Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2013

Integration Kurs, Sebuah Upaya Untuk Mengurangi Ketegangan Berbau SARA

Minggu ini adalah minggu pertama saya kursus bahasa Jerman, setelah satu tahun tinggal di Berlin. Awalnya seh pengen kursus dari dulu. Berhubungan waktu itu harus menyelesaikan thesis di UGM akhirnya saya pilih untuk konsentrasi ke kuliah. Setelah menyelesaikan thesis, ternyata umur kehamilan saya sudah tujuh bulan yang artinya sebentar lagi akan melahirkan. Setelah melahirkan, so pasti donk bertambah sibuk karena mengurus anak saya yang baru lahir. Baru bulan Mei ini, bertepatan dengan umur anak saya yang menginjak enam bulan, saya berkesempatan untuk belajar bahasa Jerman lagi. Dengan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Dulu, kira-kira empat tahun yang lalu sebenarnya saya sudah pernah kursus bahasa Jerman waktu di Kairo. Meskipun baru sekitar 3 bulan atau sama dengan Level 1. Lumayan lah , sudah tau alphabet, hitung-hitungan dan percakapan pendek. Percakapan yang dipakai di dalam kelas adalah bahasa Arab. Satu kelas hanya diisi sekitar tujuh orang. Kesempatan kur

Catatan Dari Jerman (2): Pasar Turki

Miniatur Istanbul. Itulah julukan yang biasa disematkan untuk kawasan ini. Nuansa Jerman memang agak sedikit blur ketika saya berkunjung di suatu sore yang hangat. Bukan karena ketidak-jelasan identitas sebagai sebuah bangsa ber-ras Arya, namun karena banyaknya wajah-wajah orient yang berlalu-lalang di jalan. Namanya Kreuzberg. Dahulunya, kawasan ini merupakan tempat pemukiman penduduk miskin, kira-kira tahun 70-an. Hingga saat ini, Kreuzberg masih dikategorikan sebagai kawasan dengan angka pengangguran tertinggi di Berlin. Tercatat dari 31,6% penduduknya bukan merupakan warga negara Jerman. Imigran keturunan Turki merupakan pemukim terbesar di daerah ini, selain dari Arab, dan keturunan Afrika Amerika (African American). Keluar dari subway Schönleinstr, gerai-gerai bertuliskan bahasa Turki dan Arab menyapa saya. Dari penjaja kebutuhan rumah tangga lengkap, sampai penjual jasa baik dokter maupun tiket pesawat. Tertulis di depan gerai tersebut minimal tiga, atau dua b

Catatan Dari Kairo: Pelayat Bayaran

Cairo, 2009 Saya tak menyangka sore itu akan melihat aksi ibu-ibu Mesir layaknya pemain sinetron. Mengkisahkan sebuah alur cerita yang dipenuhi dengan adegan sedih kemudian  menangis. Tentunya dengan airmata bercucuran, dan meninggalkan bekas hitam legam akibat maskara yang luntur. Siapa juga yang menyangka ibu-ibu tersebut berperan sebagai sosok antagonis. Setelah berteriak-teriak, menangis meraung-raung, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Berceloteh penuh kegembiraan dengan teman-temannya. Sinetron banget bukan? Ceritanya begini. Ketika itu, saya bersama beberapa kawan hendak menuju ke sebuah situs sejarah yang berupa  gate  atau  Bab  (gerbang). Namanya Bab al-Futuh dan Bab al-Nasr. Biasa juga disebut dengan gerbang kembar, meskipun tak ada kemiripan sama sekali antara keduanya. Yang satu bulat pipih bergaya Romawi dan yang satu agak kotak serupa benteng. Matahari begitu terik. Kami mencari kedamaian di bawah bangunan gerbang yang menjulang tinggi sehingga me

International Kinderfest

Seminggu yang lalu saya berkunjung ke sebuah festival international khusus anak-anak yang diselenggarakan di Brandenburger Tor, pusat kota Berlin. Acara ini diselenggarakan atas kerja sama antara pemerintah Turki dan Berlin, mengingat warga keturunan Turki merupakan imigran terbesar di Berlin. Kebetulan acara tersebut diadakan pada hari Sabtu dan Minggu. Momen yang tepat untuk meluangkan waktu dan bermain bersama anak-anak. Meskipun anak kami masih umur 6 bulan, artinya belum bisa bermain kuda-kudaan atau komedi putar, namun saya masih saja bersikukuh untuk berkunjung ke even ini. Entahlah, semenjak anak saya lahir saya menjadi senang sekali dengan dunia anak. Mendengarkan ocehan dan keriangan mereka bermain benar-benar bisa membuat suasana menjadi riang gembira. Begitu keluar dari subway Brandenburger Tor, beberapa badut dengan pakaian yang lucu-lucu menyapa kami. Ada yang bergaya bak Mario Bross, Teddy Bear dan lain-lain. Tak kalah ramai dengan anak-anak, para orang

Let It Bloom

Let It Bloom “Flowers have spoken to me more than I can tell in written words. They are the hieroglyphics of angels, loved by all men for the beauty of their character, though few can decipher even fragments of their meaning”. –Lydia M. Child Berlin, this afternoon Beautiful red at Britzer garten Musim semi memang selalu membuat hati dan suasana riang. Setelah hampir enam bulan Berlin dilanda musim dingin terpanjang dalam kurun waktu lima puluh tahun, akhirnya matahari mulai berbaik hati. Kembali bersinar menghangatkan ribuan tumbuhan dan bunga yang ingin menyapa bumi. Musim semi tahun ini baru mulai bulan April yang lalu, itupun pertengahan bulan. Nah , awal bulan Mei inilah waktu yang tepat untuk menikmati berbagai macam bunga, baik yang tumbuh liar atau yang sengaja di tanam. Warna merah, jingga, ungu, putih, biru, ungu bertebaran di jendela-jendela rumah juga di jalan-jalan. Orang Jerman gemar sekali bercocok tanam ketika musim semi mulai menyapa kemba

Catatan Dari Kairo: Kuchuk Hanem

Cairo, 2005 Melayang-layang di atas awan tidak begitu membekas bagi saya. Sesekali hanya merasa gugup, dan pasrah. Sesekali juga kagum. Melihat gugusan awan yang terlihat saling mendahului dengan pesawat yang kami tumpangi. Biru dan orange. Dua warna inilah yang mendominasi langit dikala siang mendekati senja. Guratan-guratan awan terlihat jelas. Mungkin itu merupakan garis batas yang membelah langit, sebelah kiri milik Arjuna dan yang kanan milik Gatot Kaca (?)   Pukul delapan malam tepat waktu Abu Dhabi, pesawat yang saya tumpangi harus istirahat, mengisi perut yang sudah mulai kosong. Saya harus transit semalam di negara ini. Sambil membenahi beberapa barang bawaan, tiba-tiba saya ditodong pertanyaan panjang, “Ambil cuti berapa bulan mbak?”, tanya seorang perempuan manis berkulit sawo matang kepada saya. “Cuti?”. Saya mendadak bingung. Dia pun kembali menanyakan hal tersebut dengan lebih jelas. “Mbak dulu berangkat dari mana? Dapat cuti ya, berapa bula

Catatan Dari Kairo: Sebuah Ungkapan Sakti

Cairo, 2005 Matahari musim panas serasa menampar kulit. Siang itu suhu udara berkisar mencapai hingga 40 derajat celcius. Bukan main panasnya. Tenggorokan terasa kering. Saya pun hampir tidak sadar ternyata masih ada sebongkah daging yang melindungi kerongkongan dari sengatan matahari. Bulan Agustus di Kairo adalah puncak musim panas. Jam tangan menunjukkan pukul 7 malam, namun senja di langit kota ini sepertinya masih enggan untuk menunjukkan eksistensinya untuk menyambut malam. Suasana masih seperti jam tiga sore waktu Indonesia. Dan saya bersyukur. Jika saja waktu itu sudah gelap, pasti saya akan kehilangan momen terindah untuk dapat menyaksikan kemegahan Pyramid dari jendela pesawat. Sungguh, saya terpesona.Melihat rumah-rumah di Kairo seperti halnya kubus-kubus yang tertata apik dipadu dengan warna coklat. Sesekali, mata saya tertuju pada luasnya padang pasir yang seolah-olah menjadi tembok abadi pelindung kota ini. Kumuh. Beberapa kayu nampak berserakan. Turun