Skip to main content

Catatan Dari Kairo : 'Kaipang' Si Pemburu Santunan









Entah sejak kapan kata-kata ‘Kaipang’ muncul pertama kali di sela-sela aktifitas kami sebagai mahasiswa di Kairo. Dan sebutan Kaipang akan ramai dibicarakan ketika Ramadhan tiba, bulan penuh rakhmat sekaligus pembawa nikmat. Ya, khususnya bagi kami pelajar asing di negri para nabi, Mesir.

Pada bulan inilah, persiapan fotocopy pasport dan kartu mahasiswa sudah barang tentu menjadi bawaan wajib yang harus terus dibawa kemanapun akan pergi. Siapa tau, rezeki itu akan dibagi-bagi serba dadakan, bisa di pasar, di halaman rumah, atau di jalan raya. Tak jarang bagi beberapa muhsinin pembagian emas-emas berupa sembako ataupun pecahan Pound Mesir akan dilakukan di luar masjid.

Jika teringat hal ini, saya tak henti-hentinya menahan tawa. Lucu sekaligus kocak. Juga terkadang memalukan. Karena disaat inilah kegesitan dan kepiawaian seorang pelajar perantau akan diuji. Lumayan kan untuk sekedar beli buku, atau untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari.

Masyarakat Mesir sangat dermawan jika bulan Ramadhan tiba. Barang tentu ini berlaku bagi mereka yang memiliki rezeki berlebih. Para muhsiniin akan berbagi zakat atau santunan kepada mereka yang membutuhkan, termasuk kepada mahasiswa asing. Karena mereka dianggap sebagai musafir dan penuntut ilmu.

Suatu malam setelah shalat teraweh di masjid, kebetulan di depan  asrama, saya dipanggil oleh seorang Bapak yang baru saja turun dari mobil. Di dalamnya, sang istri sudah menyiapakan satu buah tas berisi puluhan amplop.

"Mana teman-temanmu yang lain? Suruh mereka kesini. Saya ingin memberikan zakat kepada mereka”.

Sontak, saya memanggil beberapa kawan di dalam asrama untuk keluar. Bapak dan Ibu tadi, dengan sangat santun, memberikan satu persatu amplop kepada mahasiswa yang lewat di depan mobilnya, sambil sesekali melemparkan doa untuk kami.

Tak hanya sekali, pemandangan ini saya saksikan berulang-ulang. Ada yang memberikan dengan bentuk sembako, ada yang pecahan 20 Le sampai 50 Le. Macam-macam. Bahkan ada yang memberikan 25 kilo beras. Fantastis.

Yang membuat heboh adalah jika tersebar kabar akan ada pembagian santunan di tempat-tempat tertentu. Di asrama kami, kabar tersebut menyebar tak sampai satu hari, mungkin dalam hitungan menit kabar itu sudah sampai keseluruh penjuru asrama. Benar saja, keesokan harinya, ketika kami sampai di tempat yang dikabarkan, aduhaaaaiii banyak sekali kawan-kawan yang sudah antri entah dari kapan. Dan, kebanyakan memang mahasiswa Indonesia. Bikin keki dan geli.  

Saya dan beberapa kawan tak henti-hentinya tertawa. Antara malu, tapi sudah terlanjur terdaftar sebagai penerima santunan atau musa’adah. Ah, halal ini. Kenapa mesti malu, toh mereka juga antri.

Ada banyak macam musa’adah (santunan) yang sengaja diberikan kepada mahasiswa asing selain di bulan Ramadhan. Santunan ini akan diberikan sebulan sekali, biasanya berupa sembako atau uang pecahan 100 Le bagi yang sudah terdaftar. Bahkan pembagian ini langsung diambil alih oleh PPMI atau Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia di Mesir, agar pemberian musa’adah tersebut dapat terbagi rata.

Salah satu pemberi musa’adah terfavorit adalah Jam’iyah Syar’iyyah atau biasa disingkat dengan JS. JS merupakan sebuah lembaga sosial yang secara aktif memberikan santunan ke pelajar asing. Bahkan mereka juga menyediakan program beasiswa dengan nominal yang lebih tinggi dibanding beasiswa Al-Azhar saat itu.

Nah, ‘Kaipang’ adalah sebutan bagi mereka para pemburu  santunan. Ada yang sudah level 1-3, tergantung perolehan di bulan Ramadhan tersebut. Level tertinggi dari para ‘Kaipangers’ ini sungguh lihai dan piawai. Entah dari mana mereka mendapatkan info-info tentang santunan. Hampir tiap hari di bulan Ramadhan, mereka menjadi rujukan beberapa kawan untuk bertanya dimanakah dan jam berapakah kiranya musa’adah dari para muhsisniin tersebut dibagikan. Meskipun tidak selalu benar, tapi ketua Kaipang yang satu ini tak jarang meleset. Profesional.

Sudah puluhan kisah-kisah lucu dari beberapa teman tentang pemburuan musa’adah di Kairo. Dan benar saja, cerita ini, meskipun sudah lima tahun yang lalu, tetap saja menjadi bagian indah lainnya yang sulit dilupakan. Menjadi ‘Kaipang’ bukan berarti terlilit banyak hutang. Tetapi, menjadi Kaipang sejatinya hanya untuk menimbun memori perjalanan yang patut dikenang.

Hugs,

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Menelusuri Situs-situs Peninggalan Mamalik

Oleh : Maria Ulfa Fauzy Banyak hal yang harus dieksplorasi lebih lanjut dalam menguak sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh nan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya yang hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonic 3200 SM, kemudian periode Hellenistic yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M. Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dihinggapi oleh beberapa dinasti kenamaan. Sebut saja dinasti Tholouniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thouloun pada tahun 868-905 M. Kemudian dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamalik 1250-1517

Berdiri di Kota Mati, “The City of The Death”

The City of The Death. Nama inilah yang membuat saya tergoda untuk melirik dan meniliknya. Yah , kawasan ini terletak di Kairo. Tepat di jantung kota Kairo, ibu kota Mesir. Melihat namanya, seolah saya akan melihat sebuah kota yang mati, tidak berpenghuni, karena mungkin tidak difungsikan lagi oleh pemerintah setempat sebagai lokasi pemukiman penduduk. Ini merupakan perjalanan saya dua tahun yang lalu ke sebuah kawasan bernama Duwaiqoh , atau orang Mesir menyebutnya sebagai Duweah , karena huruf Qhof sering hilang pe lahfadz an-nya dalam dialek Arab 'amiyah (bahasa pasaran). Kawasan inilah yang sering dirujuk oleh banyak wisata asing, yang terlena dengan sebutan The City of The Death, atau Cairo Necropolis, atau Qarafa/ el- Arafa . Cukup mengejutkan, ternyata kawasan ini sebenarnya adalah kawasan pekuburan. Namun, pekuburan yang mempunyai banyak penghuni. Loh kok bisa? Yah, dan penghuninya bukanlah sesosok hantu melainkan warga masyarakat pinggiran Kairo, yang ma