
Melawan tradisi sejatinya memang menantang, terlebih ketika tradisi tersebut berada dibawah otoritas teologi atau social masyarakat. Sedikit berkaca terhadap kisah beberapa abad yang lalu, Galileo Galilei seorang ilmuan kenamaan yang mengakhiri masa hidupnya di tiang gantungan, sebagai akibat dari penemuan terbarunya ketika melawan tradisi gereja. Perihal seperti itulah yang banyak menumbuhkan sikap 'fobia' beberapa kaum intelektual disaat hendak mengusung hal baru yang melawan arus atau tradisi setempat.
Dalam ranah teologis, tradisi bukanlah diciptakan masyarakat hanya untuk mengatur kehidupannya semata, namun hal tersebut merupakan perwujudan dari sikap yang harus ditempuh untuk lebih dapat memfokuskan diri dalam menjalankan aqidah, ibadah, olah pikiran dan berprilaku yang sesuai dengan etika agama. Sebuah upaya yang seharusnya patut dihargai, dalam rangka menciptakan keharmonisan nilai-nilai agama dan kehidupan bermasyarakat.
Budaya sebagai hasil konstruksi masyarakat setempat, yang kemudian mendapati kesepakatan secara bersama dan mulai diberlakukan, paling tidak akan melahirkan sebuah konsekuensi dimana masyarakat wajib mengikutinya. Komunitas masyarakat (civil society) yang termasuk didalamnya laki-laki dan perempuan, dituntut untuk selalu menghargai dan menghormati tradisi setempat meskipun terkadang tidak bersepakat. Jika direnungkan kembali tata cara busana Islami yang diberlakukan bukan hanya formalitas belaka, tetapi berdasarkan pertimbangan terhadap kondisi dari masing-masingnya guna menjaga keluhuran akhlak, pemeliharaan terhadap diri sendiri dan merefleksikan rasa malu yang itu merupakan keutamaan manusia yang paling tinggi.
Selain dari pada itu, faktor lingkungan (environment) merupakan kontributor terbesar dalam membentuk pribadi seseorang, seperti yang dilansir oleh Max Weber pakar sosiolog dunia. Terlebih di era globalisasi, dimana masyarakat dunia akan saling berinteraksi tanpa sekat. Akulturasi budaya asing dengan budaya setempat akan melahirkan sebuah kultur baru, entah itu baik atau bahkan sebaliknya. Nah, disinilah pertahanan diri seorang wanita sangat dibutuhkan, dalam artian kepribadian wanita ber-agama. Spirit keagamaan yang tertanam kemungkinan akan luntur jika tidak dipertahankan dan diperkuat.
Mengutip perkataan Ibnu Khaldun, sejarawan klasik sekaligus sarjana Islam kenamaan, bahwa sebuah peradaban besar terlahir dari budaya membaca dan tulis menulis. Meskipun selikas terlihat sepele, namun dari sinilah akar peradaban dunia dimulai. Sangat ironis memang ketika asumsi buruk tentang wanita mulai marak bermunculan, yaitu ketika wanita hanya dianggap mumpuni dalam kehidupan rumah tangga saja. Padahal jika kita menghargai wanita dengan segala daya kemampuannya maka jangan heran jika nanti bangsa Indonesia khususnya, akan menjadi pusat peradaban dunia. Artinya, ketika seorang wanita hanya beraktivitas selaras dengan tradisi yang pasif dan tidak produktif, maka jangan bermimpi untuk menjadi Alexandria, Bagdad, Cordova yang dulunya dijadikan rujukan keilmuan dunia. Nah, hal terdekat yang akan mampu mewujudkan impian itu adalah dengan menciptakan sebuah kultur baru, yaitu cinta akan reading and writing. Sejenak kita tinggalkan dulu propaganda-propaganda yang diusung kaum feminis untuk berpartisipasi dalam ranah politik, karena yang paling utama adalah pendidikan. Penulis pribadi sepakat dengan gagasan cerdas Abduh dan Qasim Amin, bahwa pendidikan bagi seorang wanita sangatlah urgent. Karena bagaimanapun, seorang wanita atau ibu merupakan aset pendidik putra-putri bangsa yang sangat diharapkan.
Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa melawan disini bukan dalam artian yang negatif, namun lebih menuju kesebuah pemaknaan yang membangkitkan. Ketika lingkungan belum bisa sepenuhnya mendukung, maka usaha pencarian hal baru di komunitas lain dapatlah dibenarkan. Situasi semacam ini dapat kita lihat di beberapa lingkungan, yang sejatinya mahasiswi putri dapat lebih bersinergi satu dengan yang lainnya. Tidak hanya membudayakan tradisi ikut-ikutan tanpa tau asal muasal dan tujuan sebenarnya. Hal lain yang patut digaris bawahi adalah motivasi, bahwa motivasi dari diri sendiri adalah sebuah bentuk manifestasi yang paling langgeng. Yah, karena kita dituntut untuk bersikap dewasa, independent tanpa selalu bergantung kepada orang lain. Hal ini sangatlah jelas, ketika semua faktor yang mendukung dinilai sempurna, namun nihil motivasi, maka keinginan tersebut hanyalah bersifat utopis.
Disinilah sebenarnya wanita diuji, bagaimana dia dapat menggunakan akal serta emosionalnya melawan budaya dan tradisi yang pasif dan tidak produktif. Tuhan, sebagai Sang Kreator sama sekali tidak membatasi usaha manusia dalam meraih sebuah cita. Maka, perlulah kiranya kita mulai membebaskan diri untuk berpikir secara dinamis, yaitu menginsyafi bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang tetap, semuanya terus maju dan berubah. Dengan model berpikir semacam ini kita akan menjadi "progress minded" dalam menentukan sikap.
Comments