Skip to main content

Asy'ariyah, Sebuah Gagasan Berlaku Moderat

by ; Maria el Fauzy

Teologi Asy'ari yang banyak berkembang di Indonesia oleh kalangan Sunni, (baca; Nahdliyyin), dalam beberapa dekade ini banyak mengundang problematika baru, terlebih jika dikaitkan dengan situasi kontemporer sekarang. Upaya untuk selalu melegetimasikan pokok-pokok akidah dan keimanan yang dipelopori Imam Asy'ari secara kontinue lambat laun akan dihadapkan pada sebuah pergolakan baru. Polemik-polemik baru dan nyata inilah sebenarnya yang menantang keberadaan kaidah paten ala Asy'ari.

Jika dipandang dalam kerangka utuh, kita akan temukan kisah panjang ahlu sunnah yang pada awalnya sebagai ahlu hadist. Tepatnya, adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi dan sunnah sahabat. Pendapat lain menyebutkan, bahwa madzhab ahlu sunnah adalah kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Nabi dan sahabat. Nah, dalam teologi Asy'ari dan al-Maturidi inilah pokok dan ajaran Ahlu Sunnah banyak dibincangkan, bahkan lebih jauh lagi Imam Asy'ari sebagai pelopor madzhab ini mencoba mematenkan landasan dalam berakidah ala Ahlu Sunnah. Dalam wacana ini penulis hendak menelusuri perjalanan panjang konsep aswaja dalam akidah Asy'ari. Sekaligus sepak terjangnya serta clash-clash yang terjadi antara teologi Asy'ariyah dengan kaum filosof.

Berawal dari peristiwa Tahkim yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah sekitar abad II Hijriah, setidaknya telah menimbulkan berbagai corak pemikiran yang terlampau ekstrem, termasuk dalam masalah akidah yang saling bertentangan. Munculnya kaum rasionalis (baca; mu'tazili), khawarij, syi'ah dan golongan lainnya serta paham-paham mujassamah dan musyabbahah menjadikan kondisi ketika itu semakin panas dan tak menentu arahnya. Kerusuhan teologi semakin tidak terbendung, pengkafiran dan pembid'ahan antara satu dengan yang lainnya bahkan sudah menjadi tradisi.

Namun disisi lain, penalaran model logika dan filsafat Yunani mulai banyak diminati oleh beberapa dari mereka (baca; filosof dan mu'tazili). Identitas dan ciri utamanya adalah pendekatan takwil atau interpretasi metaforis terhadap nash-nash dalam Kitab dan Sunnah yang tergolong mutasyabihat. Jika dikomparasikan dengan kaum salaf, maka mereka akan lebih memilih diam dan mengembalikan sepenuhnya kepada otoritas Tuhan. Pun dalam beberapa masalah lainnya seperti, af'alu al-'ibad dan penciptaan al-Quran.

Imam Abu Hasan Ali al-Asy'ari dari Basrah hidup tepat ketika masa konsolidasi dan pembukuan paham Sunnah, sekitar tahun 260 H/873 M, maka tak heran jika didapati aroma ortodoks dalam segelumit metodenya, yaitu yang bersumber pada al-Kitab dan Sunnah. Tidak hanya itu, metode jitu lainnya yang beliau lontarkan adalah, penggunaan nalar sebagai pisau analisa sekaligus piranti, guna membela paham-paham ahlu hadist. Sebenarnya tidaklah heran ketika Asy'ari menggunakan metode logis nan dialektis dalam berargumen, dilihat dari background awalnya sebagai seorang mu'tazili. Baru diumurnya yang ke empat puluh tahun, dia mulai bergabung dengan komunitas ahlu hadist yang dipelopori Imam Hanbali. Oleh sebab inilah keberadaan Asy'ari pada awalnya belum dapat diterima secara lapang oleh kaum hadist. Namun, dalam beberapa loncatan selanjutnya teori kalam Asy'ari mendapatkan posisi yang dapat dikatakan cukup memuaskan, meskipun hingga saat ini masih banyak polemik yang saling bersautan.

Jelaslah seperti apa yang tertulis diatas, bahwa dalam teologinya Imam Asy'ari menempatkan logika aristhy pada posisi sekunder setelah nash Qur'an dan Hadist. Posisi tengah yang diambil Asy'ari sangatlah tepat, yaitu sebagai penghubung antara kaum tekstualis (hanbali) dan rasionalis (mu'tazili). Sehingga dengan metodenya yang 'tengah-tengah', menjadikan paham ini dapat dengan mudah diterima oleh khalayak umat Islam. Terlebih disaat Al-Baqilani (1103 M), Juwaini (1028 M), dan Ghazali (1058 M) mulai tampil ke permukaan. Dengan kepiawaian berargumen ala Ghazali serta prilaku zuhudnya, menjadikan rumusan teologi ini dirasakan mantap sebagai landasan akidah bagi kaum Sunni, yang seolah-olah tidak dapat diganggu gugat lagi. Berangkat dari titik poin inilah, sehingga paham Asy'ari dipandang moderat. Terlebih jika dibandingkan dengan mu'tazili yang lebih mendahulukan posisi 'aql dari pada naql, dan sebaliknya kaum tekstualis yang sama sekali mengingkari keberadaan 'aql sebagai landasan pengetahuan agama.

Al-Subki dalam Thabaqatnya pernah mengatakan, " Ketahuilah bahwa Abu Hasan Al-Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf dan menghidupkan ajaran-ajaran Rosul". Dari statement diatas dapat disimpulkan bahwa kepastian hubungan antara Asy'ari dan kaum salaf sangat terlihat jelas, terutama dalam konsep baru-nya, yang teringkas dalam tiga point utama ; 1) Bahwasanya al-Qur'an adalah KalamuLLah, dan bukan makhluk. 2) Bahwa kaum beriman akan dapat melihat Allah di akhirat. 3) dan Allah bersemayam diatas arsy.

Selanjutnya, seperti yang dikisahkan para sejarawan, bahwa pada masa ini filsafat dan ilmu-ilmu yang beraromakan Yunani belum dapat diterima, bahkan cap kafir dan atheis seringkali disematkan kepada mereka para filosof. Seorang Ghazali dengan Sunni-Asy'ari-nya pun sering kali didengung-dengungkan sebagai panglima utama dalam ofensi ini, terutama serangan terhadap ideologi filosofis yang berseberangan dengan ideologinya. Yaitu dengan menghabiskan langkah demi langkah kekurangan filosof dan mulai membantainya dengan pola pikir Asy'ariah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjelaskan ketidakmampuan akal menggapai kebenaran. Dan sayangnya, bukan malah sebagai pencari kebenaran yang sejati.

Dalam pergumulan selanjutnya, teologi ini dihadapkan pada sebuah dialektika hebat dengan kaum filosof. Sebut saja sebagai panglimanya Ibnu Rusyd, sarjana Islam kenamaan dari bumi Andalus. Terdapat tiga point penting yang dianggap misunderstanding, dan yang menjadi argumentasi pengkafiran para filosof. Pertama adalah mengenai qudum al-'alam, Kedua, bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang bersifat parsial. Ketiga, tentang pembalasan terhadap jasad manusia disamping ruh-nya pada hari kebangkitan. Anggapan para mutakallimin, khususnya oleh Ghazali bahwa alam hadis mendapatkan lawan dari kaum filosof yang justru menyatakan bahwa alam qadim, dengan argumentasi bahwa alam secara kolektif keluar dari 'ilmuLLah' yang qadim, menuju ruang yang terikat oleh waktu (timeless). Allah yang qodim adalah penyebab adanya alam, atau dengan makna lain bahwa alam adalah akibat dari Allah yang qodim. Maka sesuatu yang qodim akan bersifat qodim.

Tetapi, pilihan para mutakalimin pun beralasan, mengenai penolakannya terhadap teori sebab dan akibat. Karena Asy'ari menganggap bahwa konsep ini akan membatasi kehendak Tuhan (iradatuLLah), dan iradah menurut Asy'ari adalah kemampuan untuk berkeinginan melakukan sesuatu atau tidak. Lagi-lagi kita akan menemukan sebuah kesalahpahaman tentang teori kausalitas Ibnu Rusyd yang dianggap nyeleweng. Menurut Ibnu Rusyd sendiri, hukum kausalitas juga termasuk ciptaan Allah, sehingga tidak akan membatasi keinginan Tuhan, karena teori sebab akibat ini adalah bentukan akal Illahi yang diciptakan Allah sendiri.

Bukan hanya dalam masalah terciptanya alam, namun teori sebab-akibat juga berlaku pada manusia. Artinya, tidak juga membatasi kehendak manusia. Erat kaitannya dengan terma "kasab" yang dirumuskan Asy'ariah, yang hakekatnya sama sekali tidak berbeda, yaitu sama-sama diciptakan Allah. Disatu sisi manusia mempunyai kebebasan dalam melakukan segala hal, tapi disisi lain semua telah ditentukan Allah, jelas merupakan suatu perkara yang kontradiktif. Maka Ibnu Rusyd pun berpendapat, bahwa manusia harus menuntut sebuah pengetahuan (ilmu), dan dari titik tolak inilah dapat diketahui mekanisme beserta struktur-struktur alam semesta yang tunduk pada hukum "sebab-akibat".

Imam Ghazali juga menolak teori sebab dan akibat dalam rangka mempertahankan nubuwwah (kenabian) dan mukjizat. Menurut nalar logis Ghazali, dengan hukum kausalitas maka kenabian bisa diperoleh siapa saja, dan otomatis keyakinan terhadap mukjizat yang diyakini sebagai justifikasi kenabian akan lenyap. Namun Ibnu Rusyd menilai bahwa justifikasi kenabian bukanlah semata-mata dari mukjizat an-sich, namun justru terletak pada kandungan syari'at yang dibawa Nabi. Yaitu sebuah syari'at yang baik, bermanfaat bagi kehidupan manusia dan rasional, maka syari'at itulah yang benar-benar diturunkan Allah kepada Nabi-nya.

Sebenarnya masih banyak lagi point-point lain dalam perdebatan sengit antara mutakallimin Asy'ariyah versus filosof, namun bisa dikatakan bahwa pusat argumentasi Asy'ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan alam raya ini ada karena diciptakan Tuhan dari ketiadaan (ex nihilo).

Asy'ariah selaku madzhab yang 'terlanjur' dinilai moderat, seharusnya-pun dapat bersikap moderat dalam menanggapi hal-hal baru yang bersentuhan dengan kawasan Ketuhanan. Tanpa meninggalkan wahyu dan akal sebagai hukum dasar dalam berijtihad, seperti halnya yang dilakukan Imam Asy'ari ketika itu. Dan terlepas dari itu semua, bahwa Asy'ari dengan segala metodenya mampu memperkokoh konsep Ketuhanan yang patut untuk diakui.

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.