Skip to main content

Integration Kurs, Sebuah Upaya Untuk Mengurangi Ketegangan Berbau SARA



Minggu ini adalah minggu pertama saya kursus bahasa Jerman, setelah satu tahun tinggal di Berlin. Awalnya seh pengen kursus dari dulu. Berhubungan waktu itu harus menyelesaikan thesis di UGM akhirnya saya pilih untuk konsentrasi ke kuliah. Setelah menyelesaikan thesis, ternyata umur kehamilan saya sudah tujuh bulan yang artinya sebentar lagi akan melahirkan. Setelah melahirkan, so pasti donk bertambah sibuk karena mengurus anak saya yang baru lahir. Baru bulan Mei ini, bertepatan dengan umur anak saya yang menginjak enam bulan, saya berkesempatan untuk belajar bahasa Jerman lagi. Dengan suasana yang berbeda dari sebelumnya.

Dulu, kira-kira empat tahun yang lalu sebenarnya saya sudah pernah kursus bahasa Jerman waktu di Kairo. Meskipun baru sekitar 3 bulan atau sama dengan Level 1. Lumayan lah, sudah tau alphabet, hitung-hitungan dan percakapan pendek. Percakapan yang dipakai di dalam kelas adalah bahasa Arab. Satu kelas hanya diisi sekitar tujuh orang.

Kesempatan kursus kali ini merupakan kesempatan emas. Karena saya tidak perlu mengeluarkan uang sepeser-pun. Uang pembayaran sudah ditanggung oleh pihak pemberi beasiswa suami, yaitu DAAD. Lumayan kan, padahal sekali kursus harus mengeluarkan 150 Euro, belum termasuk diktat yang dipakai. Dari pada uangnya menguap, sekaligus mencari pengalaman baru bertemu teman-teman dari berbagai negara, saya pun dengan senang hati belajar bahasa Jerman langsung di negaranya.  

Selasa malam saya sudah mempersiapkan segala kebutuhan untuk kursus. Termasuk buku yang harus dipakai. Kebetulan di tempat kursus saya memakai buku Berliner Platz Neu. Pagi harinya, saya menuju ke tempat kursus yang ada di daerah Steglitz-Zehlendorf, lima halte dari tempat saya tinggal. Cuaca cerah dan hangat. Benar-benar hari yang menyenangkan.

Begitu masuk ruangan kelas, beberapa teman baru sudah duduk rapi. Kira-kira berjumlah 16 orang. Ada yang dari Jepang, Kroasia, Rusia, Moldova, Turki, Mesir dan masih banyak lagi. Kelas ini didominasi oleh kaum perempuan. Hanya tiga gelintir saja dari kaum laki-laki, yaitu dari Turki, Iran dan Kroasia. Saya suka sekali memperhatikan teman-teman baru saya, termasuk dari gaya bicara dan karakternya. Macam-macam, dan lucu.  

Sebut saja, Megumi, wanita paruh baya asal Jepang. Gaya khas Jepang jika berbicara masih lekat di sosok Megumi. Setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu dibarengi dengan gaya membungkuk khas Jepang. Beda lagi dengan Swathie, gadis India. Ketika di suruh menuliskan satu kalimat yang sudah kami pelajari di papan tulis, dia menuliskan dengan gaya tulisan India. Di ujung alphabet terukir liukan melengkung menyerupai huruf India. Satu lagi, Zizet, wanita asal Mesir. Namanya Zizet, tapi tertulis di lembar kertas di atas meja sebagai Zezit. Ketika ditanya oleh guru kami, “kenapa harus Zezit, kan nama kamu Zizet”?. Dia pun menjawab, “Zizet versi Arab, sedangkan Zezit versi Inggris”. Sontak kami-pun tertawa. Lucu juga kata Sang guru, kalo sebuah nama memiliki versi bahasa-nya masing-masing.   

Guru baru kami namanya Verena. Kisaran umur 50-an, tapi masih enerjik dan atraktif. Biasanya ketika belajar bahasa baru hal pertama yang diajarkan adalah alphabet. Namun, pelajaran pertama kami bukan perkenalan alphabet melainkan langsung kepada percakapan. Bagi yang sama sekali tidak mengerti bahasa Jerman, sang guru akan mengenalkan melalui alat peraga. Tidak ada yang namanya hari perkenalan di awal pelajaran. Hari pertama langsung materi, dan praktek tanpa diselingi sama sekali bahasa Inggris.  

Metode ini cukup efektif. Mendengarkan sang guru berbahasa Jerman membuat kami lebih mudah untuk mengikuti. Jika kami tidak paham, tetep akan dijelaskan dengan bahasa Jerman dibantu alat peraga. Meskipun fasih berbahasa Inggris, guru-guru kami tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Tapi sang murid boleh bertanya memakai bahasa Inggris.

Di Jerman, integration course tidak hanya belajar tentang bahasa. Perkenalan dengan budaya, kultur dan politik Jerman juga termasuk di dalamnya. Pemerintah Jerman sangat gencar mempromosikan model kursus seperti ini. Tujuan utamanya, agar para pendatang atau imigran dapat berintegrasi secara langsung dengan masyarakat Jerman pada umunya. Sehingga mengurangi stereotyping bahwa kebanyakan imigran gemar hidup berkelompok, dan tidak dapat berintegrasi dengan baik.

Ketakutan pemerintah akan munculnya kembali isu-isu yang berbau SARA juga kelompok-kelompok radikal inilah yang membuat pemerintah Jerman gencar mempromosikan integration course. Tidak hanya di Volkschule, namun kursus integrasi ini juga terdapat di pabrik-pabrik besar yang kebanyakan merekrut warga negara asing. Para istri dan keluarga pekerja akan mendapatkan fasilitas kursus dengan biaya yang terjangkau, alias murah.

Selain itu, di kampus-kampus juga banyak tersedia jasa ini bagi mahasiswa asing yang ingin mendalami lebih lanjut bahasa Jerman tanpa dipungut biaya. Pemerintah Jerman nampaknya sungguh-sungguh memberikan subsidi untuk program ini. Selain sebagai upaya meminimalisir ketegangan dan ketersinggungan yang berbau SARA, kursus integrasi ini juga bertujuan untuk mempromosikan bahasa, legal system, kultur dan politik Jerman kepada warga asing.




Comments

Popular posts from this blog

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517

Berdiri di Kota Mati, “The City of The Death”

The City of The Death. Nama inilah yang membuat saya tergoda untuk melirik dan meniliknya. Yah , kawasan ini terletak di Kairo. Tepat di jantung kota Kairo, ibu kota Mesir. Melihat namanya, seolah saya akan melihat sebuah kota yang mati, tidak berpenghuni, karena mungkin tidak difungsikan lagi oleh pemerintah setempat sebagai lokasi pemukiman penduduk. Ini merupakan perjalanan saya dua tahun yang lalu ke sebuah kawasan bernama Duwaiqoh , atau orang Mesir menyebutnya sebagai Duweah , karena huruf Qhof sering hilang pe lahfadz an-nya dalam dialek Arab 'amiyah (bahasa pasaran). Kawasan inilah yang sering dirujuk oleh banyak wisata asing, yang terlena dengan sebutan The City of The Death, atau Cairo Necropolis, atau Qarafa/ el- Arafa . Cukup mengejutkan, ternyata kawasan ini sebenarnya adalah kawasan pekuburan. Namun, pekuburan yang mempunyai banyak penghuni. Loh kok bisa? Yah, dan penghuninya bukanlah sesosok hantu melainkan warga masyarakat pinggiran Kairo, yang ma