Skip to main content

Memori Masjid Putih Granada







Namanya Calle Espaldas de San Nicolas. Sebuah jalan tepat di puncak pemukiman Albayzin. Gang yang sempit, teduh, berbatu dan menanjak menjadi ciri khas perkampungan ini. Terkesan agak kumuh jika dibandingkan dengan Grand Via, jalan utama yang menghubungkan antara Albayzin dan Alhambra. Ibarat masuk ke dunia lain, distrik ini memberi kesan klasik khas Maghribi yang begitu kental dibandingkan kawasan lain di Granada.

Abad 16, pasukan Kristen membangun sebuah gereja San Nicolas di jalan ini. Tempatnya persis di seberang istana Alhambra. Di depan gereja, merupakan sebuah pelataran populer yang dikenal dengan Plaza Mirador San Nicolas. Jika sore hari, ratusan pengunjung akan memadati kawasan ini untuk menikmati warna merah menawan Alhambra di waktu senja dan malam hari.

Misteri Menara Putih

Sekilas, saya melihat menara putih diujung jalan ini seperti menara gereja. Apalagi jika dilihat sebelum tanjakan terakhir menuju gereja San Nicolas. Hiasan kaligrafi di ujung menara nampak samar-samar jika tidak dilihat dengan seksama. Saya mengira menara itu merupakan tempat lonceng gereja yang sesekali suaranya terdengar di telinga.

Ternyata, perkiraan saya salah. Menara putih, menjulang tinggi berada tepat diujung jalan Calle Espaldas de San Nicolas merupakan sebuah masjid. Agar lebih yakin, saya pun bertanya kepada pemudi penjual pernak-pernik Gipsy yang bertebaran di sekitar Plaza ini. “Ya, itu masjid. Kamu bisa kesana kalau mau sholat”. Selesai berucap Gracias, saya pun langsung bergegas menuju masjid untuk melaksanakan sholat Ashar.  

Gerbang pintu masjid tak begitu lebar. Tertera di dinding pembatas gerbang sebuah tulisan “Mezquita Mayor de Granada” atau Masjid Jami’ Granada. Terlihat sepasang tourist juga memasuki masjid ini. Begitu masuk gerbang, kesan damai, rindang, dan tenang seolah hendak menyapa kami. Kontras dengan suasana riuh gemuruh ratusan wisatawan yang berada di pelataran gereja.

Taman berukuran kecil menghiasi pelataran masjid. Air mancur di tengah taman seolah ingin memecah keheningan sore menjelang Magrib. Hening sekali. Nampak seorang bule, memakai pakaian yang sangat rapi, berdiri di depan pintu masuk masjid. Namanya Rashid, berasal dari Barcelona. Ternyata dia merupakan penjaga masjid Jami’ Granada. Sambil bercakap-cakap sebentar, dia kemudian membukakan pintu masjid dan memberi sedikit arahan dimana harus berwudlu serta tempat sholat khusus wanita.

Sejenak sebelum masuk masjid, saya berdiri merenung sembari menghadap ke istana Alhambra. Rasa-rasanya masjid ini bukan sebatas bangunan biasa untuk beribadah, namun lebih dari itu. Bangunan ini seperti mempunyai ruh, sehingga mampu mengembalikan romantisme kegemilangan peradaban muslim Andalusia ketika itu. Meskipun, nyatanya, Granada sekarang bukanlah Granada beberapa abad silam.        

Romantisme Sejarah

Bagi masyarakat muslim Granada, tahun 2003 adalah momen terpenting. Terlebih bagi mereka yang hidup di perkampungan Albayzin. Suara Adzan kembali terdengar dari tempat yang dahulunya merupakan pusat pemukiman Muslim Andalusia, beberapa abad silam.

Lima abad, identitas Muslim dan semua yang berbau Arab, baik bahasa, tradisi, makanan sampai baju, dilenyapkan oleh pasukan Kristen. Namun, dengan berdirinya masjid ini, seakan semua-nya kembali. Masjid inilah yang kemudian menjadi simbol pertama keberadaan kaum muslim di Granada sejak 1492.

Setelah hampir 22 tahun, melalui bermacam kontroversi dan penolakan dari pemerintah Granada, masjid putih dengan arsitektur gabungan antara Mezquita di Cordoba dan Masjid Al-Aqsa di Jerussalem kembali berdiri kokoh. Sekarang, lantunan adzan “Allahu Akbar” kembali terdengar dari puncak bukit Albayzin. Membahana, menembus sekat-sekat pemukiman sempit sampai ke istana Alhambra.

Saya seakan terhanyut oleh alunan sejarah masa lalu ketika berada di masjid ini. Terutama ketika membaca sebuah majalah dinding yang bercerita mengenai sejarah masjid jami’ Granada. Memori umat muslim Granada yang telah mengakar selama delapan abad di Semenanjung Iberia seolah terkubur dan hampir musnah.

Identitas sebagai muslim sengaja disembunyikan untuk mendapat pengakuan sebagai warga negara Spanyol selama bertahun-tahun. Sampai ketika masjid ini secara resmi didirikan atas sebuah gagasan dari Syeikh Abdulqadir Al-Sufi, pendiri Murabitun World Movement. Ia lahir di Scotlandia tahun 1930, dan resmi menjadi mu’allaf di tahun 1967. Selain masjid Granada, Syeikh Abdulqadir al-Sufi juga membangun dua masjid lainnya yaitu, masjid Ihsan di Norwich Inggris dan Masjid Jum’ah di Capetown.   

Sebenarnya di Granada terdapat dua masjid yang cukup representatif untuk mewakili suara kaum muslim disana. Pertama masjid jami’ Granada ini dan masjid Al-Taqwa yang terletak di dekat pusat kota, tepatnya di Calle Plaza de Correo Viejo. Kegiatan keagamaan justru terlihat ramai di masjid Al-Taqwa. Pengajian rutin Fiqh Maliki digelar setiap seminggu sekali. Siapa saja boleh datang dan mengaji.

Berbeda dengan Masjid Jami’ Granada, yang hanya dipakai secara umum untuk sholat Jum’at. Selain itu, harus terlebih dahulu izin kepada penjaga masjid ketika hendak melaksanakan sholat. Dan dengan senang hati dia akan membukakan pintu masjid.

Arsitektur Masjid

Karpet berwarna merah tua membentang menutupi hampir semua lantai masjid. Tebal dan halus. Nyaman sekali. Saya perhatikan, arsitektur masjid sudah sangat modern. Hanya, lampu-lampu gantung khas Maghribi yang masih menyisakan kesan klasik. Sekilas, bentuk mihrab masjid ini menyerupai Mezquita Cordoba, namun didesain lebih sederhana. Warna emas mendominasi kubah mihrab lengkap dengan kaligrafi dan dekorasi berbentuk geometri.  

Ruang inti masjid cukup luas untuk menampung sekitar ratusan jama’ah. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga menawarkan program kursus Bahasa Arab, baik bagi Muslim atau non-Muslim. Saya melihatnya dari selebaran kertas yang tertata rapi disamping pintu masuk masjid. Selain itu, masjid ini juga dijadikan sebagai pusat kajian Islam yang bertujuan untuk mengenalkan peradaban Islam yang toleran dan moderat. Ruangannya terpisah dengan bangunan masjid, tepatnya berada di lantai bawah. Hall ini terdiri dari perpustakaan, ruang kelas dan ruang konferensi.  

Renato Ramirez Sanchez, sang arsitek, membagi kawasan masjid ini menjadi tiga bagian utama. Terdiri dari ruang inti masjid, cultural centre, dan taman. Secara keseluruhan, saya perhatikan, bangunannya mirip dengan struktur gereja di distrik Albaicin. Berupa bangunan persegi, sederhana dan berwarna putih.

Namun, jika ditilik sejarahnya, gereja-gereja tersebut dahulunya  merupakan sebuah masjid yang dialihfungsikan. Hanya dipoles di beberapa bagian untuk menghilangkan identitas Moorish. Paduan antara arsitektur Islam dan Kristen awal abad 16 inilah yang kemudian dikenal dengan model Mudejar.  

Yang paling mencolok dari masjid ini adalah menara putih bergaya Mudejar dan terlihat menjulang tinggi diantara bangunan lainnya. Dihiasi dengan kaligrafi Arab Kuffic, seakan ingin mempertahankan identitas asli yang memang sudah mengakar di distrik Albayzin. Sang imam harus menaiki sekitar 59 tangga untuk sampai ke menara. Lantunan adzan dari menara ini akan langsung sampai ke Alhambra, istana termegah yang pernah dibangun umat Muslim di benua biru, Eropa, beberapa abad silam.

Sekarang, Masjid Jami’ Granada menjadi rumah bagi sekitar lima ratus muslim yang berada tak jauh dari distrik Albayzin. Kehadirannya digambarkan sebagai kembalinya peradaban Muslim di Granada. Bukan untuk mengambil kembali kekuasaan, namun untuk menyuarakan bahwa mereka juga termasuk warga negara Spanyol yang selama ini diasingkan.










Comments

Popular posts from this blog

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517

Berdiri di Kota Mati, “The City of The Death”

The City of The Death. Nama inilah yang membuat saya tergoda untuk melirik dan meniliknya. Yah , kawasan ini terletak di Kairo. Tepat di jantung kota Kairo, ibu kota Mesir. Melihat namanya, seolah saya akan melihat sebuah kota yang mati, tidak berpenghuni, karena mungkin tidak difungsikan lagi oleh pemerintah setempat sebagai lokasi pemukiman penduduk. Ini merupakan perjalanan saya dua tahun yang lalu ke sebuah kawasan bernama Duwaiqoh , atau orang Mesir menyebutnya sebagai Duweah , karena huruf Qhof sering hilang pe lahfadz an-nya dalam dialek Arab 'amiyah (bahasa pasaran). Kawasan inilah yang sering dirujuk oleh banyak wisata asing, yang terlena dengan sebutan The City of The Death, atau Cairo Necropolis, atau Qarafa/ el- Arafa . Cukup mengejutkan, ternyata kawasan ini sebenarnya adalah kawasan pekuburan. Namun, pekuburan yang mempunyai banyak penghuni. Loh kok bisa? Yah, dan penghuninya bukanlah sesosok hantu melainkan warga masyarakat pinggiran Kairo, yang ma