Oleh: Maria Fauzi
![]() |
Malay Manuscript at Pergamon Museum |
Rasanya
baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di
Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu
tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di
belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah.
Penasaran,
saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua,
terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning
dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang
bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami.
“Salamu’alaik”,
sapa kami.
Tak
bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan
kembali lagi membaca.
“Law
samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi”?.
“Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?,
Sapa kami.
Seketika
Bapak tadi berubah menjadi ramah, dan tersenyum. Sambil bergegas untuk berdiri,
dia langsung berucap yang membuat kami berbesar hati.
“Ah, kalian dari Indonesia. Kemarilah ! banyak sekali buku-buku kami yang telah
ditulis oleh ulama Melayu zaman dahulu. Ada karangan dari Syeikh Nawawi
al-Bantani, Nuruddin Al-Raniri dll”. Kalian mau beli buku apa? Saya akan kasih
diskon nanti.
Bagi
kami para mahasiswa, pemberian diskon di toko buku merupakan sebuah angin segar
meski harga buku di maktabah ini relatif terjangkau. Saya heran, biasanya buku
lama (turats) akan dijual jauh lebih mahal dari yang lain. Namun tidak
di tempat ini. Harga buku termurah bisa didapat hanya kisaran 50 sen, atau 1
Le.
Musthofa
al-Bab Al-Halaby, begitu
kira-kira tulisan yang terpampang di depan toko. Tidak serupa maktabah lainnya
yang berjejer rapi dan bersih, maktabah ini berada agak jauh dari pusat toko
buku yang ada di bilangan Darrasah, berdekatan dengan masjid Al-Azhar. Tempatnya
sepi pengunjung dan berjejeran dengan toko-toko kelontongan Mesir. Jika tidak
teliti, kami tidak akan menemukan maktabah yang menyimpan ratusan karya
pendahulu kami, santri-santri Nusantara di Kairo.
Yah, maktabah ini memang dikenal dengan buku-buku turats.
Bahkan banyak kami temukan beberapa pengarang-nya yang berasal dari Nusantara. Hal
ini bukan hal baru, karena memang generasi ulama Nusantara pernah berjaya pada
abad 18, dengan terbentuknya komunitas yang bernama Jamâ’at al-Jawiyyin,
yang meliputi kawasan Melayu, Pattani dan Philiphina Selatan). Komunitas inilah
yang kemudian menjadi perantara keilmuan Islam hingga sampai di bumi Nusantara.
Jamâ’at
al-Jawiyyin yang berada
baik di Haramain dan Kairo ketika itu merupakan generasi dengan karya yang
cukup dikenal di seantero Timur Tengah. Masa keemasan ini ditandai dengan maraknya buku karya santri-santri
Nusantara yang menjadi rujukan di kampus Al-Azhar dan dicetak ulang. Maktabah
inilah yang kemudian paling banyak berjasa dan secara rutin menerbitkan karangan
ulama Nusantara di Kairo dan akhirnya gulung tikar di periode tahun 60-an.
***
Lama
berkutat dengan tumpukan buku-buku berdebu, membuat saya tak menyadari bahwa
beberapa dari karya-karya tersebut bertuliskan Arab Pegon. Biasanya
santri-santri lulusan pesantren traditional-lah yang mahir membaca tulisan Arab
tersebut.
Iseng, saya pun bertanya dengan Bapak penjaga maktabah tersebut untuk
membaca beberapa paragraf saja. Dengan terbata-bata, dia membaca sambil
tergelak tawa dan berusaha sekuat tenaga untuk meneruskan bacaan. Dia pun
meminta kami untuk mengartikan beberapa bacaan yang ditulis dengan Arab Pegon.
Beberapa
karangan ulama Nusantara yang cukup populer di maktabah ini didominasi
oleh buku-buku berbahasa Arab. Sedangkan
yang berbahasa Arab Pegon, meskipun tujuannya tak lain untuk merespon konteks
lokal, semakin tidak mendapatkan tempat di hati para konsumen karena hanya
beberapa orang saja yang mampu membaca. Tak heran, maktabah Musthofa
al-Bab al-Halaby ini populer hanya bagi para akademisi dan peneliti yang
jumlahnya tak seberapa.
Rasanya
eman-eman, begitu biasanya perkataan orang Jawa yang ingin menunjukkan
rasa sayang yang berarti kehilangan. Melihat buku-buku dekil, yang dikarang
oleh ulama-ulama Nusantara yang hebat, berserakan begitu saja, ingin rasanya
membawanya pulang dan dipelajari oleh generasi-generasi sekarang.
Namun
apa daya, mereka memilih untuk berada di rak kumuh itu, di tempat itu, dan di
kota itu. Mungkin dengan itu, suatu saat, nama dan ilmu mereka akan kembali
berjaya oleh anak-anak mereka sendiri, santri-santri Nusantara.
Satu
persatu tumpukan buku kuning tersebut seolah larut ditelan zaman yang semakin
modern. Seakan tak ada lagi yang ingin menyentuh dan menjadikannya sebagai buku
bacaan. Berlarut-larut saya ikut merasakan betapa sebuah apresiasi yang begitu
besar justru datang dari negri yang terletak ribuan kilometer dari bumi
Nusantara. Kemanakah para penerus itu? Lalu, apakah beda generasi lantas beda
kontribusi?
Comments