Skip to main content

Being a New Mom


Berlin, 10 Desember 2012

" A baby will make love stronger, days shorter, nights longer, bankroll smaller, home happier, clothes shabbier, the past forgotten, and the future worth living for". -Author Unknown-



Bagi wanita manapun, menjadi seorang Ibu adalah sebuah dambaan. Tak terkecuali, aku pribadi. Perasaan itu semakin kuat disaat Aurora, yang ketika itu masih bersimbah darah, bersandar dan pelan-pelan merangkak diatas dadaku. Detik itulah, rasa haru, bahagia, dan senang yang bukan main hinggap di hati kami, aku dan suami.

Aku masih ingat betul bagaimana rasanya ketika tanda-tanda kelahiran sudah dekat. “Kontraksi itu rasanya seperti nyeri haid”, kata seorang temanku. Ah, kalo cuma begitu seh aku dah biasa, batinku. Awalnya memang biasa, rasa nyeri yang kurasakan belum begitu melilit dan cekot-cekot. Baru setelah sekian jam, kontraksi asli, datang perlahan-lahan dan semakin sering. Ah, bayiku akan segera lahir. Akhirnya kami putuskan untuk langsung ke rumah sakit, namanya Augusta Victoria Klinikum, 15 menit dari rumah kami dengan menggunakan taxi. Pagi itu udara cukup dingin, namun dinginnya suhu Berlin sama sekali tak terasa olehku. Hanya rasa sakit dan sakit, yang sesekali meremas-remas rahimku. Bagaimanapun aku harus santai. Dengan mengatur nafas dan menahan sakit, dalam hati aku bergumam, “Tuhan, jika Kau berkehendak untuk memperkenankan anakku menghirup udara dunia maka permudahlah proses kelahiranku ini. Betapapun sakitnya, aku siap”. Yah,  Mama akan selalu berusaha untukmu, Nak.

Sesampainya di rumah sakit, proses yang pertama kali dilakukan adalah dengan pemeriksaan CDG. Entahlah, kepanjangan dari apa kata itu, yang pasti untuk mengetahui the baby’s heart beating dan se-intens apakah kontraksi si Ibu. Karena sempat agak panik, dokter mengingatkan agar tetap rileks disebabkan bayiku agak stress. Selang sekian menit, tiba-tiba aku merasakan seperti buang air kecil yang sama sekali tidak bisa ditahan. Mengalir deras, lagi dan lagi. Seketika itupun, aku mendadak bergetar. Ah, air ketuban sudah pecah. Itu pertanda, proses-nya akan lebih cepat. Benar saja, setelah berganti pakaian sang bidan bertanya kepadaku, “Do you wanna push?”. Tanpa panjang lebar aku menjawabnya dengan “Yes”. Rasanya, ada yang tiba-tiba mau keluar. Dan, rasanya...ah, sekali lagi aku tidak bisa menjelaskannya. Seketika itu aku langsung dibawa ke ruang khusus untuk melanjutkan proses yang terakhir, yaitu melahirkan.

Ketika itu tepat pukul 10 pagi, artinya satu jam setengah dari kedatangan kami di rumah sakit ini. Dengan ramah dan tenang, bidan itu menjelaskan bahwa si bayi masih berputar-putar dalam rahim. “Let us wait till half hour or an hour, then the baby will come out”, she said. Ketika itulah, semua bacaan tentang teori pernafasan menjelang persalinan hilang entah kemana. Jadilah aku bernafas dengan tidak beraturan, sesekali beraturan. Campur-campur rasanya, antara panik, sakit dan bertahan untuk menenangkan diri. Bersyukurlah, ada suami yang selalu ada dan setia menjaga dan memberiku kekuatan. Jam 11 kurang, rasanya sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengejan. Dengan bantuan satu dokter dan dua perawat, juga dengan beberapa kali mengejan, alhamdulillah akhirnya usaha itu tidak sia-sia. Bayi mungil yang benar-benar keluar dari rahimku menangis. Pelan, dan sangat lucu. Kemudian dokter menawarkan suamiku untuk menggunting tali pusar si bayi. Namun, rupanya dia tidak memiliki nyali untuk memotong tali pusar anaknya. Sang dokter lah yang pada akhirnya memotong tali pusar Aurora. Beberapa saat kemudian, dokter menawarkan kami untuk melihat plasenta bayi (atau ari-ari). Awalnya kami tidak mau, tapi kok penasaran juga. Akhirnya kami melihat juga plasenta itu, tempat yang telah melindungi bayiku selama sembilan bulan. Dan, ari-ari itu kemudian entah dibawa kemana. Maklumlah disini juga tidak ada tradisi pendam-memendam ari-ari bayi. Maka cukuplah kami relakan ari-ari itu entah akan dibuang atau disimpan pihak rumah sakit.
    
Sekian detik kemudian, Aurora sudah ada di dadaku. Tubuh mungilnya masih bersimbah darah. Dia sangat mungil. Saat inilah naluri keibuanku mendadak tumbuh, benar-benar tumbuh. Dia mulai merangkak pelan sekali mencari putingku. Moment ini sangat penting bagi bayi yang baru lahir, berada di dekapan Ibu menjadikannya tidak asing dengan dunia baru. Kehangatan tubuh Ibu juga sangat membantu untuk menghangatkan tubuh bayi. Tubuh mungil itu dibiarkan selama satu sampai satu setengah jam berada di dekapanku, sembari sesekali menstimulasi puting agar ASI segera keluar. Benar juga, dia sangat tanggap, seketika langsung menghisap pelan. Entah, belajar dari siapa. Lagi-lagi, keajaiban Tuhan dalam setiap proses persalinan adalah benar adanya.

Setelah satu jam berada di dekapanku, barulah aku dibawa ke ruang lain yaitu tempat rawat inap. Aurora mulai di check up awal, dan didokumentasikan pihak rumah sakit sekaligus menimbang dan mengukur tingginya. Dia juga tidak dibawa ke ruang inkubator, karena dianggap sehat dan hanya memerlukan dekapan Ibu. Tiga hari aku harus menginap di rumah sakit, bersama Aurora tanpa dipisahkan. Diberikan pengarahan awal bagaimana mengganti popok, menjaga kondisi bayi agar tetap hangat dll. Selama tiga hari itu pula kami masih dalam pengawasan dokter, tentunya dengan segala macam pemeriksaan untuk bayi dan Ibu.

Yah, melahirkan di negara orang bukanlah hal mudah. Apalagi bukan negara yang secara aktif menggunakan bahasa Inggris. Untung saja, beberapa diantara perawat dan dokter rumah sakit pasti ada yang pandai berbahasa Inggris. Dan, rata-rata dokter di Berlin selalu bisa berbahasa Inggris. Sehingga sangat memudahkanku untuk berkomunikasi dengan dokter ataupun perawatnya. Maklum saja, penguasaan bahasa Jermanku masih sangat minim.

Terhitung dari semenjak masa kehamilan, kami, aku dan suami, harus banyak bertanya dan survive untuk mengikuti beberapa prosedur pemeriksaan yang ada di Jerman. Begitu juga perihal asuransi pembayaran. Kami patut bersyukur karena semua biaya ditanggung asuransi dari pemberi beasiswa suami, DAAD. Padahal, sekali check up bisa sampai ratusan euro. Bisa pusing tujuh keliling kalau tidak di cover. Biasanya setiap datang ke dokter, kami akan disuruh mengisi formulir dan menyerahkan kartu asuransi. Sangat simple, hanya dengan begitu berapapun biaya pemeriksaan akan diganti. Meskipun ada beberapa penyakit dan ketentuan-ketentuan pihak asuransi yang menjadi pengecualian.

Sebagai negara maju, tak heran jika sistem yang ada di Jerman sangatlah bagus dan ter-integrasi. Disetiap waktu check up, calon ibu harus membawa Mutterpass (buku pemeriksaan). Dan akan diisi oleh bidan, juga dokter, semua report kesehatan dari awal kehamilan sampai akhir periksa. Sangat detail. Pada trimester pertama, akan dilakukan check up rutin urine, USG, Vaginal unter-suchung, dan kadar hemoglobin dll. Trimester Kedua, selain pemeriksaan tersebut, kami juga dianjurkan untuk melakukan Prenatal Diagnostik, mencakup Ultraschallbefund (ultrasound), Dopplersonographie, Fetale Echokardiographie dll. Dan pada trimester ketiga, ditambah dengan memonitoring CDG dan pendeteksian bakteri. 





Untuk proses persalinan, kami harus terlebih dahulu memilih rumah sakit tentunya yang terdekat dengan rumah kemudian dikonsultasikan ke dokter. Di Berlin, persalinan hanya boleh dilakukan baik di rumah sakit atau di tempat khusus melahirkan (Geburthaus). Dan pihak rumah sakit akan memberikan report tentang kondisi persalinan Ibu ke dokter kandungan masing-masing pasien. Gunanya agar dokter dapat memantau kondisi Ibu juga meminimalisir akan terjadinya malpraktek, karena komunikasi pihak rumah sakit dan dokter pribadi tetap berjalan. Hanya dengan mengirimkan pasword dan website rumah sakit, dokter kandungan kami dapat melihat kondisiku dan bayi ketika melahirkan. Dan dokter kandungan akan melakukan pemeriksaan lagi di minggu ke 6 setelah melahirkan, untuk memastikan apakah kondisi rahim ibu baik-baik saja.

Adapun untuk kesehatan bayi, kami harus mencari dokter anak termasuk dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorokan untuk memastikan indra bayi normal dan tidak ada gangguan. Dan itu hukumnya wajib. Semua hal terkait dengan kondisi bayi sangat diperhatikan disini, karena tanggung jawab bayi sepenuhnya ada di pemerintah. Sebelum kami meninggalkan rumah sakit-pun, pihak RS terlebih dahulu memastikan adakah kami sudah mempunyai midwife (Hebamme) untuk merawat bayi paska dari rumah sakit. Kalau belum kami tidak boleh pulang, karena perawatan awal pada bayi sangat penting terlebih karena aku baru pertama kali menjadi ibu. 

Di Jerman, setiap anak harus dibawah pengawasan dokter sampai umur empat tahun. Setelah melahirkan, pihak rumah sakit akan memberikan banyak informasi dasar tentang perawatan bayi juga Ibu paska melahirkan. Selain itu, disertakan juga sebuah buku kuning namanya Kinder-Untersuchungsheft, yaitu semacam buku pemeriksaan anak. Dalam buku tersebut dicantumkan kapan sang bayi atau anak harus diperiksakan ke dokter. Sehingga report kesehatan anak akan tercatat selama masa bayi sampai umur empat tahun. Dokter-pun akan dengan mudah mengetahui sejarah perkembangan kesehatan anak. Dan jika pada waktu yang telah ditentukan sang anak belum menjalani pemeriksaan, maka pihak pemerintah akan memberi teguran bahkan biasanya akan datang ke rumah. Pihak pemerintah mempunyai data lengkap tentang semua bayi yang lahir di Jerman. Database-nya canggih, sehingga setiap perkembangan anak begitu mudah untuk dipantau. Tak jarang, pemerintah akan mencarikan dokter anak bagi yang belum melakukan pemeriksaan.  


Sistem seperti ini jelas bagus dan patut ditiru. Negara benar-benar ada untuk rakyatnya. Dan akupun, sebagai pendatang, dapat mengambil banyak pelajaran dan pengalaman baru. Kelahiran putri pertamaku sarat akan cerita. Yang kelak, akan kuceritakan kembali kepada Aurora. Putri mungilku yang nunut lahir di Berlin. 
   

Comments

Popular posts from this blog

Berburu Barang Second Bareng Bule Jerman

Anda termasuk penggemar barang-barang second-hand? Jika di Indonesia budaya membeli barang second-hand dipandang sebelah mata, di Berlin justru sebaliknya. Membeli barang second-hand bukanlah hal yang memalukan bagi warga setempat. Sebagai seorang mahasiswa yang hanya tinggal beberapa tahun saja, berburu barang-barang bekas adalah pilihan. Selain hemat, juga sayang jika harus membeli furniture baru yang nantinya akan ditinggal. Jika anda di Jerman, anda dapat menemukan tempat yang paling pas untuk berburu barang bekas yang biasa dikenal dengan Flohmarkt atau Flea Market.   Pertama kali-nya saya ke Flohmarkt karena ajakan suami untuk membeli perabotan dapur. Mayoritas di Berlin, jika anda menyewa apartemen maka anda harus mengisi sendiri semua perabotan. Nah, jika anda akan meninggalkan apartemen tersebut anda juga harus mengosongkan semua perabotan. Harus bersih seperti semula. Tanpa ada gantungan apa-pun, termasuk foto-foto pajangan. Tak heran, jika anda akan melihat ban

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Catatan Dari Kairo : Toko Buku Orang Jawa Musthofa al-Bab al-Halaby

Oleh: Maria Fauzi Malay Manuscript at Pergamon Museum Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah (toko buku) orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah. Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami. “ Salamu’alaik ”, sapa kami. Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca. “ Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi ”?. “Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?, Sapa kami.