by : Maria el Fauzy
Ternyata obrolan tentang wanita belumlah final meskipun sudah dilegalkan sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan beberapa pakar turut andil dalam menyumbangkan ide-ide segar, serta cukup loyal untuk sekedar menjadi pemerhati dan pengkritik sejati mereka. Patut dimaklumi, karena menyoal tentang wanita sama halnya dengan membincangkan satu dari dua jenis manusia di dunia yang jumlah serta problematikanya bisa dikatakan lebih kompleks, dilematis, dan jamak.
Kenapa obrolan wanita menarik untuk dikaji, banyak diminati, bahkan menjadi sebuah disiplin keilmuan?? Pertanyaan itulah yang sekilas terbesit dihati penulis. Padahal, jika dapat dikatakan, pada awalnya diskursus wanita terkesan rigid, tidak berkembang dan monoton. Pembahasannya hanya berkutat itu-itu saja, muter-muter, dan ujung-ujungnya dapat disimpulkan bahwa dalam problematika wanita terdapat semacam kontradiksi bawaan, yaitu tawaran konsep yang menginginkan pembebasan individu, namun dalam prakteknya justru menjadikan individu lain tidak terbebaskan atau bahkan tertindas. Menurut analisa penulis, dari kontradiksi inilah yang kemudian menjadikan terma wanita semakin asik untuk diangkat, disertai fenomena-fenomena aktual baik berupa pornografi, pelecehan, sampai hal-hal sensitif lainnya yang up to date.
Hebatnya, isu-isu wanita dapat bebas merambat ke berbagai disiplin keilmuan, baik agama ataupun non agama meskipun tidak secara menyeluruh. Katakanlah ilmu Fiqh, Tafsir, Kedokteran, Politik, Sastra, Hukum dsb. Terdapat didalamnya bab serta intrik-intrik khusus yang berhubungan dengan wanita, bagaimana sepak terjang, penafsiran-penafsiran, estetika, serta alat-alat reproduksi yang patut dijelaskan secara detail. Bukan maksud untuk menggeneralisasikan, namun sejatinya masalah perempuan, sekali lagi, lebih rumit. Buktinya, dalam membahas wanita saja kita harus lebih dahulu mempunyai bekal pendekatan, akankan kita memakai pendekatan sejarah, feminis, isu gender, teologi, hak asasi, kriminalitas atau tentang politik praktis ?. Entahlah, mungkin Tuhan terlalu sayang terhadap wanita, sehingga "kita" melulu diperhatikan oleh publik, yang kemudian menjadikan "kita" semakin manja. Atau justru "kita" merasakan telah banyak dieksploitasi publik? yang pasti semua tergantung dari kacamata mana "kita" dipandang.
Menyoal Sensualitas Wanita
Ironis, ketika membaca salah satu majalah nasional bahwa Indonesia termasuk negara konsumen terbesar nomor tiga dalam hal pornografi. Sekilas yang nampak adalah, masyarakat Indonesia yang jauh dari moralitas agama, didukung dengan faktor ekonomi dan pendidikan yang jauh dari rata-rata, serta lingkungan tak berperadaban yang menjangkit hampir mayoritas warga, baik laki-laki dan perempuan. Saya katakan laki-laki dan perempuan, karena keduanya sama-sama memiliki peran utama dalam kelanggengan hal tersebut, tanpa terkecuali. Namun, yang patut diperhatikan selanjutnya adalah mana diantara keduanya yang paling banyak dirugikan? Secara aklamasi dapat terjawab, bahwa wanita lebih banyak dirugikan, baik secara psikis ataupun sosial.
Pada dasarnya, ketika kita berani membincang masalah pornografi dan kriminalitas, kita juga harus berani mengangkat masalah hukum dan pemerintahan. Sayangnya, sampai saat ini baik hukum atau pemerintah belum berhasil dalam menumpaskan pornoaksi Indonesia, karena masyarakatnya-pun belum siap untuk menghadapi perubahan. Layaknya isu penerapan Negara Syari'at yang beberapa waktu lalu sempat ramai. Para konseptornya terlihat semangat untuk kembali mengadakan upaya-upaya puritansi keagamaan dan menerapkan syari'at-syari'at Islam yang memang problematis jika diterapkan di Indonesia sebagai negara Pancasila, namun apalah daya, masyarakat kita dengan santai me-lenggang kangkung dan acuh atas isu-isu tersebut, dikarenakan mentalnya yang kurang siap dalam menerima beberapa resiko. Pun, dalam hal pornografi yang terlanjur kronis. Hal itulah yang mungkin patut dijamah, masyarakat kita yang bermental ikut-ikutan ternyata telah berhasil membuktikan khas ke-ikut-ikutan-nya itu. Tanpa berani menerima resiko untuk melangkah kesebuah perubahan.
Merupakan kesepakatan bersama bahwa pornografi sekaligus pornoaksi merupakan kejahatan, yang nampak dilegalkan. Berapa ratus iklan yang terpampang dipinggir jalan dengan menggunakan icon wanita?, bahkan terkadang sama sekali tidak berhubungan antara produk dan si bintang iklan yang ber-adegan terlampaui senonoh. Tidak hanya itu, hampir semua media Indonesia turut menyuguhkan adegan semi-sensualitas terhadap konsumennya, baik majalah maupun dunia perfilman. Lebih parahnya lagi adalah fasilitas internet yang tak kenal batas, siapapun dapat mengakses situs-situs tersebut dengan hanya mengeluarkan beberapa perak saja dari kantong sakunya.
Jika kita amati secara detail, kaum laki-laki yang paling banyak mengkonsumsi perihal tersebut. Herannya hal itu dianggap biasa-biasa saja, wajar, dan legal. Ada yang kemudian mengatakan hal tersebut merupakan fitrah kaum lelaki. Dinilai dari hukum agama saja dapat dikatakan bahwa hal itu bertentangan, dan tidak dilegalkan. Namun gara-gara sudah men-tradisi maka kesemuanya menjadi sebuah kebiasaan yang dalam prakteknya justru dilestarikan. Sejatinya bukan bermaksud untuk tuding menuding, namun hal ini bertujuan untuk mengangkat akar permasalah sekaligus faktor-faktor pendukung lainnya, yang didapatkan dari sebuah kebiasaan tadi.
Jika budaya mengumbar sensualitas perempuan dianggap biasa oleh beberapa kalangan, namun saya yakin para pembaca menganggapnya sebagai sebuah pelecehan. Disinilah letak problematikanya, ketika sebagian wanita merasa sangat dilecehkan dengan maraknya budaya tersebut, namun sebagian yang lain justru merasakan sebuah kebanggaan tersendiri. Karena sisi-sisi keindahan wanita mulai dihargai oleh publik.
Dalam kajian sastra misalnya, fenomena yang banyak menjadi perhatian para pengkaji sastra perempuan beberapa tahun yang lalu adalah tema-tema seks, gay, dan kelainan kelamin. Wacana dan forum diskusi dengan tajuk utama sensualitas wanita ini menjadi perbincangan hangat yang tak kunjung habis. Pastinya, trend semacam ini semakin membahana sejak diprakarsai oleh Ayu Utami dengan Saman, yang kemudian dilanjutkan oleh para penulis wanita lainnya, katakanlah Djenar Meisya Ayu, Dewi Dee Lestari, Herlienatiens dan masih banyak lagi. Awalnya, pengangkatan tema seputar sensualitas wanita bertujuan untuk mengusung upaya pembebasan dari sistem patriarkhal, namun ternyata kenyataan berkata lain, bahwa membincang masalah ini menjadikan persoalan wanita semakin tidak berkembang, yang dibahas hanya berputar masalah sensualitas dan seks, seakan-akan wanita tidak punya kelebihan lain yang patut digali dan kemudian dikembangkan. Animo yang muncul kemudian adalah, ketika terlintas nama perempuan maka yang pertama kali hadir adalah wacana sensualitasnya. Apakah wanita dilahirkan hanya untuk diekploitasi dalam hal sensualitas? Saya rasa Tuhan tidak sekejam itu terhadap makhluk yang bernama wanita.
Menelisik diskursus kewanitaan dengan menggunakan pendekatan psikologi wanita sejatinya memang dilematis. Kita tidak bisa mengklaim suatu hal tanpa mempertimbangkan individu yang lain. Apalagi terdapat segudang faktor pendukung, misalnya ekonomi, adat, agama dsb. Sengaja penulis hadirkan perbincangan ini tanpa jauh menganalisa melalui sudut teologi, karena penulis yakin pembaca sudah mempunyai kapasitas yang cukup untuk membandingkan hal tersebut dengan doktrin-doktrin keagamaan.
Terlepas dari isu hangat mengenai UU Pornografi yang marak akhir-akhir ini, hal lain yang perlu digaris bawahi adalah soal kerugian. Tanpa diragukan, wanita akan dijadikan objek utama demi terwujudnya beberapa kepentingan. Menjamurnya praktek prostitusi, dan trafficking (penjualan wanita ilegal) yang hampir ada di setiap kota adalah bukti nyata sebagai pelanggeng dari pada devisa kabupaten, kota-kota besar, bahkan sebagai devisa negara. Keuntungan ekonomi yang diraih pihak pengelola dapat mencapai hasil yang berlipat tanpa sedikitpun memperhatikan kesejahteraan dan keamanan si korban (baca; wanita). Maka tak heran jika pemerintahan setempat sampai saat ini gagal dalam menindak lanjuti pelayanan prostitusi yang jelas-jelas merusak masyarakat. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kepentingan ekonomi-lah yang menurut penulis banyak merugikan etika dan budaya sosial.
Beranjak dari faktor ekonomi yang kemudian dilestarikan, maka tak heran jika selanjutnya budaya semacam ini menjadi wajar adanya. Ekonomi kemudian dijadikan tameng utama untuk melegitimasikan hal tersebut. Seakan-akan semua kepentingan baik pribadi maupun golongan berlindung dibawah bayang-bayang ekonomi. Karena menjadi hal yang wajar, maka sudah semestinya merebaknya isu sensualitas semakin tak terkontrol, parahnya doktrin-doktrin agama layaknya sebuah teks mati. Sama sekali tidak berpengaruh, bisa jadi karena agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak mempunyai kepentingan konkret yang menjanjikan.
Apapun hukumnya, ternyata masyarakat Indonesia belumlah jera. Hukum agama yang transenden sekalipun masih dianggap biasa-biasa saja. Entahlah, apa jadinya nanti jika UU pornografi tidak berhasil di goal kan. Akankah wanita masih terus merasa bangga atas apa yang dimilikinya, ataukah merasa risih dan tersiksa sebagai kaum yang selalu dijadikan objek sensualitas?.
Ternyata obrolan tentang wanita belumlah final meskipun sudah dilegalkan sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan beberapa pakar turut andil dalam menyumbangkan ide-ide segar, serta cukup loyal untuk sekedar menjadi pemerhati dan pengkritik sejati mereka. Patut dimaklumi, karena menyoal tentang wanita sama halnya dengan membincangkan satu dari dua jenis manusia di dunia yang jumlah serta problematikanya bisa dikatakan lebih kompleks, dilematis, dan jamak.
Kenapa obrolan wanita menarik untuk dikaji, banyak diminati, bahkan menjadi sebuah disiplin keilmuan?? Pertanyaan itulah yang sekilas terbesit dihati penulis. Padahal, jika dapat dikatakan, pada awalnya diskursus wanita terkesan rigid, tidak berkembang dan monoton. Pembahasannya hanya berkutat itu-itu saja, muter-muter, dan ujung-ujungnya dapat disimpulkan bahwa dalam problematika wanita terdapat semacam kontradiksi bawaan, yaitu tawaran konsep yang menginginkan pembebasan individu, namun dalam prakteknya justru menjadikan individu lain tidak terbebaskan atau bahkan tertindas. Menurut analisa penulis, dari kontradiksi inilah yang kemudian menjadikan terma wanita semakin asik untuk diangkat, disertai fenomena-fenomena aktual baik berupa pornografi, pelecehan, sampai hal-hal sensitif lainnya yang up to date.
Hebatnya, isu-isu wanita dapat bebas merambat ke berbagai disiplin keilmuan, baik agama ataupun non agama meskipun tidak secara menyeluruh. Katakanlah ilmu Fiqh, Tafsir, Kedokteran, Politik, Sastra, Hukum dsb. Terdapat didalamnya bab serta intrik-intrik khusus yang berhubungan dengan wanita, bagaimana sepak terjang, penafsiran-penafsiran, estetika, serta alat-alat reproduksi yang patut dijelaskan secara detail. Bukan maksud untuk menggeneralisasikan, namun sejatinya masalah perempuan, sekali lagi, lebih rumit. Buktinya, dalam membahas wanita saja kita harus lebih dahulu mempunyai bekal pendekatan, akankan kita memakai pendekatan sejarah, feminis, isu gender, teologi, hak asasi, kriminalitas atau tentang politik praktis ?. Entahlah, mungkin Tuhan terlalu sayang terhadap wanita, sehingga "kita" melulu diperhatikan oleh publik, yang kemudian menjadikan "kita" semakin manja. Atau justru "kita" merasakan telah banyak dieksploitasi publik? yang pasti semua tergantung dari kacamata mana "kita" dipandang.
Menyoal Sensualitas Wanita
Ironis, ketika membaca salah satu majalah nasional bahwa Indonesia termasuk negara konsumen terbesar nomor tiga dalam hal pornografi. Sekilas yang nampak adalah, masyarakat Indonesia yang jauh dari moralitas agama, didukung dengan faktor ekonomi dan pendidikan yang jauh dari rata-rata, serta lingkungan tak berperadaban yang menjangkit hampir mayoritas warga, baik laki-laki dan perempuan. Saya katakan laki-laki dan perempuan, karena keduanya sama-sama memiliki peran utama dalam kelanggengan hal tersebut, tanpa terkecuali. Namun, yang patut diperhatikan selanjutnya adalah mana diantara keduanya yang paling banyak dirugikan? Secara aklamasi dapat terjawab, bahwa wanita lebih banyak dirugikan, baik secara psikis ataupun sosial.
Pada dasarnya, ketika kita berani membincang masalah pornografi dan kriminalitas, kita juga harus berani mengangkat masalah hukum dan pemerintahan. Sayangnya, sampai saat ini baik hukum atau pemerintah belum berhasil dalam menumpaskan pornoaksi Indonesia, karena masyarakatnya-pun belum siap untuk menghadapi perubahan. Layaknya isu penerapan Negara Syari'at yang beberapa waktu lalu sempat ramai. Para konseptornya terlihat semangat untuk kembali mengadakan upaya-upaya puritansi keagamaan dan menerapkan syari'at-syari'at Islam yang memang problematis jika diterapkan di Indonesia sebagai negara Pancasila, namun apalah daya, masyarakat kita dengan santai me-lenggang kangkung dan acuh atas isu-isu tersebut, dikarenakan mentalnya yang kurang siap dalam menerima beberapa resiko. Pun, dalam hal pornografi yang terlanjur kronis. Hal itulah yang mungkin patut dijamah, masyarakat kita yang bermental ikut-ikutan ternyata telah berhasil membuktikan khas ke-ikut-ikutan-nya itu. Tanpa berani menerima resiko untuk melangkah kesebuah perubahan.
Merupakan kesepakatan bersama bahwa pornografi sekaligus pornoaksi merupakan kejahatan, yang nampak dilegalkan. Berapa ratus iklan yang terpampang dipinggir jalan dengan menggunakan icon wanita?, bahkan terkadang sama sekali tidak berhubungan antara produk dan si bintang iklan yang ber-adegan terlampaui senonoh. Tidak hanya itu, hampir semua media Indonesia turut menyuguhkan adegan semi-sensualitas terhadap konsumennya, baik majalah maupun dunia perfilman. Lebih parahnya lagi adalah fasilitas internet yang tak kenal batas, siapapun dapat mengakses situs-situs tersebut dengan hanya mengeluarkan beberapa perak saja dari kantong sakunya.
Jika kita amati secara detail, kaum laki-laki yang paling banyak mengkonsumsi perihal tersebut. Herannya hal itu dianggap biasa-biasa saja, wajar, dan legal. Ada yang kemudian mengatakan hal tersebut merupakan fitrah kaum lelaki. Dinilai dari hukum agama saja dapat dikatakan bahwa hal itu bertentangan, dan tidak dilegalkan. Namun gara-gara sudah men-tradisi maka kesemuanya menjadi sebuah kebiasaan yang dalam prakteknya justru dilestarikan. Sejatinya bukan bermaksud untuk tuding menuding, namun hal ini bertujuan untuk mengangkat akar permasalah sekaligus faktor-faktor pendukung lainnya, yang didapatkan dari sebuah kebiasaan tadi.
Jika budaya mengumbar sensualitas perempuan dianggap biasa oleh beberapa kalangan, namun saya yakin para pembaca menganggapnya sebagai sebuah pelecehan. Disinilah letak problematikanya, ketika sebagian wanita merasa sangat dilecehkan dengan maraknya budaya tersebut, namun sebagian yang lain justru merasakan sebuah kebanggaan tersendiri. Karena sisi-sisi keindahan wanita mulai dihargai oleh publik.
Dalam kajian sastra misalnya, fenomena yang banyak menjadi perhatian para pengkaji sastra perempuan beberapa tahun yang lalu adalah tema-tema seks, gay, dan kelainan kelamin. Wacana dan forum diskusi dengan tajuk utama sensualitas wanita ini menjadi perbincangan hangat yang tak kunjung habis. Pastinya, trend semacam ini semakin membahana sejak diprakarsai oleh Ayu Utami dengan Saman, yang kemudian dilanjutkan oleh para penulis wanita lainnya, katakanlah Djenar Meisya Ayu, Dewi Dee Lestari, Herlienatiens dan masih banyak lagi. Awalnya, pengangkatan tema seputar sensualitas wanita bertujuan untuk mengusung upaya pembebasan dari sistem patriarkhal, namun ternyata kenyataan berkata lain, bahwa membincang masalah ini menjadikan persoalan wanita semakin tidak berkembang, yang dibahas hanya berputar masalah sensualitas dan seks, seakan-akan wanita tidak punya kelebihan lain yang patut digali dan kemudian dikembangkan. Animo yang muncul kemudian adalah, ketika terlintas nama perempuan maka yang pertama kali hadir adalah wacana sensualitasnya. Apakah wanita dilahirkan hanya untuk diekploitasi dalam hal sensualitas? Saya rasa Tuhan tidak sekejam itu terhadap makhluk yang bernama wanita.
Menelisik diskursus kewanitaan dengan menggunakan pendekatan psikologi wanita sejatinya memang dilematis. Kita tidak bisa mengklaim suatu hal tanpa mempertimbangkan individu yang lain. Apalagi terdapat segudang faktor pendukung, misalnya ekonomi, adat, agama dsb. Sengaja penulis hadirkan perbincangan ini tanpa jauh menganalisa melalui sudut teologi, karena penulis yakin pembaca sudah mempunyai kapasitas yang cukup untuk membandingkan hal tersebut dengan doktrin-doktrin keagamaan.
Terlepas dari isu hangat mengenai UU Pornografi yang marak akhir-akhir ini, hal lain yang perlu digaris bawahi adalah soal kerugian. Tanpa diragukan, wanita akan dijadikan objek utama demi terwujudnya beberapa kepentingan. Menjamurnya praktek prostitusi, dan trafficking (penjualan wanita ilegal) yang hampir ada di setiap kota adalah bukti nyata sebagai pelanggeng dari pada devisa kabupaten, kota-kota besar, bahkan sebagai devisa negara. Keuntungan ekonomi yang diraih pihak pengelola dapat mencapai hasil yang berlipat tanpa sedikitpun memperhatikan kesejahteraan dan keamanan si korban (baca; wanita). Maka tak heran jika pemerintahan setempat sampai saat ini gagal dalam menindak lanjuti pelayanan prostitusi yang jelas-jelas merusak masyarakat. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kepentingan ekonomi-lah yang menurut penulis banyak merugikan etika dan budaya sosial.
Beranjak dari faktor ekonomi yang kemudian dilestarikan, maka tak heran jika selanjutnya budaya semacam ini menjadi wajar adanya. Ekonomi kemudian dijadikan tameng utama untuk melegitimasikan hal tersebut. Seakan-akan semua kepentingan baik pribadi maupun golongan berlindung dibawah bayang-bayang ekonomi. Karena menjadi hal yang wajar, maka sudah semestinya merebaknya isu sensualitas semakin tak terkontrol, parahnya doktrin-doktrin agama layaknya sebuah teks mati. Sama sekali tidak berpengaruh, bisa jadi karena agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak mempunyai kepentingan konkret yang menjanjikan.
Apapun hukumnya, ternyata masyarakat Indonesia belumlah jera. Hukum agama yang transenden sekalipun masih dianggap biasa-biasa saja. Entahlah, apa jadinya nanti jika UU pornografi tidak berhasil di goal kan. Akankah wanita masih terus merasa bangga atas apa yang dimilikinya, ataukah merasa risih dan tersiksa sebagai kaum yang selalu dijadikan objek sensualitas?.
Comments