Skip to main content

Pesona Masjid Şehitlik




Dimuat di Leisure Harian Republika, 18 Juni 2013

Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah muslim di Jerman semakin berkembang meskipun tercatat sebagai kaum minoritas. Tak hanya Turki, warga muslim keturunan Arab dan Asia juga turut meramaikan keberagaman corak Islam di Jerman. Tentu saja, hal ini beriringan dengan semakin banyaknya jumlah masjid sebagai pusat ibadah.

Kebetulan saya sedang tinggal di ibu kota Jerman, Berlin, yang konon mempunyai penduduk muslim sekitar 200,000 mencakup penduduk lokal dan asing. Saya berangan-angan untuk bisa berkunjung ke setiap masjid yang memiliki corak berbeda-beda. Salah satunya adalah Şehitlik, sebuah masjid Turki terbesar di Berlin. Beruntung, beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk singgah dan menikmati kemegahan masjid yang bernuansa biru abu-abu tersebut.

Blue Mosque-nya Berlin

Suatu hari, ditemani suhu Berlin yang lumayan hangat, saya beserta seorang kawan berkunjung ke masjid Şehitlik. Lokasinya tak jauh dari bandara Tempelhof yang dahulu difungsikan Hitler ketika Perang Dunia II. Ketika bis berhenti di halte Columbiadamm nampak beberapa gadis Turki berlalu-lalang di depan sebuah pintu gerbang yang agak tinggi. Saya sempat heran karena tidak terlihat satu pun bangunan masjid. Namun begitu masuk gerbang, seketika saya seperti berada di Istanbul. Bangunan masjid ini mirip sekali dengan Blue Mosque yang ada di Turki. Nampak megah dan indah.

Saya perhatikan bangunan-nya masih terlihat baru. Tenyata benar, dari sebuah batu prasasti di dekat pintu gerbang tertulis masjid ini dibangun tahun 1999 dan mulai digunakan tahun 2005. Awalnya kompleks masjid Şehitlik merupakan sebuah area pemakaman kuno. Konon, beberapa petak tanah diberikan oleh kerajaan Prusia kepada Turki dibawah kerajaan Ottoman pada abad 1863 M. Sebelum masjid ini dibangun pada tahun 1999, lokasi ini juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan Turki.

Menurut beberapa informasi yang saya peroleh, Şehitlik dalam bahasa Turki berarti Syahid. Tebakan saya, arti kata ini sengaja disematkan untuk beberapa diplomat Ottoman yang meninggal ketika bertugas di Berlin yang dahulunya merupakan kerajaan Prusia.

Pemakaman di Halaman Masjid

Dari arah pintu masuk saya langsung disuguhi sebuah pemakam. Uniknya, pemakaman tersebut berada persis di halaman depan masjid. Jumlahnya tidak terlalu banyak, mungkin puluhan. Ada yang tercatat meninggal seratus tahun yang lalu atau lebih. Batu-batu nisan yang terbuat dari marmer berwarna gelap memenuhi area pemakaman sebagai identitas terakhir para almarhum. Yang membuat saya kaget adalah sebuah makam seseorang yang berasal dari Indonesia. Saya bisa melihat dari batu nisan yang berdiri tegak di atas kuburan tersebut.
           
 Saya perhatikan, setiap batu nisan ada nama almarhum lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal meninggal. Hanya ada beberapa yang nampak besar dan istimewa. Salah satunya adalah seorang diplomat kerajaan Ottoman yang dikirim ke Prusia. Dengan pagar berwarna putih makam ini nampak lebih mencolok dan menarik perhatian.    

Arsitektur Khas Turki
           
 Dome ukuran besar dengan  dua menara kembar setinggi 37 meter membuat saya terkesima tak henti-henti. Terlebih dipadukan dengan warna cerah biru yang menghiasi langit Berlin. Sangat menawan. Puluhan anak-anak remaja, mungkin setingkat SMP, berkumpul dipandu oleh sang guru terlihat berpose di depan masjid. Saya pun tak mau ketinggalan mengabadikan diri, juga beberapa slide foto masjid biru nan cantik ini.

Hingga suasana agak sepi, saya mulai berkeliling mengitari pemakaman dan mendekat ke arah pintu masjid. Nampak beberapa orang tua mulai meninggalkan masjid, dan berjalan keluar pintu gerbang. Hanya selang beberapa meter dari tangga masjid, berdiri sebuah tugu. Setelah saya amati, bentuknya mirip seperti tugu Jogja, namun agak kecil. Diujungnya terdapat replika bulan sabit berwarna emas sebagai tanda kepemilikan kerajaan Ottoman. Rupanya, monumen ini adalah pusat kebudayaan Turki di zaman kerajaan Prusia.

Tak kalah cantik dengan arsitektur luar masjid, ornamen berwarna biru dan putih yang mendominasi sudut-sudut tembok dalam masjid menambah kesan elegan dan kemewahan masjid Şehitlik. Karpetnya berwarna biru toska, bersih dan tertata rapi. Sayang sekali waktu itu saya tidak bisa masuk ke dalam karena ada acara. Tak kehilangan akal, saya pun berusaha untuk mengintip habis-habisan dan berhasil menikmati ornamen-ornamen cantik itu meskipun dari luar.

Bentuk mihrab di dalam masjid persis seperti yang pernah saya temukan beberapa tahun lalu di Mesir. Kental dengan nuansa Timur Tengah. Lengkap dengan ornamen berbentuk stalaktif-pedentif (bahasa Arab;Muqornas) yang menghiasi atas mihrab. Bedanya, kesan modern lebih terasa di masjid ini.

Saya juga memperhatikan beberapa ornamen bergaya arsitektur Osmani yang terpancar jelas dari bentuk kubah dan menara masjid. Arsitektur Osmani memang di kenal memiliki menara masjid yang tinggi-tinggi. Dinasti terakhir kekhalifahan Islam ini bahkan mampu membuat menara setinggi 70 meter dengan tekhnik konstruksi yang lebih modern. Masjid ini juga dibagi menjadi dua ruangan berbeda berbentuk tingkat.Jama’ah wanita biasanya menggunakan ruangan atas, dan laki-laki berada di bawah sejajar dengan imam.     

Menurut beberapa informasi, masjid Şehitlik dibangun oleh seorang arsitek ternama yang pernah membangun beberapa masjid megah lainnya seperti di Tokyo dan Asgabat, Turkmenistan. Namanya, Hilmi Senalp. Membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk membangun masjid nan megah ini.

Jika ingin bersantai sejenak ada juga sebuah cafe kecil di dalam kompleks masjid yang hanya tersedia beberapa kursi dan meja kecil saja. Selain untuk sholat, masjid ini juga digunakan untuk menyelenggarakan beberapa aktifitas keagamaan. Pihak pengelola merupakan salah satu dari organisasi keagamaan terbesar penduduk Turki di Jerman, namanya DITIB (Turkish-Islamic Union for Religious Affairs).  

Sebagai Lokasi Wisata

Kemegahan dan keindahan masjid Şehitlik sepertinya juga menarik wisatawan untuk berkunjung. Tidak hanya sebatas kaum muslim saja namun warga non-muslim juga tertarik untuk mengetahui seluk-beluk tentang masjid ini. Pihak masjid juga menyediakan jasa guide bagi mereka yang ingin berkunjung dalam bentuk kelompok, baik untuk pelajar, mahasiswa atau wisatawan asing.  

Sang guide akan menjelaskan sejarah masjid berikut fase-fase pembangunan-nya. Tidak hanya itu, bagi non-muslim juga boleh bertanya apa saja tentang Islam secara umum. Tidak hanya terbatas mengenai komunitas
muslim di Berlin atau komunitas muslim Turki.

Sejauh yang saya amati, pemerintah Jerman mulai gencar mempromosikan nilai-nilai multikultural negaranya. Karena meskipun Islam bukan agama yang diakui secara formal bagi pemerintah, namun jumlah penduduk muslim merupakan yang terbesar ketiga setelah Protestan dan Katolik. Mungkin dalam rangka ini juga, saya mendapati sebuah informasi paket tour ke beberapa masjid di Berlin termasuk masjid Şehitlik yang tertera di website resmi Visit Berlin.   

Usai mengelilingi lokasi masjid, saya berjalan menuju area belakang masjid yang merupakan tempat pemakaman tentara Perang Dunia I. Ternyata, justru dari sinilah saya menemukan view yang paling bagus untuk mengabadikan kemegahan masjid Şehitlik. Jadilah, saya dan seorang kawan berpose di area pekuburan dengan background masjid Şehitlik yang berpadu dengan ranting-ranting bekas musim dingin. Sungguh menawan !

Jika musim dingin tiba, terlebih ketika salju tebal menyelimuti kota Berlin, keindahan masjid ini kian menjadi-jadi. Gundukan beberapa makam dan sebagian batu nisan tertutup salju putih nan bersih. Begitu juga dengan kubah dan menara kembarnya yang sesekali terlihat putih namun agak tipis. Sangat kontras jika dipadukan dengan warna biru masjid.

Dimuat di Leisure Harian Republika, 18 Juni 2013






Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.