Skip to main content

Dilema Wanita Timur


by : Maria el Fauzy

Diakui atau tidak, isu-isu perempuan beserta fenomena yang menjangkit belum mendapatkan perhatian proporsional dari pemerintah, terlebih di Indonesia sendiri. Padahal jika kita telusuri, telah banyak berdiri berbagai foundation yang menalangi problematika tersebut, semisal WCC (Woman Crisis Center) dan yang lain. Terbukti dengan adanya peningkatan kriminalitas terhadap perempuan, semuanya adalah wadah budaya kekerasan. Maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa ideologi produk zaman pencerahan (Renaissance) telah gagal memberikan jaminan kehidupan aman dan sejahtera bagi manusia. Boleh jadi karena ideology telah terlepas dari ketergantungannya terhadap nilai-nilai spiritual yang transenden dan tak terpikirkan. Sangat ironis memang, dalam masyarakat modern yang dibangun atas prinsip rasionalitas, demokrasi, humanis kekerasan justru merajalela.

Pembahasan ini lebih banyak diminati oleh negara-negara sekuler dengan kondisi penduduknya yang relative 'kota' (urban phenomenon). Fenomena perkotaan akan lebih kompleks dibandingkan dengan kondisi pedesaan, seiring dengan budaya tawakal, pasrah dan sabar yang terus menerus terpatri dalam kehidupan wanita tradisional. Namun, hal inipun ketika dipandang dari dimensi lain merupakan hal yang positif.



Diskursus yang semakin tambah subur ini sejatinya berawal dari makna 'kebebasan' (freedom). Yaitu, kebebasan yang dimiliki setiap manusia tanpa ditilik dari jenis kelamin, strata sosial maupun agama. Propaganda HAM (Hak Asasi Manusia) yang sering didengungkan merupakan pemberian Tuhan, tanpa sedikitpun campur tangan manusia atasnya. Namun, jika pada suatu ketika mengharuskan manusia untuk bergabung adalah sebuah kenyataan. Al- Ghazali dalam "Hujjat al- Islam", tokoh pertama sebelum Imam Syatibi dan Izzuddin bin Abdussalam, mencoba merumuskan ide normatife secara lebih eksplisit mengenai lima perlindungan hak dasar manusia; yaitu perlindungan dalam beragama, berpikir, masalah keturunan, harta dan pribadinya. Perwujudan dalam hal ini mengakomodasi kepentingan semua pihak yang sama-sama sebagai makhluk Tuhan.

Ketika mengangkat terma ini, maka tidak akan lepas dari realitas kekuatan social, ekonomi, politik, agama dan tradisi dalam sebuah negara atau regional tertentu. Wanita Barat akan sangat berbeda kulturnya dibandingkan wanita Asia yang cenderung berpegang teguh terhadap tradisi dan religi. Apalagi peran sebuah agama, yang diakui memberikan persenan lebih terhadap kontinuitas dan aktivitas wanita.

Di Barat, problematika gender lebih bersifat metropolis artinya kedudukan wanita harus sama dengan lelaki dalam segala dimensi kehidupan, terlebih yang berhubungan dengan gaji, pekerjaan dan kedudukan public, pun dapat dikatakan lebih angkuh dan radikal dibandingkan terma-terma gender yang diusung di Timur, khususnya Asia. Secara essensial, propaganda yang didengungkan kaum feminis menyangkut perihal yang bersangkutan dengan wanita, maka sudah menjadi kewajiban kaum feminis untuk tetap memperjuangkan ketika kehidupan pribadi perempuan diusik dengan mengatasnamakan kekuasaan, hak dan kewajiban. Berangkat dari hal ini, maka seluruh pemikiran dan system apapun yang melegitimasi praktik diskriminasi, marginalisasi, misoginis dan penindasan oleh dan terhadap siapapun harus ditolak demi agama dan kemanusiaan.

Mainstreaming yang bergerak maju mundur mengenai perempuan tidak dapat begitu saja lepas dari norma-norma agama. Korelasi yang dibangun antara keduanya dapat menimbulkan kesalahan persepsi apabila tidak diteliti dan dikaji ulang. Hasil interpretasi teologis yang berbias gender dapat dikatakan juga sebagai factor terciptanya budaya patriarkhi, hal ini telah tercatat oleh sejarah peradaban manusia sejak masa lampau. Artikulasi kekuasaan hierarkis laki-laki terhadap perempuan dianggap sebagai keputusan Tuhan yang tidak bisa diganti, sehingga mau tidak mau, atas nama agama, wanita dapat diperlakukan secara tidak adil. Argumentasi yang paling sering didengungkan adalah dalil Qur'an yang berbunyi " Kaum laki-laki adalah Qawwamuun atas perempuan…" [QS. Al-Nisa' 4:34]. Semua mufassir masa klasik maupun modern mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung jawab, penguasa, pelindung, dan yang sejenisnya. Tugas ini diamanatkan kepada laki-laki karena dianggap memiliki kelebihan dibandingkan perempuan. Dengan demikian, hierarki kekuasaan laki-laki atas perempuan telah mendapat legitimasi teologis.

Dilihat dari konteks, ayat ini menjelaskan hierarki laki-laki atas perempuan hanya dalam lingkup domestic (rumah tangga), namun sebagian ulama menggeneralisasikannya dalam lingkup yang lebih luas, dalam urusan social dan politik. Konsekuensi pandangan ini sangat jelas ketika teologi patriarkat terus berkembang dan menjadi istilah bagi semua system kekeluargaan maupun social, yaitu bahwa peran-peran wanita dalam dunia public dan wilayah domestic menjadi tersubordinasi oleh laki-laki.

Dalam system 'negara' nya, laki-laki dipandang mempunyai hak preogratif atas anak-anak secara khusus istrinya. Ia juga memiliki kekuasaan untuk mengatur segala hal yang ada di dalamnya, dan secara eksklusif ia juga dibenarkan melakukan tindakan-tindakan represif, jika memang diperlukan untuk menjaga stabilitas keluargannya. Asumsi semacam ini juga mendapat legitimasi dari Al- Qur'an, yaitu " perempuan-perempuan (istri-istri) yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka berilah nasehat yang baik dan biarkan mereka di tempat tidur dan pukullah…" (QS Al- Nisa' 34). Nusyuz oleh ahli tafsir diartikan sebagai kedurhakaan dan ketidaktaatan istri terhadap suaminya. Kondisi seperti ini dianggap sebagai gangguan terhadap stabilitas kaluarga yang jika dibiarkan akan dapat merusak integritas rumah tangga mereka. Kedurhakaan di sini dapat pula diartikan dengan ketidaktaatan istri, terutama menyangkut hak-hak reproduksi perempuan. Hadist Nabi antara lain menyatakan, "Jika suami mengajak istrinya berhubungan seks, lalu menolaknya dan oleh karena itu suami menjadi marah, maka ia akan mendapat laknat dari malaikat sampai pagi". Mayoritas hadist ini dimaknai secara tekstual, apa adanya, tanpa mengkajinya secara substansial dan kontekstual. Maka dapat dipastikan bahwa posisi kemerdekaan istri menjadi terancam. Ini juga berarti secara teologis pemaksaan dan kekerasan mendapatkan legitimasinya. Apakah jika demikian, akankah para suami tetap berkemauan tanpa memikirkan kesehatan dan psikologi istri saat itu? Seharusnya ihwal ini lebih penting untuk dipertimbangkan dan dipikirkan, karena bagaimanapun kesehatan ibu juga akan berimbas kepada keturunan dalam keluarganya.

Masih banyak, bahkan hingga saat ini penafsiran ayat baik al- Qur'an ataupun hadist yang berbias gender. Pengupayaan yang dilakukan kaum wanita Indonesia terhadap sesamanya mulai digalakkan, yaitu mencoba mengkaji ulang dan meneliti ayat-ayat tersebut kemudian mulai mensosialisasikannya, khususnya di pesantren-pesantren tradisional. Terpatrinya doktrin patriarkhi di daerah-daerah, di sebabkan oleh stereotip miring atas penafsiran kitab klasik sebut saja ' Uqud al- Lujjaiyn, karya Muhammad Ibnu Umar Al- Banteny al- Jawy. Kitab ini sarat akan ketidak adilan jender dalam hubungan antara suami dan istri, maka dengan ini, ideology patriarchal semakin terlembagakan. Metode ta'liq wa takhrij atas hadist-hadist Nabi juga mulai digerakkan, bahkan ditemukan sekitar 26 hadist dla'if, 36 hadist maudlu'i dari sekitar 120 hadist yang ada didalam Kitab ini. Dan dapat dipastikan bahwasannya hadist-hadist tersebut sangat mustahil dijadikan argumentasi atas ketidak otentikannya.

Dari uraian diatas tampak jelas bahwa persoalan paling substansial mengangkat kekerasan terhadap wanita adalah adanya pemahaman teologis yang menganggap bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah. Atau dalam bahasa lain, hierarki kekuasaan laki-laki yang dianggap atau diyakini bersifat kodrat, fitrah, dan bukan karena alas an sosiologis ataupun cultural yang tentu saja kontekstual dan bisa dirubah. Karena keyakinan seperti ini dengan sendirinya merupakan melanggenga system diskriminasi terhadap makhluk yang bernama perempuan.

Comments

Langkah Pertama said…
gw tetap suka sama Wanita timur...

Popular posts from this blog

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban