Pada bulan inilah, persiapan
fotocopy pasport dan kartu mahasiswa sudah barang tentu menjadi bawaan wajib
yang harus terus dibawa kemanapun akan pergi. Siapa tau, rezeki itu akan dibagi-bagi
serba dadakan, bisa di pasar, di halaman rumah, atau di jalan raya. Tak jarang
bagi beberapa muhsinin pembagian emas-emas berupa sembako ataupun pecahan
Pound Mesir akan dilakukan di luar masjid.
Jika teringat hal ini, saya tak
henti-hentinya menahan tawa. Lucu sekaligus kocak. Juga terkadang memalukan. Karena
disaat inilah kegesitan dan kepiawaian seorang pelajar perantau akan diuji. Lumayan
kan untuk sekedar beli buku, atau untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari.
Masyarakat Mesir sangat dermawan
jika bulan Ramadhan tiba. Barang tentu ini berlaku bagi mereka yang memiliki
rezeki berlebih. Para muhsiniin akan berbagi zakat atau santunan kepada
mereka yang membutuhkan, termasuk kepada mahasiswa asing. Karena mereka
dianggap sebagai musafir dan penuntut ilmu.
Suatu malam setelah shalat
teraweh di masjid, kebetulan di depan asrama, saya dipanggil oleh seorang Bapak yang
baru saja turun dari mobil. Di dalamnya, sang istri sudah menyiapakan satu buah
tas berisi puluhan amplop.
"Mana teman-temanmu yang lain? Suruh mereka kesini. Saya ingin memberikan zakat kepada mereka”.
Sontak, saya memanggil beberapa kawan di dalam asrama untuk keluar. Bapak dan Ibu tadi, dengan sangat santun, memberikan satu persatu amplop kepada mahasiswa yang lewat di depan mobilnya, sambil sesekali melemparkan doa untuk kami.
"Mana teman-temanmu yang lain? Suruh mereka kesini. Saya ingin memberikan zakat kepada mereka”.
Sontak, saya memanggil beberapa kawan di dalam asrama untuk keluar. Bapak dan Ibu tadi, dengan sangat santun, memberikan satu persatu amplop kepada mahasiswa yang lewat di depan mobilnya, sambil sesekali melemparkan doa untuk kami.
Tak hanya sekali, pemandangan ini
saya saksikan berulang-ulang. Ada yang memberikan dengan bentuk sembako, ada
yang pecahan 20 Le sampai 50 Le. Macam-macam. Bahkan ada yang memberikan 25
kilo beras. Fantastis.
Yang membuat heboh adalah jika
tersebar kabar akan ada pembagian santunan di tempat-tempat tertentu. Di asrama
kami, kabar tersebut menyebar tak sampai satu hari, mungkin dalam hitungan
menit kabar itu sudah sampai keseluruh penjuru asrama. Benar saja, keesokan
harinya, ketika kami sampai di tempat yang dikabarkan, aduhaaaaiii
banyak sekali kawan-kawan yang sudah antri entah dari kapan. Dan,
kebanyakan memang mahasiswa Indonesia. Bikin keki dan geli.
Saya dan beberapa kawan tak
henti-hentinya tertawa. Antara malu, tapi sudah terlanjur terdaftar sebagai
penerima santunan atau musa’adah. Ah, halal ini. Kenapa mesti malu, toh
mereka juga antri.
Ada banyak macam musa’adah (santunan)
yang sengaja diberikan kepada mahasiswa asing selain di bulan Ramadhan. Santunan
ini akan diberikan sebulan sekali, biasanya berupa sembako atau uang pecahan
100 Le bagi yang sudah terdaftar. Bahkan pembagian ini langsung diambil alih
oleh PPMI atau Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia di Mesir, agar pemberian musa’adah
tersebut dapat terbagi rata.
Salah satu pemberi musa’adah
terfavorit adalah Jam’iyah Syar’iyyah atau biasa disingkat dengan JS. JS
merupakan sebuah lembaga sosial yang secara aktif memberikan santunan ke
pelajar asing. Bahkan mereka juga menyediakan program beasiswa dengan nominal
yang lebih tinggi dibanding beasiswa Al-Azhar saat itu.
Nah, ‘Kaipang’ adalah sebutan bagi mereka para pemburu santunan. Ada yang sudah level 1-3, tergantung perolehan di bulan Ramadhan tersebut. Level tertinggi dari para ‘Kaipangers’ ini sungguh lihai dan piawai. Entah dari mana mereka mendapatkan info-info tentang santunan. Hampir tiap hari di bulan Ramadhan, mereka menjadi rujukan beberapa kawan untuk bertanya dimanakah dan jam berapakah kiranya musa’adah dari para muhsisniin tersebut dibagikan. Meskipun tidak selalu benar, tapi ketua Kaipang yang satu ini tak jarang meleset. Profesional.
Sudah puluhan kisah-kisah lucu
dari beberapa teman tentang pemburuan musa’adah di Kairo. Dan
benar saja, cerita ini, meskipun sudah lima tahun yang lalu, tetap saja menjadi
bagian indah lainnya yang sulit dilupakan. Menjadi ‘Kaipang’ bukan berarti
terlilit banyak hutang. Tetapi, menjadi Kaipang sejatinya hanya untuk menimbun
memori perjalanan yang patut dikenang.
Hugs,
Comments