Memasuki minggu ketiga kursus bahasa Jerman, saya
mulai mengenali beberapa teman sekelas dengan baik. Ketika break kami sempatkan
untuk saling bercerita, bercanda sembari menikmati kopi yang kami beli dari
coffee machine. Tak jarang juga, kami membawa bekal makanan atau buah sebagai
penambah energi di sela-sela jam kursus yang padat.
Beberapa waktu lalu saya sering berpindah-pindah
tempat duduk. Sengaja seh, biar lebih kenal dengan teman baru yang duduk
bersebelahan. Meskipun kami saling kenal nama dan daerah asal, namun belum
tentu kami mengetahui tentang aktivitas juga cerita-cerita pengalaman menarik
mereka jika tidak menyempatkan diri untuk bertanya.
Berhubung saya orangnya talkative dan suka ngobrol,
nggak heran deh kalo saya suka bertanya dan memulai percakapan. Nah, kebetulan
beberapa hari ini saya duduk bersebelahan dengan teman yang punya keahlian sama
dengan saya, alias suka ngobrol. Namanya Moran dari Israel. Satu lagi namanya
Mi-Yong dari Korea. Jika break, kami sudah seperti berada di pasar. Cerita
sana-sini, sambil bercanda dan bergurau.
Di kelas kami tidak semua bisa bahasa Inggris. Ada
sekitar delapan orang yang faseh berbahasa Inggris. Tak jarang, kadang kami
bertanya dengan bahasa isyarat. Lah, mo gimana lagi, saya tidak bisa bahasa
Rusia sedangkan teman saya Natalia hanya bisa bahasa Rusia. Kalaupun pake
bahasa Jerman, kami kan baru belajar. Nggak mungkin donk bisa ngobrol panjang
lebar pake Deutsch. Walakhir komplotan berbahasa Inggris inilah yang biasanya
membuat ramai kelas.
***
Datang dari berbagai latar belakang yang berbeda
membuat saya lebih terkesan dengan kelas ini. Suatu ketika, Irina, yang
beragama Orthodox bertanya kepada saya tentang jilbab. Dia berasal dari
Moldova, negeri kecil yang berada di Eropa Timur berdekatan dengan Rumania dan
Ukraina. Dalam hidupnya di Moldova, dia pernah menjumpai wanita berjilbab hanya
dua kali. Itupun lewat televisi.
Dia bercerita bagaimana pertama kalinya dia melihat
wanita berkerudung bergaya Arab Maroko di sebuah drama. Kesan pertama dia baik.
Wanita Maroko yang diceritakan di film tersebut terlihat menawan, modis dan
anggun. Namun, kesan selanjutnya tentang wanita berjilbab bagi Irina berubah,
ketika mendengar beberapa media yang mengulas tentang aksi terorisme di
berbagai negara. Dari pengalaman inilah kemudian Irina bertanya kepada saya
tentang jilbab.
Dia memulai pertanyaan dengan bahasa yang santun.
Kira-kira begini,
“Maria, Entschuldigung (I am sorry) may I ask you
questions?”.
“Sure”, jawab saya.
Dia pun memulai pertanyaan dengan memegang jilbab yang
saya pakai.
“Kenapa kamu setiap hari pakai ini?, Apakah kamu juga pakai
jilbab kalau di rumah? Apakah di negara kamu semua perempuan memakai kerudung?
Memang kenapa seh kalo tidak pakai kerudung? Apakah berdosa bagi agamamu?
Bla..bla..bla..bla...
Pertanyaan yang panjang, dan cukup membuat saya
berpikir bagaimana jawaban yang tepat untuk seorang Irina, yang sama sekali
tidak tau tentang Islam, dan dunia Muslim pada umumnya.
Tidak mudah bagi saya menjawab pertanyaan itu. Karena tidak
mungkin saya harus memberikan penjelasan panjang lebar seperti mau kuliah. Singkatnya,
saya hanya bisa menjawab sekilas yang kira-kira mempunyai makna seperti ini.
“Well, headscarf or hijab is a part of religious
tradition I would say...”.
Dari perbincangan mengenai jilbab, akhirnya mengarah
ke tradisi orthodoks Irina dan tradisi keluarga besarnya.
Tidak hanya Irina, saya juga banyak bertukar pandangan
dengan Moran yang asli Israel. Dia bercerita banyak tentang ketidaknyamanan
ketika beberapa orang selalu mengaitkan dirinya dengan kebijakan pemerintah
Israel. Dia pun mengaku sangat merasa tersudut.
“Sometimes, its hard for me to listen what people
judge my country. Israel is politically controversial. I have bad experiences
when talking about Israel political strategy with a lot of people. But that was
not my responsible to explain all the things that have no any relations with my
personal experiences”.
Moran kembali merasa resah harus membincang tentang masalah
ini. Kemudian dia bercerita bagaimana dia hidup bertetangga dengan seorang
Muslim dan Christian. Dia lahir dan besar di Haifa, kota terbesar ketiga di
Israel.
“Maria, kamu akan menemukan tidak hanya Sinagog
disana. Gereja dan Masjid juga banyak tersebar di Haifa. Saya menjadi saksi
atas keberagaman ini. Bahkan kurikulum sekolah saya dulu mewajibkan belajar agama
lain. Tidak hanya Yahudi, tapi juga Kristen dan Islam. Kami juga harus belajar
bahasa Arab. Karena tetangga kami merupakan negara Arab”.
Begitu kira-kira cerita Moran, panjang lebar tentang
bagaimana dia merasa kehidupannya di Israel baik-baik saja. Berkawan dengan
non-Yahudi, hidup rukun dan saling menghormati kepercayaan masing-masing. Dia juga
bercerita bagaimana dia sangat menghargai perbedaan, entah agama, ras atau
budaya.
Katanya lagi, “Saya sangat tidak setuju semua
kekerasan yang mengatasnamakan Agama. Jika kamu baca Bibble, atau Torah, tidak
ada satu kalimat-pun yang mengutus umatnya untuk membunuh. Sebagai seorang yang
lahir di tanah Israel, saya sungguh mendambakan semua hidup rukun, harmoni dan
damai. Tapi kenyataannya, dunia kita sekarang semakin amburadul”.
Saya dan Moran kembali menghela nafas. Tentu, apa yang
dipikirkan Moran sama persis dengan apa yang ada di kepala saya. Sebagai
Muslim, saya juga mengecam tindakan-tindakan anarkis dengan mengatasnamakan
agama.
Kami-pun serentak bersuara, “they are all bullshit !”.
Saya juga menyampaikan beberapa pandangan saya tentang
kehidupan Muslim di Indonesia. Juga, bagaimana saya sebagai seorang Muslim
dapat bersinggungan dengan kehidupan sekuler Jerman. Kami berdiskusi banyak
hal. Tentang agama, pengalaman kami bertemu dengan budaya Jerman, sampai dengan
makanan. Kebetulan juga, saya dan Moran penggemar makanan pedas.
***
Beda Moran, beda Valentin. Pemuda ini berasal dari
Kroasia. Dia mengaku sebagai pecinta lelaki, meskipun dia seorang lelaki
(secara biologis). Valentine seorang pemuda yang lagi galau, dilanda asmara
yang membuncah bersama pasangan lelakinya. Bahkan dia sampai ke Berlin demi
untuk hidup bersama kekasihnya.
Berlin memang berada di nomer dua setelah Barcelona
bagi pasangan gay. Kedua kota ini menyimpan ribuan gay dengan bemacam-macam
komunitas. Bahkan di Berlin, di setiap summer, ada festival khusus untuk para
homosexual. Mereka akan berpawai melewati jalan-jalan ramai layaknya sebuah
karnaval.
Valentine orangnya asik diajak ngobrol. Dia gemar
bercerita dan menyapa, karena kebetulan kami harus menaiki bis dengan rute yang
sama setiap berangkat dan pulang kursus. Hampir tiap pagi saya selalu bertemu
Valentin di bis nomer M11 atau X11.
Dan, dia adalah pena-nya ketiga di kelas kami yang
menanyakan kenapa saya memakai kerudung. Dalam hidupnya, dia juga tidak pernah
melihat wanita berkerudung ketika di Kroasia. Maklum, Kroasia kan negara
penganut Katolik Roma meskipun bersebelahan dengan Bosnia yang mempunyai
penduduk Muslim.
Saya pun dengan senang menjelaskan alasan, background
agama dan budaya Indonesia. Dan, syukurlah pagi itu saya mendapatkan pujian
yang tidak pernah saya kira sebelumnya dari seseorang yang sama sekali berbeda
latar belakang. Dia bilang, “Oh you look gorgeous using that scarf, Maria. I
really like it”. Tersipu deh saya dibuatnya.
***
Pertemuan saya dengan ‘the others’ inilah yang kemudian
semakin memberikan makna tersendiri tentang ‘mereka’ yang ada ‘diluar’
kehidupan kita. Mereka yang mempunyai agama,
kultur dan budaya yang berbeda. Pertemuan ini bukan untuk saling mencemooh,
karena mereka bukan muslim, bukan juga karena mereka dari Israel yang notabene
beragama Yahudi. Nilai universalitas Islam ada di semua agama. Saling
menghargai semua agama, ras, golongan adalah sikap yang tepat di tengah
keberagaman penduduk dunia. Semakin kita berkenalan dengan ‘yang lain’, saya
rasa semakin kita dapat menghargai perbedaan.
Comments