Ibnu Rushd dan Vatican.
Dua nama yang sekilas nampak kontras namun justru keduanya bisa saling
bersinergi. Averroes atau yang biasa dikenal sebagai Ibnu Rushd merupakan the
man of our times. Bukan hanya filsafat, dia juga dikenal sebagai seorang
master dalam bidang kedokteran, fiqh dan ilmu Kalam.
Pengaruh pemikirannya
terhadap kejayaan Eropa abad pertengahan juga tidak dapat disangkal lagi.
Komentatornya atas filsafat Aristoteles mengemuka di Eropa. Tak ayal, bukan
hanya seorang pemikir, namun Ibn Rushd bagi beberapa kalangan dianggap sebagai
simbol kebangkitan intelektual baik di kalangan Muslim dan Eropa beberapa abad
silam.
Sedangkan Vatican, adalah
simbol bagi gereja Katolik sedunia. Berabad-abad kota ini menjadi pusat kekuasaan
Katolik dibawah kepemimpinan seorang Paus. Memasuki era Renaissance, Italia dan
tak terkecuali Vatican, menjadi tempat persinggahan karya seni Eropa yang
diawali oleh Botticelli, Holbein, Leonardo, Michaelangelo, Bramante dan
Raphael. Beratus-ratus tahun St. Peter, simbol kejayaan gereja Katolik ini,
mengalami renovasi yang sengaja dirancang oleh seniman-seniman ternama Italia.
Termasuk The School of Athens (madzhab Athena), sebuah fresco atau
lukisan dinding yang mengilustrasikan seorang filusuf terkenal muslim, Ibnu
Rushd.
Adalah Raffaelo Sanzio
atau biasa dikenal dengan Raphael, sang maestro kenamaan Italia yang telah
membawa bayangan seorang Averroes ke dalam Vatican. Saya begitu kagum dengan
Raphael, hasil karyanya yang disimpan di Museum Vatican benar-benar membuat
mata tak bisa sedetikpun berkedip. Sebagai pengagum Renaissance Art,
rasa-rasanya kurang afdhol jika belum menyempatkan diri untuk
mengunjungi Italia. Apalagi Sistine Chapel, sebuah kapel di dalam Vatican yang
mengabadikan karya tersohor ‘The Creation of Adam’ buah karya Michaelangelo.
Sungguh menakjubkan.
Lukisan dinding The
School of Athens berada di di ruangan khusus Stanza della Segnatora. Dulunya,
ruangan ini merupakan perpustakaan pribadi Julius II, seorang Paus yang mempunyai
hubungan dekat dengan para seniman Italia seperti Bramante, Michaelangelo dan
Raphael. Untuk pertama kalinya Raphael menghiasi dinding-dinding Stanza della
Segnatora dengan fresco yang masing-masingnya mengandung sebuah tema. Ruangan
ini berdekatan dengan kapel Sistine, puncak eksibisi di Museum Vatican.
Ilustrasi Ibnu Rushd
terejawantahkan di dalam fresco The School of Athens. Dalam bingkaian
sebuah lukisan, nampaknya Raphael ingin menggambarkan tradisi filsafat Barat melalui
dua figure utama yaitu Plato dan Aristoteles. Kedua figure ini berada di
tengah, membentang dan seolah-olah merepresentasikan dua aliran yang berbeda
dan sangat mempengaruhi perkembangan filsafat modern. Fresco ini dikenal
sebagai ‘the visualization of knowledge’.
Ada sekitar dua puluh satu
figur filsuf di dalam The School of Athens. Beberapa filsuf Yunani abad
ke 4-5 BC, yang merupakan murid dari Plato dan Aristoteles turut diilustrasikan
oleh Raphael. Seperti, Diogenes, Epicurus, Zoroaster, Pythagoras, sampai pada
masa post-Athenian yaitu Ptolemy dan yang terakhir Hypathia.
Sesaat ketika saya melihat
lukisan dinding The School of Athens, perhatian saya tertuju kepada
satu-satunya perempuan yang berdiri diatas kanan Averroes. Adalah Hypathia, figure
cendekiawati yang hidup di masa kekaisaran Romawi di Alexandria. Saya mengenal
pertama kali sosok Hypathia lewat film berjudul ‘Agora’. Dia merupakan salah
satu perempuan yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan ilmu
Mathematika, Filsafat, dan Astronomi. Dia merupakan seorang pagan dan
perempuan, yang mana dominasi kedua identitas tersebut merupakan hal yang sangat
berbahaya ketika itu. Hypathia akhirnya terbunuh di tangan sekelompok orang
Kristen yang menuduhnya sebagai perempuan
pembuat kerusakan.
Kematian Hypathia merupakan
tanda berakhirnya ‘the classical civilization’ dan dimulainya ‘the dark ages’.
Sekitar 750 tahun dunia Barat mengalami kemunduran sejarah dan peradaban,
hingga kemunculan ‘the comentator’ dari kota kecil bernama Cordoba, Averroes. Ibnu
Rushd merupakan orang pertama yang mengalihbahasakan filsafat-filsafat Yunani
ke bahasa Latin dan mempunyai pengaruh besar terhadap Renaissance Eropa. Selain
‘the comentator’, dia juga dikenal dengan sebutan ‘founding father of secular
thought in western Europe’.
Averroes, dalam fresco The
School of Athens, terlihat seolah ikut menyimak apa yang di kemukakan oleh
Pythagoras. Nama Averroes begitu menggema di kalangan terpelajar Eropa,
termasuk Raphael. Ilustrasi Averroes oleh Raphael digambarkan dengan ciri khas memakai
turban, berwajah oriental dengan warna kulit yang agak hitam. Hanya dengan
mendengar namanya, Raphael mencoba mengilustrasikan Averroes dengan begitu
sempurna.
Lukisan dinding ini
termasuk yang terfavorit dan terkenal diantara ketiga fresco lainnya. Begitu
banyak penikmat seni dan pengunjung museum yang mengabadikan dan seolah-olah
mencerna makna yang ingin disampaikan Raphael melalui The School of Athens.
Pesan dan figur para filsuf demikian memukau. Tak jarang Raphael
mengilustrasikan seorang filsuf dengan figur yang lain, seperti halnya figur
Michaelangelo yang merepresentasikan sosok filsuf dari Ephesus.
The School of Athens,
telah lama menghiasi dinding Stanza della Segnatora. Tahun 1509-1510 Raphael
telah berhasil menyelesaikan fresco ini dan melengkapi bagian yang lain. Dalam
ruangan ini, masing-masing dinding dihiasi dengan lukisan dinding Raphael
dengan empat tema besar yaitu filsafat, teologi, hukum and seni.
Raphael bukanlah seniman
Italia pertama yang mengilustrasikan figur Averroes dalam buah karyanya.
Giorgione (1478-1510), pelukis ternama Venecia telah lebih dulu mengabadikan
sosok Ibnu Rushd dalam masterpiece-nya yang berjudul “Three Philosophers”. Kali
ini, ilustrasi Ibnu Rushd nampak begitu kuat karena menjadi figur utama
dibanding yang lain. Selain itu, dalam lukisan Triunfo de Santo Tomas,
pelukis Andrea Bonaiuto (14 M) asal Florence juga membingkai figur Averroes.
Pesan yang disampaikan
Raphael dalam The School of Athens nampak jelas. Kegemilangan tradisi filsafat
Barat yang dimulai dari Yunani tidak akan sampai ke Eropa tanpa melalui
terjemahan dan komentar dari seorang Muslim Spanyol Ibnu Rushd, dan seorang penganut
Yahudi, Maimonides. Pemikiran keduanya mendominasi jagad Eropa di abad 12 M. Tanpa
pemikiran Averroes, Eropa boleh jadi masih berada di era kegelapan atau the
dark ages. Dan, sekali lagi, Raphael ingin membingkai perjalanan filsafat Barat
ini di tempat yang dahulunya menjadi pusat kekuasaan Eropa, Vatican.
““Two truths cannot contradict one another.”-Averroes
Comments