***
Dalam sebuah laman facebook teman saya, mendadak ada banyak
sekali postingan terkait dengan keputusannya untuk berhijrah. Ia memposting
beragam video ustadz yang memberikan ceramah tentang kewajiban seorang muslimah
untuk menutup aurat. Tak lupa dengan imbuhan gambar berikut caption-nya yang
berkaitan dengan segala ancaman neraka dan juga sangsi sosial bagi para
perempuan yang tidak segera memutuskan untuk berhijab.
Hijab dalam pengertian teman saya, juga harus yang lebar dan
besar agar menjadi muslimah yang kaffah
alias ga setengah-setengah, begitu penjelasannya kemudian. Mereka yang
memutuskan untuk berhijrah, menurutnya, tak cukup hanya dengan menggunakan
jilbab segi empat ukuran sedang yang biasa dipakai sehari hari. Ia haruslah syar'i.
Transformasi hijrah yang ia pahami, harus dimulai dari menutup
aurat, itupun ditandai dengan penggunaan hijab syar'i. Dan dari hijab syar'i,
kemudian makna hijrah akan semakin paripurna jika beralih dengan penggunaan
cadar. Disini, cadar dipahami sebagai ujung dari segala rangkaian proses
berhijrah bagi muslimah. Meskipun juga tak jarang, penggunaan cadar justru
dipahami sebagai langkah awal atau penanda visual bagi muslimah yang ingin
berhijrah.
***
Di lain kesempatan, ketika jemput anak sekolah, saya iseng
bertanya kepada seorang kawan. Ia juga seorang ibu, muslim, dan kebetulan tidak
memakai jilbab. Saya mencoba membuka obrolan kami, dengan menunjukkan gambar
dari postingan instagram sebuah kajian Islami beserta captionnya yang kurang lebih
bertuliskan seperti berikut.
"Kasihan wanita yang keluar rumah tidak pakai jilbab,
dosanya terus mengalir selama dia di luar rumah".
Dibawah caption
tersebut, turut disertakan sebuah dalil yang paling sering dikutip sebagai
rujukan utama hukum pemakaian jilbab. Yaitu, Surat Al-Ahzab ayat 59.
Saya bertanya dengan sederhana, bagaimana responnya ketika
membaca caption diatas?
Tentu saja ia sangat paham bahwa pertanyaan saya tersebut tidak
bermaksud menjustifikasi atau mengintimidasi. Saya benar-benar ingin tau,
bagaimana ia, ketika dihadapkan dengan sebuah anjuran berjilbab namun memakai
redaksi yang lebih gemar menakut-nakuti dengan segala ancaman surga neraka yang
mereka imajinasikan.
Caption tersebut tidak
memiliki relevansi sama sekali dengan dalil di bawahnya. Ia bukanlah sebuah
ayat Al-Qur'an, pun juga bukan sebuah hadist yang sebenarnya jg masih harus
diverifikasi melalui Jarh wa Ta'dil.
Ia, juga bukanlah seonggok ayat yang berdiri sendiri tanpa
sebuah konteks yang melatarbelakangi. Tapi baiklah, saya tidak akan terlalu
jauh membahas dalil dan hukum jilbab. Saya lebih tertarik membahas bagaimana
kesalehan diri perempuan dipahami selaras dengan realita sosial masyarakat yang
dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bukan kesalehan visual pun artifisial yang
acapkali memenuhi beranda media sosial masa kini.
Kembali ke kawan saya tadi. Ia menunjukkan wajah sedikit kikuk,
dan dengan penuh kesadaran merespon begini.
"Aku ki ra ngerti bahasan koyok ngunu kuwi je. Ngertiku
mung siji, banyak kebaikan lain yang bisa dikerjakan. Sopo sing ngerti atine
wong. Aku yo meng husnudzon karo Pengeran, mugo² olehku lek tangi isuk masakne
keluarga sampe bengi ora leren, olehku lek ngurusi anak sampe ndrindil ngene
ki, olehku lek ngopeni wongtuaku neng omah kae, didadekne pertimbangan lek arep
ngolehi ganjaran. Aku ra ngerti, kuwi urusane Gusti Allah. Selama aku yo iso
jaga diri".
Saya manggut-manggut, seraya berkelakar dengan sedikit guyonan,
karena memang kami sedang asik berbincang akrab. Kami, masing masing pulang,
dengan pertanyaan² janggal yang menggelayuti pikiran.
***
Pulang dari sekolah, seperti biasa kami memilih untuk melewati
kampung dan area persawahan dekat rumah, karena anak² kami selalu ingin lihat
sapi di salah satu kandang di pinggir jalan.
Seorang ibu, paruh baya, terlihat sedikit kerepotan naik sepeda.
Ia menggendong balita kecil didepannya dengan selendang jarik yang sebagian
ujungnya menutupi kepala si anak untuk melindungi terik matahari siang yang
bisa² menusuk kepala si bocah. Di boncengan belakang, terlihat sebuah keranjang
lusuh berisi rantang, ceret, dan beberapa perlengkapan makan untuk dibawanya ke
sawah tepat beberapa meter depan kami.
Kebetulan ibu itu berjilbab pendek nan sederhana. Ia mengenakan
kaos pendek dan rok yang menyingsing keatas dikarenakan harus bersepeda. Imaji
cara berpakaian perempuan salehah yang diposting teman saya, dengan kostum baju
dan jilbab syar'i sebagai simbol
berhijrah dan kesalehan, seketika menyeruak. Juga, tentang caption dari postingan instagram milik sebuah kajian keislaman
diatas yang mengatakan bahwa perempuan keluar rumah tanpa jilbab maka setiap
langkahnya dipenuhi dosa. Betapa sedihnya saya membayangkan nasib ibu tersebut,
jika narasi keagamaan nampak begitu mengerikan.
Dalam hati, saya bertanya, ditujukan kepada siapa sebenarnya
rentetan dalil tak berkonteks yang ada di beranda² kajian Islami tersebut?
Apakah potret wanita salehah adalah mereka dengan semua atribut yg berbau syar'i? Apakah hanya mereka yang berhak
membaui surga?
Jika imaji salehah haruslah demikian, lantas bagaimana nasib ibu
tadi yang tidak memakai baju tertutup seperti yang diimajikan mereka yang kerap
mereduksi nilai² agama melalui simbol² artifisial? Bagaimana nasib kawan saya
yang dengan sabar mengurus keluarga sendiri dengan orang tua yang sakit di
rumah, sedangkan ia tak berjilbab? Bagaimana pula nasib ibu-ibu diluar sana
yang dengan gigih berjuang dengan membawa keranjang penuh dengan dagangan sayur
mayur yang tiap hari harus berjibaku memenuhi kebutuhan keluarga yang kebetulan
tak memakai atribut syar’i?
Bagaimana nasib ibu tersebut, yang keluar rumah dengan tidak
berjilbab, untuk suatu keharusan demi mencukupi kebutuhan makan keluarganya
esok hari? Guna memenuhi kebutuhan anak-anak mereka untuk bisa mencicipi bangku
sekolah? Bekerja seharian di ladang dengan membawa balita kecil, yang tak lagi
memikirkan betapa populernya kata² hijrah yang justru menjauhkannya dari
substansi kesejahteraan keluarga, demi menghidupi titipan Tuhan? Apakah harus berjilbab
untuk membayar segala penat, lelah, tanggungjawab seorang ibu untuk mendapatkan
ganjaran?
Kesiapa sebenarnya dalil² tersebut ditujukan? Apakah hanya untuk
perempuan urban, perempuan muslimah kelas menengah, yang sanggup membeli
puluhan atribut dan simbol² keagamaan lainnya tanpa berfikir keras tentang
bagaimana mereka makan untuk esok?
Potret kesalehan perempuan muslimah sudah sedemikian
dikapitalisasi, dan direduksi oleh mereka yang gemar menafsirkan teks teks suci
secara bias. Dan kemudian dipopulerkan oleh ragam budaya populer, yang semakin
menjauhkan nilai agama dari realita kehidupan masyarakat pedesaan. Khususnya di
lingkungan kami.
Kuntowijoyo membahasnya dengan menjelaskan bahwa cara beragama
antara satu dan lain sektor serta lapisan sosial masyarakat punya diferensiasi,
dan juga mempunyai karakteristik yang berbeda pula, didasari atas kriteria
kelas sosial, umur, sex, lingkungan sosial dan budaya. Kenyataannya, uniformasi
beragama dianggap sebagai sesuatu yg ideal.
Apakah konsep beragama secara kaffah yang dipahami komunitas hijabers, para niqab squad, ibu-ibu
kekinian nan syar'i, akan sama dengan
pemahaman kaffah bagi ibu dengan sepeda sembari menggendong balitanya tadi?
**
Hadirnya media baru menjadi salah satu faktor penting bagaimana
pengertian hijab sebagai simbol agama lambat laun mulai berubah. Hal ini juga
ditunjang oleh bergesernya otoritas keagamaan dari teks-tradisionalis menuju
popularitas relasional.
Oleh otoritas² baru inilah, hijab kemudian kerapkali ditafsirkan
secara literal yang tak punya relasi dengan kehidupan sehari² masyarakat
sekitar. Ia ditafsirkan dengan bentuknya yang tunggal, tanpa melihat konteks
sejarah juga kondisi sosial budaya.
Upaya
penyeragaman cara beragama masyarakat hanya akan menghasilkan agama yang tidak
dapat dimaknai secara menyeluruh. Tercerabutnya agama dari simbol-simbol yang
justru lebih populer hanya akan mereduksi agama itu sendiri. Karena selain
mempunyai dimensi keatas, agama juga mempunyai dimensi kebawah yaitu sosial
ekonomi. Artinya, ketika agama tak mampu diterjemahkan dalam bahasa kemanusiaan
sehari², ia layaknya sebatas simbol tak bernilai.
Wallahu a’lam,
Jogjakarta
Comments