
Mengingatkanku akan Kuchuk Hanem. Nama seorang wanita pinggiran Nil yang melulu didengungkan oleh Flaubert. Ia layaknya prototipe kesuburan dan sensualitas wanita Timur yang menjadi inspirator terhebat dalam karya novel dan teatralnya. Layaknya Nerval, Burton dan Lane, Flaubert pun lebih tertarik akan pesona Timur dari beberapa objek sensualitas, termasuk pengalaman malamnya bersama Kuchuk Hanem. Cita rasa dan tarian Hanem "L'Abeille" nampak memukau, spektakuler!. Tak sebanding sedikitpun dengan pelacur-pelacur kota Paris.
Abad 18. Borjuisme Eropa semakin meningkat. Tatanan masyarakat elit terlembaga dengan apik dan elegan. Sistem pemerintahannya tersusun rapi. Dan perihal seks, telah dilembagakan pada tingkatan yang sangat tinggi. Seks, akan berbuntut pada masalah hukum, moral, politik dan ekonomi. Layaknya Indonesia, terutama untuk beberapa saat kedepan. Masyarakat akan dibuat shock oleh aparat hukum. Entahlah, kabarnya, barang siapa yang menyuguhkan dengan sengaja adegan-adegan syur akan dikenai sanksi 9 bulan-2 tahun penjara. "Tak jera!" begitulah kira-kira respon dari beberapa oknum masyarakat.
Untung, Eropa saat itu gencar berkolonial ke beberapa kawasan orient. Kisah selanjutnya, Timur menjadi tempat bagi terlahirnya anak-anak haram para kolonialis, termasuk tempat dimana orang dapat mencari pengalaman seksual yang tidak didapatkan di Eropa. Wanita Timur tak lebih dari sekedar mesin, dan sekali lagi, Wanita Timur adalah kesempatan dan peluang bagi renungan jejaka Barat. Praktis, hingga pada saatnya, "Seks Timur" menjadi komoditi asusila terlaris hingga abad 20-an. Kuchuk Hanem seperti terlahir kembali, yang kemudian dijadikan tameng inspirasi dunia seni yang katanya bernilai tinggi.
Dibelahan bumi lain, tepatnya beberapa ratus tahun silam, Yunani telah berhasil menguak sedikit celah tentang sensualitas. Peradaban pertama yang begitu gemilang. Sampai-sampai dalam hal pornografi-pun, Yunani telah menyimpan manuskrip klasik berupa tulisan mengenai Harlot. Konon dikisahkan, Kaisar Romawi Tiberius memiliki setumpuk perbendaharaan buku pornograf yang berderet rapi dalam kerajaannya. Namun pada periode modern, produsen terbesar atas lukisan dan patung pornografi beralih ke Timur, tepatnya India dan Jepang. Selebihnya, Indonesia. Bahkan, tidak hanya produsen, melainkan sebagai konsumen aktif dari prilaku dan pengumbar budaya amoral itu.
Dan sekarang, Kuchuk Hanem kembali diperebutkan, didefinisikan, hingga sejelas-jelasnya. Sampai batasan mana Kuchuk Hanem terelakan dalam mengumbar sensualitas dan nilai seninya?. Harus jelas dan detail ! begitu kira-kira permintaan pihak pers dan para pengelola media. Bisa dibayangkan, jika Aristoteles masih hidup, ia akan tersenyum melihat beberapa otak manusia diributkan oleh teori 'definisi' (al-Ta'rif) ciptaannya.
Sampai detik ini, perdebatan definisi pornografi belum menemui titik terang dan masih saling berbeda. Bagaimana tidak, lawong definisi tentang pornografi itukan relatif, tergantung pada waktu, tempat dan pribadi manusia itu sendiri terkait dengan budaya yang diyakini masing-masing warga. Tak cukup itu. Warga kemudian dibuat kebingungan, tentang siapakah yang berwenang untuk menangani kasus pornografi secara mutlak?. Sehingga tampaklah undang-undang seperti teks yang multiinterpretasi. Ditarik kesana kemari. Dan permufakatanpun semakin tipis adanya.
Kita lupakan sejenak mengenai definisi. Saatnya kita berbicara moralitas. Dunia pers kebakaran jenggot. Dituding sebagai aktor utama yang memfalisilitasi peredaran pornografi dan pornoaksi Indonesia. Teori Tanggung Jawab Sosial sebagai fungsi utama pers kembali dibidik. Terlihat sangat runyam. Dewan pers tidak tinggal diam, ia kembali mempertanyakan, apakah berbagai bentuk pornografi yang marak itu bagian dari pers Indonesia? Padahal, tabloid dan majalah liar justru yang banyak mengeksploitasi aksi-aksi cabul (obscenity). Sangat tidak objektif.
Penudingan kembali menyeruak. Ditujukan kepada pihak kepolisian yang dianggap tidak sigap dan lambat dalam memberangus asusila ini. Perangkat hukum yang pincang dihadapkan aksi pornografi yang terlampaui kronis menjadikan permintaan hati masyarakat patut dipikirkan. Yah, untuk merancang sebuah undang-undang. Betapapun itu, penggodokkan materi akan terus digulirkan sampai akhirnya matang, meskipun harus menunggu satu hingga dua tahun kedepan.
Memang, menyoal efektivitas dalam hal ini terkesan tidak realistis. Hingga akhirnya, pengaturan yang bersifat pembatasan mulai digalakkan. Sangat perlu, susunan kesepakatan universal yang diakui bahwa sesuatu itu dilarang atau sekedar dibatasi. Pembatasan peredaran media cetak yang berbau porno bagi konsumen dewasa, jam tayang yang aman dari jangkauan anak, merupakan contoh kecil dari aturan-aturan pembatasan yang lumayan realistis untuk saat ini.
Entahlah, rasanya Kuchuk Hanem kembali dijadikan objek perdebatan para pemangku kepentingan. Pun, dalam keeksotikan tubuhnya. Tak ketinggalan, para pembela perempuan mulai aktif berpropaganda untuk menolak undang-undang itu. Mungkin yang mereka pikirkan adalah nasib para Kuchuk Hanem, yang harus siap menerima hukuman ganda jika nantinya semua yang terlibat dalam penyebarluasan pornografi akan dikenai pasal. "Its not fair", jelasnya. Kuchuk Hanem harus dibela. Keterlibatannya dalam beragam keasusilaan itu sejatinya didorong oleh beberapa faktor ekonomi, keterpaksaan sosial, bahkan korban penipuan dan penculikan. Kenapa Kuchuk Hanem harus menerima dua kali kenaasan?? Semakin adilkah dunia?
Namun, Kuchuk Hanem hanya bisa diam. Tak bergeming. Ia ingin terbebaskan dari segala macam bentuk penindasan. Sungguh, dunia wanita sangat dilematis. Lain pihak, beberapa kalangan wanita juga merasa tertindas dengan pengumbaran sensualitas yang tak kunjung habis. Yah, hal itu juga patut diperjuangkan. Sampai pada waktunya, kemana undang-undang itu akan berpihak?
Comments