Kemudian dilanjutkan dengan Dinasti Mamluk, yang menerapkan regulasi baru bagi para pasukan militer mereka untuk membuat sebuah camp khusus berdekatan dengan The City of the Death. Pada era ini juga mereka menemukan sebuah lahan luas untuk kawasan pemakaman lainnya yang diberi nama Sahara, karena terletak di padang pasir, yang berada di sebelah tenggara kota Kairo.

Sejarah panjang inipun masih berlanjut ketika kekuatan Dinasti Utsmani, yang berpusat di Istanbul, turut memakamkan beberapa petingginya di kawasan Duwea. Jadilah, pekuburan ini bergelimang kemegahan dan kemewahan khas warga kelas atas. Setiap makam menunjukkan kejayaan dan kegemilangan si empunya, tentu dengan ornamen-ornamen megah dan mewah. Tak ayal, disekitar inilah masyarakat kelas atas dan menengah banyak bermukim. Sampai akhirnya, mereka harus berpindah ke tempat lain karena bertambahnya jumlah penduduk yang sudah melebihi kapasitas sebagai sebuah pemukiman.  

Pekuburan ini adalah tempat peristirahatan terakhir bagi para raja, sufi, cendekia, dan ulama. Maka tak heran jika kemudian muncullah fenomena baru, warga Kairo berbondong-bondong ke pemakaman  untuk mencari blessing (berkah). Bahkan mungkin sampe sekarang. Saya seringkali mendapati beberapa warga yang berziarah ke makam Imam Syafi’i dan yang lainnya secara terus-menerus.  

Dalam literature arsitek modern yang ditulis oleh Galila el Kadi dan Alain Bonnamy Architecture for the Dead Cairo’s Medieval Necropolis, ia menceritakan bagaimana tradisi klasik dengan varian mitosnya mampu membangkitkan skala religiusitas massif bagi warga Mesir, khususnya abad pertengahan. Bermula pada dinasti Fatimiyah, tradisi tersebut berkembang semakin marak. Biasanya kaum lelaki melakukan sholat di masjid, sedangkan kaum wanitanya hanya dapat melaksanakan ritual keagamaan di kuburan-kuburan tersebut. Hal ini awalnya berlaku bagi komunitas bangsawan, namun lambat laun justru yang terjadi malah sebaliknya, bahkan sekarang ini mayoritas yang bermukim disitu adalah warga kumuh dan ekonomi rendah.

Inilah potret The City of The Death. Berawal dari sebuah kawasan megah yang berakhir menjadi sebuah pemukiman warga miskin, namun tetap eksotis.  


Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat...

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, be...

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517...